Radio Muwahiddin

Kamis, 26 Januari 2012

Haruskah Menyebutkan Kebaikan Ahlul Bid’ah ?


Haruskah Menyebutkan Kebaikan Ahlul Bid’ah ?
(Bantahan Syubhat ke- 5)

------------------------------------------------------------------------------------------------------
Di antara syubhat yang dilontarkan oleh para mudzabdzabin1) adalah ucapan mereka: “Kita tidak boleh melupakan jasa-jasa dan kebaikan ahlul bid’ah”, “Ketika kita mengkritik ahlul bid’ah, kita harus pula menyebutkan kebaikan mereka”, atau “Bagaimana pun mereka juga mempunyai kebaikan” dan kalimat-kalimat lain yang semakna. Sebaliknya para ulama yang tidak menyebutkan kebaikan ahlul bid’ah dituduh dzalim dan tidak adil.

Mereka berupaya untuk meruntuhkan kaidah jarh (kritikan dan celaan) para ulama terhadap ahlul bid’ah, dengan menganggap bahwa perselisihan yang terjadi di kalangan kelompok-kelompok sempalan ahlul bid’ah adalah permasalahan keaneka-ragaman yang saling melengkapi, bukan pertentangan. Kemudian mereka memberikan syarat bagi siapa saja yang hendak mengkritik ahlul bid’ah dan menerangkan kesesatan yang ada padanya untuk menyebutkan pula kebaikan-kebaikannya. Barangsiapa yang tidak melakukannya berarti dia tergolong sebagai orang yang zalim dan berlebihan alias keterlaluan -menurut anggapan batil mereka-.

Mereka mencari-cari dalil untuk mendukung kebid’ahan mereka dengan ucapan yang samar, berbias atau mutasyabihat agar dapat dijadikan sebagai fitnah dan dicari-cari ta’wilnya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Ahmad bin Abdurrahman as-Shuwayyan, Hisyam bin Ismail as-Shini, Salman al-Audah, Zaid az-Zaid, Aqil bin Muhammad al-Muqthiri, Abdurrahman Abdul Khaliq dan yang lainnya. Demikian pula yang dilakukan oleh para muqallid mereka yang ada di Indonesia yang didukung oleh yayasan-yayasan tertentu seperti ash-Shafwa, Ihyaut Turats, al-Haramain dan lain-lain.

Upaya mereka itu bertujuan untuk menghilangkan sekat pemisah antara ahlus sunnah dan ahlul bid’ah, untuk kemudian menggabungkan mereka dalam satu partai atau kelompok besar(hizbiyyah) yang hanya mementingkan kwantitas dan tidak mementingkan kwalitas.

Sungguh suatu upaya yang mustahil menggabungkan dua kelompok yang berlawanan. Yang satu mengatakan “Ikutilah sunnah jauhilah bid’ah”, sedangkan yang lain mengatakan: “Kerjakanlah kebid’ahan dan tinggalkanlah sunnah”.

Jangan dianggap kecil ucapan-ucapan mereka! Dengan syubhat mereka ini akan gugur prinsip-prinsip ahlus sunnah seperti: amar ma’ruf nahi mungkar, kaidah jarh wa ta’dil dalam ilmu hadits dan akan menjatuhkan para ulama ahlul hadits dengan tuduhan dzalim. Yang pada akhirnya akan menumbuh-suburkan kebid’ahan dan mematikan sunnah.

Mereka menganggap bahwa menyebutkan kebaikan ahlul bid’ah ketika mengkritiknya adalah “keadilan” (in’shaf). Guna mendukung kebid’ahan mereka ini, mereka bawakan ayat dan hadits tentang kewajiban berbuat adil. Di antara ayat yang sering mereka dengungkan adalah firman Allah:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

المائدة: 8

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kalian menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat pada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan. (al-Maidah: 8)

Dengan ayat ini mereka berpendapat bahwa kita harus berbuat adil sekalipun terhadap musuh-musuh kita yaitu dengan menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka, jangan hanya menyebutkan kejelekannya saja.

Sungguh ini adalah pemahaman yang sangat batil akan makna keadilan. Karena sesungguhnya makna keadilan menurut para ulama salaf sejak shahabat sampai hari ini adalah menghukumi seseorang dengan hak dan kebenaran atau menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Maka jika seorang ulama mengkritik atau men-jarh seseorang yang sesat (ahlul bid’ah) yang memang sepantasnya untuk di jarh dengan bukti-bukti yang benar dan dalil yang jelas. Kemudian memperingatkan manusia dari bahaya kesesatannya maka itu adalah keadilan dan bukan kedzaliman.

Kecuali jika ia menuduh dengan bukti-bukti yang dusta dan saksi-saksi palsu atau men-jarh orang yang tidak layak untuk di-jarh dari kalangan ulama ahlus sunnah yang jujur dan terpercaya (tsiqah), maka itulah yang dinamakan kedzaliman. Sama sekali tidak berkaitan dengan masalah penyebutan kebaikannya atau pun tidak.

Di samping itu, menyebutkan kebaikan ketika kita memperingatkan manusia dari penyimpangan seseorang sungguh sangat bertentangan dengan hikmah dan tujuan peringatan itu sendiri. Apakah pantas kita katakan: “Hati-hati dari orang khawarij ini, tetapi dia memiliki kebaikan-kebaikan”?, “Hati-hatilah dari kesesatan orang syi’ah ini, namun dia adalah orang yang baik, ahli ibadah, dermawan dan lain-lain”?!.

Mereka juga memakai dalil-dalil yang dipaksakan, di antaranya ucapan Rasulullah kepada Abu Hurairah ketika beliau menerangkan siapa orang yang mencuri harta baitul maal dan mengajar-kan ayat kursi:

أَمَا إِنَّهُ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوْبٌ

(رواه البخاري)

Ketahuilah sesungguhnya dia telah berkata benar kepadamu padahal dia pendusta. (HR. Bukhari)

Ucapan ini dianggap oleh para mudzabdzabin tadi sebagai dalil harusnya menyebutkan kebaikan walaupun itu adalah setan sang pendusta.

Untuk menjawab syubhat tentang hadits Abu Hurairah tersebut, maka kita bantah dari beberapa sisi:

Pertama: Di dalam hadits dijelaskan bahwa tatkala Abu Hurairah mengkabarkan kepada Rasulullah tentang kisah di atas, maka Rasulullah memberitakan kepadanya dengan mengatakan:

أَمَا إِنَّهُ كَذَبَكَ وَسَيَعُوْدُ

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya dia telah berdusta kepadamu dan dia akan kembali (mengulangi perbuatannya)”.

Maka setan pun kembali melakukan pencurian, dan Abu Hurairah kembali menangkapnya. Kemudian beliau mengkabarkannya kepada Rasulullah tentang hal itu, maka Rasulullah pun bersabda untuk kedua kalinya: “Ketahuilah bahwa dia telah berdusta kepadamu dan dia akan kembali (mengulangi perbuatannya)”. (HR. Bukhari)

Dari kejadian ini dapat kita lihat bahwa Rasulullah tidak melakukan apa yang diistilahkan oleh mereka -para ahlul bid’ah- dengan muwazanah (keseimbangan) antara penyebutan kejelekan setan dan kebaikan-kebaikannya pada dua peringatan pertama beliau. Dan beliau juga tidak memerintahkan kepada Abu Hurairah atau yang lainnya dari kalangan sahabat untuk melakukan hal itu walaupun sedikit, demi memberikan pendidikan muwazanah (balance).

Kedua: Ucapan beliau pada kejadian ketiga: “Ketahuilah, sesungguhnya dia telah berkata benar namun dia adalah seorang pendusta”, tidak menunjukkan adanya sedikitpun sikap muwazanah antara kebaikan dan kejelekan amalan setan. Sesungguhnya yang ada hanyalah menerima kebenaran dan kejujuran dari siapa saja. Menyatakan yang hak adalah hak dan yang batil adalah batil, dari siapa pun sumbernya. Apakah dia seorang Yahudi, Nashrani, penyembah berhala, sosialis, atau setan yang pendusta lagi terkutuk sekalipun.

Di sini menunjukkan pemuliaan terhadap kebenaran dan kejujuran serta penerimaannya, walaupun datang dari jalan sumber yang jelek. Terlebih lagi apabila kita tidak mendapatkan jalan menuju kebenaran tersebut, kecuali dari jalannya.

Ini jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang kafir, ahlul bid’ah, penentang kebenaran, kaum hizbiyyin harakiyyin (dan para mudzab-dzabin sendiri, pent), dimana mereka adalah orang-orang yang menolak kebenaran dan kejujuran, walaupun datangnya dari orang-orang yang jujur lagi adil. Bahkan walaupun datangnya dari para nabi dan rasul, sekalipun sebagaimana yang terjadi pada orang-orang kafir. (Li-hat Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal, DR. Rabi’ bin Hadi al Madkhali hal. 70-71)

Alasan lainnya adalah apa yang mereka nukilkan dari para ulama ahlus sunnah ketika menuliskan biografi para tokoh-tokoh ahlul bid’ah. Mereka menuliskannya secara lengkap: ilmunya, jasa-jasanya, dan sekaligus penyimpangan dan kesesatannya.

Mereka anggap sikap para ulama ini adalah mendukung prinsip muwazanah (keseimbangan) mereka. Di antara yang paling banyak mereka nukil adalah ucapan imam adz-Dzahabi dalam as-Siyar.

Kita bantah alasan mereka ini dengan beberapa kalimat:

Pertama, kita katakan sungguh sangat berbeda antara seorang ulama yang menulis biografi seseorang dan seorang ulama yang sedang memperingatkan umat dari bahaya penyimpangan seseorang. Entah apakah mereka tidak mengerti atau berpura-pura tidak mengerti.

Sebagai contoh lihat apa yang dilakukan oleh imam ad-Dzahabi sendiri sebagaimana yang ternukil dalam kitab beliau “as-Siyar” yang berisi biografi dan kitab beliau “al-Kaasyif” yang merupakan kritikan. Kita dapati di dalam as-Siyar, beliau menyebutkan kebaikan dan kejelekan orang yang diterangkan biografinya secara lengkap, karena memang sedang membahasan biografi. Lain hal-nya yang terdapat dalam kitab beliau al-Kaasyif, beliau tidak menyebutkan seorang perawi melainkan kritikan (jarh).

Oleh karena itulah berkata Rafi’ bin Asyras rahimahullah: “Adalah dikatakan termasuk dari hukuman bagi pendusta ialah untuk tidak diterima kejujurannya. Dan aku katakan: “Termasuk dari balasan bagi orang yang fasik dan ahlu bid’ah ialah untuk tidak disebutkan kebaikan-kebaikannya”. (Lihat Syarah ‘Ilal at Tirmidzi, Ibnu Rajab 1/353 dan Irsyadul Bariyyah, Hasan bin Qasim hal.198-201)

Kedua, betapa banyak ayat-ayat dalam al-Qur’an dan hadits-hadits shahih yang menceritakan tentang kejelekan Yahudi, Nashrani, kaum musyrikin, munafiqin dan orang-orang sesat dengan tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka. Apakah mereka menganggap semua itu sebagai kedzaliman?!

Ketiga, para ulama tidak ada yang mewajibkan untuk menyebutkan kebaikan ketika mengkritik seseorang.

Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz ketika ditanya apakah perlu menyebutkan kebaikan ahlul bid’ah: “Tidak! tidak mesti menyebutkan kebaikan mereka. Jika engkau membaca buku-buku ahlus sunnah, engkau akan dapati yang demikian, karena tujuan mereka adalah memperingatkan…” (Lihat al-Mahajatul Baidla’, Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, hal. 7)

Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad ketika ditanya dengan pertanyaan yang sama, beliau menjawab: “Tidak perlu engkau mengumpulkan kebaikan dan menyebutkannya”. (Lihat al-Mahajatul Baidla’, Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, hal. 19)

Demikian pula Syaikh al-Albani ketika ditanya dengan pertanyaan yang sama, beliau berkata: “Itu merupakan prinsip bid’ah, apakah ketika seorang ulama hadits berbicara tentang orang yang shalih atau alim dan faqih bahwa dia lemah hafalannya, apakah mesti dia mengatakan setelah itu: dia adalah orang shalih, faqih, menjadi rujukan dalam mengambil hukum-hukum fiqih … dan seterusnya?! Allahu Akbar”. (Lihat al-Mahajatul Baidla’, Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, hal. 19)

Wallahu a'lam.



[1]) kaum lembek yang tidak punya pendirian, yang berusaha berdiri di tengah-tengah antara ahlul bid’ah dan ahlus sunnah.



.
Ust. Muhammad Umar As Sewed
15/08/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Dipersilakan untuk menyebarluaskan isi dari blog ini untuk kepentingan da'wah, tanpa tujuan komersil dengan menyertakan URL sumber. Jazakumullohu khairan."