(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)
Dewasa ini berkembang tren baru yang menyeruak dalam relung-relung kehidupan anak bangsa, menyusup dari ingar-bingar suasana kota
metropolitan sampai keheningan wilayah pedesaan. Yakni semangat
menampilkan nuansa “Islami”. Di mana hampir semua aktivitas masa kini
tak luput dari ‘hawa Islami’. Dari perkara-perkara yang bener sampai
perkara yang keblinger.
Sebut saja istilah “pacaran Islami”,
“musik Islami”, “konser religi”, “wisata religi”, “sinetron Islami”,
“novel Islami”, “parpol Islam”, dan seabrek istilah-istilah populer
dengan aroma “Islami”.
Di satu sisi, kita sebagai seorang
muslim merasa senang dengan adanya geliat semangat berislam. Itu
pertanda ada secercah harapan, Islam menjadi sesuatu yang mereka sukai,
jauh dari sikap antipati.
Namun di sisi lain, kita harus melakukan
upaya penyaringan, pembersihan, dan penyuluhan kepada segenap
masyarakat tentang Islam yang benar berdasarkan bimbingan Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
pemahaman as-salafush shalih. Sebab, tidak semua yang “beraroma Islami”
itu datangnya dari Islam. Tidak pula semua yang bernuansa Islami itu
betul-betul ajaran Islam yang murni. Bagi kita, yang penting bukanlah
kilauan nama dan istilah, namun yang dituntut adalah hakikat dan
keabsahannya secara syariah.
Begitu pula yang sedang marak di dunia
ekonomi. Kini istilah “ekonomi Islam” dan “bank syariah”, membahana
menjadi wajah baru yang tampil sebagai pilar penting yang menghiasi
ekonomi dunia. Bahkan dianggap sebagai solusi urgen dalam menghadapi
krisis keuangan global yang melanda dunia.
Bagaimanakah sepak terjang bank syariah
dalam mengarungi dunia ekonomi? Simak ulasan berikut yang mengupas
secara global seputar bank syariah.
Sejarah Munculnya Bank Syariah
Sudah cukup lama dunia Islam, khususnya
masyarakat Islam Indonesia, menginginkan sistem perekonomian yang
berbasis nilai-nilai dan prinsip syariah (Islamic economic system) dapat
diterapkan dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi umat. Hal
ini dilatarbelakangi beberapa hal. Di antaranya:
1. Kesadaran untuk menerapkan Islam secara utuh dan total, sebagaimana perintah Allah Subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya (yang artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara menyeluruh.” (Al-Baqarah: 208)
2. Kesadaran bahwa syariat Islam yang dibawa oleh Nabi dan Rasul terakhir Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
syariat yang komprehensif, menyeluruh dan merangkum seluruh aspek
kehidupan, baik ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah). Bersamaan
dengan itu, syariat Islam juga universal, dapat diterapkan di setiap
waktu dan tempat sampai hari kiamat nanti.
3. Kenyataan bahwa selama ini yang mendominasi sistem perekonomian dunia adalah sistem yang berbasis pada nilai-nilai riba,
ditukangi oleh tangan-tangan zionis dengan menebarkan wadah dalam
bentuk bank-bank konvensional yang merupakan kepanjangan tangan dari
riba jahiliah yang dulu dimusnahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Namun pada kenyataannya, keinginan
tersebut tidak mudah diwujudkan di alam nyata. Bahkan mengalami hambatan
cukup besar di tubuh muslimin sendiri apalagi dari pihak non-muslim.
Masih banyak kalangan yang berpandangan bahwa Islam tidak berurusan
dengan bank dan pasar uang. Islam hanya menangani masalah-masalah ritual
keagamaan, dengan anggapan, itu adalah dunia putih. Sementara bank dan
pasar uang adalah dunia hitam, penuh tipu daya dan kelicikan.
Maka tidaklah mengherankan bila ada
sejumlah “cendekiawan” dan “ekonom” melihat Islam, dengan sistem nilai
dan tatanan normatifnya, sebagai faktor penghambat pembangunan (an
obstacle to economic growth). Penganut paham liberalisme dan pragmatisme
sempit ini menilai bahwa kegiatan ekonomi dan keuangan akan semakin
meningkat dan berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai normatif dan
rambu-rambu Ilahi.
Belum lagi ditambah dengan merambahnya
“kemalasan intelektual” yang cenderung pragmatis sehingga memunculkan
anggapan bahwa praktik pembungaan uang, seperti yang dilakukan
lembaga-lembaga keuangan ciptaan zionis (baca: bank konvensional) sudah
‘sejalan’ dengan ruh dan semangat Islam. Para ‘alim ulama’ dan ‘kaum
cendekia’ pun tinggal membubuhkan stempel saja.
Dalam situasi dan kondisi yang tidak menentu seperti gambaran di atas, lahirlah sistem perbankan syariah.
Upaya awal penerapan sistem profit and
loss sharing (untung dan rugi ditanggung bersama, red.) tercatat di
Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya
mengelola dana jamaah haji secara non-konvensional. (Bank Syariah, dari
Teori ke Praktik hal. 18, Mohammad Syafi’i Antonio cet. Gema
Insani-Tazkia Cendekia)
Rintisan institusional lain yang cukup
signifikan dalam upaya pengembangan bank syariah adalah upaya percobaan
yang dilakukan Bank IDDI Khor (rural social bank)1 yang mendirikan
lembaga keuangan bernama Mit Ghamr Bank, didirikan di Mesir tahun 1963
M. Para pendirinya adalah Prof. Dr. Ahmad Najjar, Isa Abduh, dan Gharib
Jamal.
Uji coba ini ternyata membuahkan hasil
yang cukup spektakuler. Dalam kurun waktu empat tahun, Mit Ghamr Bank
sudah memiliki tujuh cabang di lokasi sekitarnya, melebarkan sayap di
empat tempat, dan mendirikan pusat litbang (penelitian dan pengembangan)
untuk melayani permintaan di berbagai tempat yang ingin membuka bank
serupa. Setelah itu, mereka pun mengepakkan sayap ke dunia internasional
khususnya dunia Islam.
Semenjak itu, kajian, diskusi, seminar,
dan pertemuan-pertemuan untuk mengembangkan bank syariah pun semakin
marak sampai pada tingkat sidang menteri luar negeri negara-negara yang
tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Akhirnya, lahirlah Bank Pembangunan
Islam atau Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah
dengan semua negara anggota OKI sebagai anggotanya.
Di tahun yang sama, muncul Bank Islam
Dubai (Dubai Islamic Bank). Pada akhir periode 1970-an serta awal
1980-an, bank-bank syariah bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara
Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Banglades, dan Turki.
Sementara di tanah air, bank syariah
baru muncul dengan ditandatanganinya akta pendirian PT. Bank Muamalat
Indonesia (BMI) pada tanggal 1 Nopember 1991. BMI ini lahir berkat hasil
kerja TPMUI (Tim Perbankan Majelis Ulama Indonesia). Setelah itu
bermunculan bank-bank syariah lainnya. Ada yang secara khusus, ada pula
bank-bank konvensional yang membuka sub-syariah seperti BNI Syariah,
Syariah Mandiri, Niaga Syariah, Mega Syariah, dan sebagainya.
Hasilnya, bank-bank syariah sekarang
menjadi ikon baru dalam dunia perbankan dan perekonomian dunia. Aset
mereka menggelembung secara siginifikan dari tahun ke tahun.
Suatu hal yang patut juga dicatat adalah
saat nama besar dalam dunia keuangan internasional seperti Citibank,
Jardine Fleming, ANZ, Chase Chemical Bank, Goldman Sach, dan lain-lain
telah membuka cabang dan subsidiaries (anak perusahaan, red.) yang
berdasarkan syariah.
Dalam dunia pasar modal pun, Islamic
Fund (Reksa Dana Syariah, red.) kini ramai diperdagangkan. Suatu hal
yang mendorong singa pasar modal dunia, Dow Jones untuk menerbitkan
Islamic Dow Jones Index. Oleh karena itu, tak heran jika Scharf, mantan
direktur utama Bank Islam Denmark yang beragama Kristen itu menyatakan
bahwa bank Islam adalah partner baru dalam pembangunan. (Lihat Ar-Riba
fil Mu’amalat Al-Mashrafiyah Al-Mu’ashirah, 2/1017-1020, karya Dr.
Abdullah As-Sa’idi, dan Bank Syariah dari Teori ke Praktik, hal. 18-27,
Mohammad Syafi’i Antonio)
Sumbe: http://asysyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar