Penulis : Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
Keberadaan
berbagai penyakit termasuk sunnah kauniyyah yang diciptakan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Penyakit-penyakit itu merupakan musibah dan ujian
yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas hamba-hamba-Nya. Dan
sesungguhnya pada musibah itu terdapat kemanfaatan bagi kaum mukmininShuhaib Ar-Rumi radhiallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَجَبًا
لأَمْرِ الْمُؤْمِن، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ
لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِن، إِنْ أَصَابَهُ سَرَّاءٌ شَكَرَ، فَكَانَ
خَيْرًا لَهُ،
وَإِنْ أَصَابَهُ ضَرَّاءٌ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh mengagumkan perkara seorang mukmin. Sungguh seluruh perkaranya adalah kebaikan. Yang demikian itu tidaklah dimiliki oleh seorangpun kecuali seorang mukmin. Jika ia mendapatkan kelapangan, ia bersyukur. Maka yang demikian itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar. Maka yang demikian itu baik baginya.” (HR. Muslim no. 2999)
Termasuk
keutamaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan kepada kaum
mukminin, Dia menjadikan sakit yang menimpa seorang mukmin sebagai
penghapus dosa dan kesalahan mereka. Sebagaimana tersebut dalam hadits
Abdullah bin Mas‘ud radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا
مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيْبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ إِلاَّ حَطَّ
اللهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا
“Tidaklah
seorang muslim ditimpa gangguan berupa sakit atau lainnya, melainkan
Allah menggugurkan kesalahan-kesalahannya sebagaimana pohon menggugurkan
daun-daunnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5661 dan Muslim no. 6511)
Di
sisi lain, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan penyakit,
Dia pun menurunkan obat bersama penyakit itu. Obat itupun menjadi rahmat
dan keutamaan dari-Nya untuk hamba-hamba-Nya, baik yang mukmin maupun
yang kafir. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
مَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَل لَهُ شِفَاءً
“Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan untuk penyakit itu obatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5678)
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengabarkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ لَمْ يَنْزِلْ دَاءً إِلاَّ وَأَنْزَل لَهُ دَوَاءً، جَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ وَعَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ
“Sesungguhnya
Allah tidaklah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan pula obatnya
bersamanya. (Hanya saja) tidak mengetahui orang yang tidak mengetahuinya
dan mengetahui orang yang mengetahuinya.” (HR. Ahmad 1/377, 413 dan
453. Dan hadits ini dishahihkan dalam Ash-Shahihah no. 451)
Jabir radhiallahu ‘anhu membawakan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ، فَإِذَا أُصِيْبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Setiap
penyakit ada obatnya. Maka bila obat itu mengenai penyakit akan sembuh
dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim no. 5705)
Al-Qur`anul Karim dan As-Sunnah yang shahih sarat dengan beragam penyembuhan dan obat yang bermanfaat dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga mestinya kita tidak terlebih dahulu berpaling dan meninggalkannya untuk beralih kepada pengobatan kimiawi yang ada di masa sekarang ini5. (Shahih Ath-Thibbun Nabawi, hal. 5-6, Abu Anas Majid Al-Bankani Al-‘Iraqi)
Karena
itulah Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu berkata: “Sungguh
para tabib telah sepakat bahwa ketika memungkinkan pengobatan dengan
bahan makanan maka jangan beralih kepada obat-obatan (kimiawi, –pent.).
Ketika memungkinkan mengkonsumsi obat yang sederhana, maka jangan
beralih memakai obat yang kompleks. Mereka mengatakan: ‘Setiap penyakit
yang bisa ditolak dengan makanan-makanan tertentu dan pencegahan,
janganlah mencoba menolaknya dengan obat-obatan’.”
Ibnul
Qayyim juga berkata: “Berpalingnya manusia dari cara pengobatan
nubuwwah seperti halnya berpalingnya mereka dari pengobatan dengan
Al-Qur`an, yang merupakan obat bermanfaat.” (Ath-Thibbun Nabawi, hal. 6,
29) Dengan demikian, tidak sepantasnya seorang muslim menjadikan
pengobatan nabawiyyah sekedar sebagai pengobatan alternatif. Justru
sepantasnya dia menjadikannya sebagai cara pengobatan yang utama, karena
kepastiannya datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala lewat lisan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara pengobatan dengan
obat-obatan kimiawi kepastiannya tidak seperti kepastian yang didapatkan
dengan thibbun nabawi. Pengobatan yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diyakini
kesembuhannya karena bersumber dari wahyu. Sementara pengobatan dari
selain Nabi kebanyakannya dugaan atau dengan pengalaman/ uji coba.
(Fathul Bari, 10/210)
Namun
tentunya, berkaitan dengan kesembuhan suatu penyakit, seorang hamba
tidak boleh bersandar semata dengan pengobatan tertentu. Dan tidak boleh
meyakini bahwa obatlah yang menyembuhkan sakitnya. Namun seharusnya ia
bersandar dan bergantung kepada Dzat yang memberikan penyakit dan
menurunkan obatnya sekaligus, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang
hamba hendaknya selalu bersandar kepada-Nya dalam segala keadaannya.
Hendaknya ia selalu berdoa memohon kepada-Nya agar menghilangkan segala
kemudharatan yang tengah menimpanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
أَمَّنْ يُجِيْبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوْءَ
“Siapakah
yang mengijabahi (menjawab/ mengabulkan) permintaan orang yang dalam
kesempitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan (siapakah) Dia yang
menghilangkan kejelekan?” (An-Naml: 62)
Sungguh
tidak ada yang dapat memberikan kesembuhan kecuali Allah Subhanahu wa
Ta’ala semata. Karena itulah, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berkata memuji
Rabbnya:
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِ
“Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku.” (Asy-Syu’ara`: 80)
Contoh Pengobatan Nabawi ( Bersambung ke bagian 2 …………. )
Sumber : http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=362
Tidak ada komentar:
Posting Komentar