( oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah)
Sebagai jalan hidup dan agama yang
mengemban misi rahmatan lil‘alamin,Islam tentu mengatur kaidah
bermuamalah atau bergaul bagi pemeluknya. Baik itu terhadap sesama
muslim maupun pemeluk agama lain.Tidak mengentengkan yakni tidak
tenggelam dalam budaya toleransi yang menjebak, namun juga tidak
berlebihan semisal melakukan tindak anarkis.
Tentu bukan hal aneh lagi jika kita
menjumpai bermacam-macam warna dan perilaku dalam kehidupan masyarakat
kita. Ini terjadi dengan sebab yang beragam. Terkadang dilatarbelakangi
lingkungan,masyarakat, pergaulan (bebas), teman-teman, dan sebagainya.
Semuanya ini menuntut agar kita bisa memosisikan syariat sebagai
landasan pergaulan sehingga bisa merangkul semua perbedaan tersebut
dengan cara menyingkirkan sesuatu yang tidak ada syariatnya dan
mengokohkan yang ada tuntunannya dari Rasulullah.
Ironinya, perbedaan itu selama ini justru
dijadikan sebuah kebanggaan sebagai bentuk keangkuhan dan kesombongan.
Bahkan ada yang sudah dijadikan sebagai ajaran yang harus dianut oleh
setiap orang. Akhirnya setiap seruan yang mengajak kepada adab dan
akhlak Islami menjadi sebuah seruan yang tidak berarti.Atau jika ada
orang yang mempraktikkan adab bergaul yang Islami justru dicibir,
dianggap aneh dan asing,bahkan dilekati tuduhan yang bukan-bukan. Atau
divonis sebagai orang yang melakukan pengrusakan dan kehancuran
sebagaimana igauan Fir’aun menanggapi akhlak dan perilaku serta dakwah
Nabi Musa:
“Dan berkata Fir’aun (kepada
pembesar-pembesarnya): ‘Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia
memohon kepada Rabbnya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan
menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi’.” (Ghafir: 26)
Igauan pengikut Fir’aun juga menimpa Nabi Harun saudara Musa:
“Mereka berkata: ‘Sesungguhnya dua orang
ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kalian dari
negeri kalian dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kalian
yang utama’.” (Thaha: 63)
Bahkan kaum munafiqin berusaha cuci
tangan dari perbuatan mereka yang jelas-jelas rusak dengan mengatakan
bahwa mereka adalah orang-orang yang melakukan perbaikan.
“Dan bila dikatakan kepada mereka:
‘Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi’.Mereka
menjawab:‘Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan’.”
(Al-Baqarah: 11) [Lihat kitab Hadzihi Da’watuna wa ‘Aqidatuna karya
Asy-Syaikh Muqbil hal. 11]
Padahal Rasulullah telah memerintahkan agar setiap orang berakhlak di hadapan manusia dengan akhlak yang mulia.
“Dan berakhlaklah kamu kepada manusia
dengan akhlak yang baik.” (HR. At-Tirmidzi no. 1988 dari sahabat Abu
Dzar Jundub bin Junadah z dan Abu Abdurrahman Mu’adz bin
Jabal,dishahihkan oleh Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani dalam Shahihul
Jami’ no. 96)
Bahkan berbudi pekerti yang baik merupakan tonggak dakwah Rasulullah:
“Sesungguhnya aku diutus oleh Allah untuk
menyempurnakan budi pekerti.” (HR.Al-Imam Ahmad dalam Musnad beliau,
2/318, dan Al-Imam Al-Bukhari t dalam Al-Adabul Mufrad no. 273, dari Abu
Hurairah)
Bahkan permasalahan budi pekerti inilah yang diwanti-wanti oleh Allah pada dakwah rasul-Nya:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159)
Bahkan Allah memerintahkan kepada
Nabi-Nya Musa dan Harun menghadapi sejahat-jahat manusia di permukaan
bumi ini, yaitu Fir’aun, dengan penuh kelemahlembutan.
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 44)
Manusia Dalam Hidup
Bersikap dan menyikapi manusia serta
bergaul bersama mereka membutuhkan ilmu yang dalam tentang
syariat,karena manusia memiliki ragam agama dan aliran serta memiliki
ragam perangai dan tabiat. Untuk memudahkan kita dalam pembahasan
tentang hal bergaul dengan manusia, secara umum kita mengklasifikasikan
mereka menjadi dua golongan:
Pertama: Kafir
Kedua: Muslim
Allah dan Rasul-Nya telah mengajarkan
kepada kita cara bergaul dan bermuamalah bersama mereka, baik yang kafir
atau yang muslim. Hal ini menunjukkan kesempurnaan Islam dan bahwa
Islam adalah agama rahmat bagi semesta alam. Allah berfirman:
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk
kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku dan
telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 3)
Sehingga tidak ada lagi alasan untuk
salah dalam bergaul bersama mereka, baik yang beriman ataupun yang
ingkar kepada Allah l, karena hujjah telah tegak, malamnya bagaikan
siangnya (telah demikian jelas).
“Yaitu agar orang yang binasa itu
binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu
hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula). Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Anfal: 42)
Bergaul dengan Orang-Orang Kafir
Dengan kasih sayang Allah terhadap
hamba-hamba-Nya, Dia telah membimbing bagaimana semestinya bergaul
bersama orang-orang kafir yang berbeda agama.Allah telah menjelaskan
segala perkara yang merupakan ciri hidup mereka,berikut bentuk
kedengkian mereka terhadap Islam dan kaum muslimin. Semuanya ini
memiliki hikmah agar kaum mukminin selalu berada di atas kemuliaan pada
agamanya,sehingga agama orang-orang kafir rendah dan hina.
Belakangan ini kita tidak bisa memilah
antara orang-orang muslim dan kafir dalam banyak perkara.Bahkan perkara
yang merupakan prinsip agama,yaitu masalah al-wala` (loyalitas) dan
al-bara` (berlepas diri), telah menjadi sesuatu yang pudar dalam
kehidupan beragama kaum muslimin.
Merupakan kewajiban bagi setiap muslim
untuk berpegang dengan prinsip-prinsip aqidah Islamiyah dengan cara
berloyalitas terhadap pemeluknya dan memusuhi musuh-musuhnya, mencintai
ahli tauhid dan berloyalitas kepadanya, benci terhadap ahli syirik dan
memusuhinya. Hal ini termasuk millah Ibrahim dan orang-orang yang
beriman bersamanya.Dan Allah telah memerintahkan kita untuk mencontoh
mereka sebagaimana dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang
baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya
ketika mereka berkata kepada kaum mereka:‘Sesungguhnya kami berlepas
diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah. Kami
ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata permusuhan dan kebencian
antara kami dan kalian untuk selama-lamanya,sampai kalian beriman kepada
Allah saja’.” (Al-Mumtahanah: 4)
Dan prinsip ini merupakan agama Rasulullah sebagaimana firman Allah:
“Hai orang-orang yang
beriman,janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian
yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin
maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (Al-Ma`idah:
51) [Lihat Al-Wala` wal Bara` karya Asy-Syaikh Shalih Fauzan hal. 4)
Allah telah memperingatkan dalam banyak
hal dan membongkar kedengkian serta kebencian orang-orang kafir terhadap
Islam dan kaum muslimin.Seperti dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang
beriman,janganlah kalian mengambil musuh-Ku dan musuh kalian menjadi
teman-teman setia yang kalian sampaikan kepada mereka (berita-berita
Muhammad) karena rasa kasih sayang.Padahal sesungguhnya mereka telah
ingkar kepada kebenaran yang datang kepada kalian,mereka mengusir Rasul
dan (mengusir) kalian karena kalian beriman kepada Allah.”
(Al-Mumtahanah: 1)
“Hai orang-orang yang
beriman,janganlah kalian ambil orang-orang yang di luar kalangan kalian
menjadi teman kepercayaan kalian, (karena) mereka tidak henti-hentinya
(menimbulkan) kemudaratan bagi kalian. Mereka menyukai apa yang
menyusahkan kalian. Telah nyata kebencian dari mulut mereka dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah
Kami terangkan kepada kalian ayat-ayat (Kami), jika kalian memahaminya.”
(Ali ‘Imran: 118)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang
menjelaskan tentang konsep hidup mereka terhadap Islam dan kaum
muslimin yang penuh dengan kedengkian serta niat jahat. Maka,tidak
pantas seorang muslim menjadikan mereka sebagai sahabat di dalam hidup
dan teman bergaul sehari-hari.
Di antara sikap-sikap yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya terhadap orang-orang kafir adalah sebagai berikut:
1. Tidak menyerupai mereka dalam semua
perkara,terlebih dalam masalah aqidah dan ibadah.Rasulullah telah
memperingatkan masalah ini dalam sebuah sabda beliau:
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum,niscaya dia termasuk dari mereka.” (HR. Al-Imam Ahmad dari sahabat Ibnu ‘Umar)
2. Larangan menyerupai mereka dalam
seluruh perkara, seperti menyerupai mereka dalam pakaian khas mereka,
adat/kebiasaan,ibadah, dan akhlak. Seperti mencukur jenggot,
memanjangkan kumis,berbicara dengan bahasa mereka tanpa ada
keperluan/hajat,cara berpakaian, makan, minum dan sebagainya.
3. Tidak bertempat tinggal di negeri mereka atau pergi ke negeri mereka.
Allah telah mengancam orang-orang yang
tidak mau meninggalkan negeri orang-orang kafir padahal mereka sanggup
untuk melakukan hal itu dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan
malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka)
malaikat bertanya: ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab:
‘Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah)’ Para
malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat
berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali kecuali mereka yang tertindas
baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya
upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).” (An-Nisa`: 97-98)
Yang dimaksud dengan orang yang
menganiaya diri sendiri di sini ialah muslimin Makkah yang tidak mau
hijrah bersama Nabi n padahal mereka sanggup melakukannya. Mereka
ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir ikut bersama mereka pergi ke
perang Badr.Akhirnya di antara mereka ada yang terbunuh dalam
peperangan itu.
4. Tidak membela mereka dengan mendukung
segala permusuhannya terhadap Islam dan kaum muslimin.Membela mereka
dengan cara demikian atau sampai ke martabat ini termasuk yang akan
mengeluarkannya dari Islam.Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
menyebutkan di antara sepuluh pembatal keislaman adalah membela
orang-orang kafir dalam memerangi kaum muslimin.
5. Tidak meminta bantuan kepada mereka,memercayai mereka,dan menyerahkan posisi strategis yang menyangkut rahasia kaum muslimin.
Dan banyak lagi cara berhubungan serta
bergaul yang bertentangan dengan syariat Allah dan Rasul-Nya yang
kesimpulannya berujung pada meletakkan wala`(loyalitas) sebagaimana kita
berikan kepada saudara kita sesama muslim.
Bergaul dengan Orang-Orang Islam
Berteman karena agama adalah sebuah
anjuran dan mencari teman yang baik adalah sebuah perintah.Sementara
berteman dengan orang yang tidak baik justru akan membahayakan bagi diri
dan agamanya. Allah l telah menegaskan dalam masalah ini dalam
firman-Nya:
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan
orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan senja hari dengan
mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari
mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu
mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat Kami,
serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”
(Al-Kahfi: 28)
“Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari
orang yang berpaling dari peringatan kami, dan tidak menginginkan
kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka.
Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang
mendapat petunjuk.” (An-Najm: 29-30)
Untuk lebih jelasnya serta agar bisa
mendudukkan tuntunan agama dalam bermualah bersama mereka,kita
klasifikasikan kaum muslimin menjadi beberapa golongan. Ini (bukan
kondisi yang memang harus diterima apa adanya,namun) semata-mata
mendekatkan kepada pemahaman.
Pertama: Golongan orang-orang yang benar-benar beriman.
Orang yang beriman kepada Allah l dengan
sebenar-benarnya, memiliki kedudukan yang tinggi di sisi-Nya dan
mendapatkan nama yang harum. Sungguh betapa banyak ayat-ayat Al-Qur`an
yang menjelaskan pujian Allah terhadap mereka dan mengangkat kedudukan
mereka yang tinggi.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (Al-Bayyinah: 7)
“Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11)
“Demi masa.Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran
dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Al-’Ashr: 1-3)
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang
yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’dalam shalatnya. Dan
orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang
tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang
yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak
yang mereka miliki.Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang
yang melampaui batas.” (Al-Mu`minun: 1-6)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang
menjelaskan kedudukan mereka yang mulia di sisi Allah.Tentunya bergaul
bersama mereka dengan pergaulan yang penuh kasih sayang dan cinta,
menganggap mereka sebagai saudara dalam agama dan aqidah sekalipun
berbeda nasab, berjauhan negeri, dan berbeda zaman. Hal ini dipertegas
olah Allah dalam firman-Nya:
“Dan orang-orang yang datang sesudah
mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa:‘Ya Rabb kami,ampunilah
kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami,
dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap
orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha
Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (Al-Hasyr: 10)
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang
kafir, tetapi berkasih sayang di antara mereka.” (Al-Fath: 29)
Menganggap mereka adalah saudara dan berusaha mendamaikan bila terjadi perselisihan di antara mereka.
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya
bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua
saudara kalian itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kalian mendapat
rahmat.” (Al-Hujurat: 10)
Rasulullah bersabda:
“Perumpamaan persaudaraan orang-orang
yang beriman bagaikan sebuah bangunan yang sebagiannya menguatkan yang
lain.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim no. 2585 dari sahabat Abu Musa
Al-Asy’ari)
“Perumpamaan orang-orang yang beriman
dalam cinta dan berkasih sayang, mereka bagaikan satu jasad yang bila
salah satu anggota badannya sakit, seluruh jasadnya merasakan sakit
panas dan berjaga.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim no. 2586 dari
sahabat An-Nu’man bin Basyir)
Juga sebagai bentuk penerapan pergaulan kita bersama mereka adalah berloyalitas kepada mereka secara sempurna:
“Sesungguhnya penolong kalian
hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan
shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).Dan
barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman
menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah
yang pasti menang.” (Al-Ma`idah: 55)
Kedua: Golongan Orang-orang yang Bermaksiat
Teman sangat memengaruhi baik tidaknya
agama seseorang dan berpengaruh pula terhadap kebahagiaan dunia dan
akhirat. Kisah kematian Abu Thalib paman Rasulullah sebagaimana dalam
riwayat Al-Bukhari dan Muslim tentu bukanlah rahasia lagi. Diceritakan
bahwa dia memilih tetap bersama agama nenek moyangnya, padahal
Rasulullah di samping ranjang kematiannya mentalqin kalimat Laa ilaha
illallah.Ini dikarenakan mengultuskan ajaran nenek moyang dan salah
dalam memilih teman bergaul.(Lihat Kitab At-Tauhid karya Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul
Wahab)
Oleh karena itu,Rasulullah memperingatkan agar kita berhati-hati dalam mencari teman.
“Seseorang sesuai dengan agama/adat
kebiasaan temannya,maka lihatlah teman bergaulnya.” (HR. Abu Dawud no.
4833 dan At-Tirmidzi no.2379 dari sahabat Abu Hurairah)
“Perumpamaan teman yang baik dan
jelek adalah seperti berteman dengan penjual minyak wangi dan tukang
pandai besi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim no. 2628 dari sahabat Abu Musa
Al-Asy’ari)
Ada dua atau tiga kemungkinan bagimu jika
engkau berteman dengan tukang minyak wangi. (Pertama) engkau membeli
wewangian darinya sehingga engkau menjadi wangi, (kedua) dia memberimu,
atau (ketiga) engkau mencium bau yang harum. Sebaliknya jika engkau
berteman dengan tukang pandai besi hanya ada dua kemungkinan: dia akan
membakar pakaianmu dengan percikan api tersebut, atau engkau mencium bau
yang tak sedap.
Orang yang bermaksiat kepada Allah l
berada dalam murka Allah.Tentunya jangan dijadikan sebagai teman hidup
kecuali dalam batasan agama, seperti mendakwahi mereka dan mengajak
untuk meninggalkan kebiasaan mereka yang jelek.Allah berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan
Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”(An-Nahl: 125)
Ketiga:Golongan Orang-orang Awam
Orang awam membutuhkan bantuan
orang-orang alim untuk mengajari mereka bimbingan agama.Bukan untuk
dihakimi dan divonis bila melakukan kesalahan di atas kejahilan/keawaman
mereka. Namun untuk diingatkan dan dibimbing ke jalan yang
benar.Rasulullah bersabda:
“Agama itu adalah nasihat.” Mereka
berkata: “Bagi siapa, ya Rasulullah?” Beliau bersabda: “Bagi Allah, bagi
kitab-kitab-Nya, bagi rasul-rasul-Nya, bagi pemimpin kaum muslimin dan
orang umum mereka.” (HR. Muslim no. 55 dari sahabat Tamim bin Aus
Ad-Dari)
Bila kita salah meletakkan sikap terhadap
mereka,dikhawatirkan mereka menjauh dari kebenaran bahkan fobi
terhadapnya. Bila hal itu terjadi karena diri kita, akan menyebabkan
kita terjatuh di dalam dosa, sebagaimana telah diperingatkan oleh
Rasulullah kepada Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa Al-Asy’ari: “Berilah
mereka kabar gembira dan jangan engkau menyebabkan mereka lari (dari
kebenaran).”
Allah sendiri meletakkan hukum khusus bagi mereka, sebagaimana di dalam firman-Nya:
“Dan kami tidak akan mengadzab sebelum kami mengutus seorang rasul.”(Al-Isra`: 15)
Asy-Syaukani di dalam tafsir beliau
berkata: “Allah tidak akan mengadzab hamba-Nya kecuali setelah tegak
hujjah dengan diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab kepada
mereka. Allah menjelaskan bahwa Dia tidak membiarkan mereka hidup
sia-sia dan Allah l tidak akan menyiksa mereka melainkan setelah tegak
hujjah atas mereka. Dan pendapat yang rajih adalah bahwa Allah l tidak
mengadzab mereka di dunia ataupun di akhirat, kecuali setelah diutusnya
para rasul kepada mereka. Demikianlah yang dikatakan oleh sebagian ahli
ilmu.” (Fathul Qadir, hal. 956)
Namun orang-orang awam tersebut akan keluar dari hukum khusus di atas apabila keawamannya tersebut disebabkan tiga perkara:
Pertama: Disebabkan istikbar
(menyombongkan diri) dengan tidak mau mempelajari kebenaran atau sombong
di hadapan kebenaran, maka kejahilan yang disebabkan hal ini tidak akan
diampuni oleh Allah l bila dia terjatuh dalam kemaksiatan karenanya.
Kedua: Disebabkan tafrith (mengentengkan
dan meremehkan) pengajaran ilmu agama yang benar sehingga tidak mau
mempelajarinya terlebih mengamalkannya.
Ketiga: Disebabkan i’radh (berpaling)
dari mempelajari ilmu agama sehingga bila dia terjatuh dalam
penyelisihan karena kejahilannya, maka tidak akan dimaafkan. (lihat
faidah dalam syarah Kasyfus Subhat)
Bergaul bersama mereka dalam tiga sebab
kejahilan ini harus ekstra hati-hati dan harus menjauhkan diri dari
mereka, karena mereka tidak akan mendatangkan kebaikan sedikitpun bagi
agama. Dalam bergaul bersama orang yang benar-benar awam,Rasulullah
menjadi uswatun hasanah dalam hal ini.Abu Hurairah mengisahkan:
Dari Abu
Hurairah berkata: Seorang Badui kencing di masjid, lalu orang-orang
bangkit untuk memukulnya (dalam riwayat yang lain mereka menghardiknya).
Rasulullah berkata: “Biarkan dia, tuangkan air di atas kencingnya atau
satu ember dari air karena sesungguhnya kalian diutus sebagai pemberi
kemudahan bukan memberikan kesulitan.” (HR. Al-Bukhari, Kitabul Adab)
Keempat: Golongan Ahli Bid’ah dan orang yang terjatuh padanya
Kita memaklumi bahwa kemaksiatan yang
paling besar setelah dosa kufur dan syirik adalah kebid’ahan di dalam
agama. Sebuah kemaksiatan yang paling dicintai dan disukai oleh iblis.
Hal ini ditegaskan oleh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri : “Sesungguhnya
kebid’ahan amat sangat disenangi oleh iblis daripada perbuatan
maksiat.Karena (orang yang melakukan) perbuatan bid’ah tidak akan (kecil
kemungkinan) bertaubat darinya. Sedangkan kemaksiatan akan
(memungkinkan pelakunya) bertaubat darinya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
menjelaskan, makna pernyataan bahwa kebid’ahan tidak akan diberi taubat,
karena seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) menjadikan sesuatu yang tidak
pernah disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai agama.Dan
kebid’ahan itu telah dihiasi dengan kejelekan amalannya sehingga
nampaknya baik.Tentunya dia tidak akan bertaubat selama dia menganggap
perbuatannya adalah baik, karena awal dari pintu bertaubat adalah
mengetahui tentang kejelekan tersebut.”(At-Tuhfatul ‘Iraqiyyah, hal. 7)
Rasulullah telah memperingatkan dari perbuatan yang disukai iblis ini sebelum terjadinya,dalam banyak sabdanya. Di antaranya:
“Dan berhati-hatilah kalian dari
perkara-perkara baru dalam agama,dan setiap perkara baru (dalam agama)
adalah bid’ah dan setiap kebid’ahan itu sesat.” (HR. Abu Dawud no. 4607
dan At-Tirmidzi no. 2678 dan selain beliau berdua dari sahabat ‘Irbadh
bin Sariyah.Dan disebutkan oleh Rasulullah dalam khutbatul hajah dalam
riwayat Al-Imam Muslim dari sahabat Jabir)
Tentang pelakunya,beliau telah
memperingatkan dengan tegas dan keras sebagaimana ucapan beliau tentang
Khawarij.Dalam sebuah kesempatan Rasulullah mengatakan:“Dari keturunan
orang ini muncul suatu kaum yang mereka membaca Al-Qur`an namun tidak
sampai tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana
keluarnya anak panah dari sasarannya. Mereka membunuh orang-orang Islam
dan membiarkan para penyembah berhala. Jika saya menjumpai mereka, akan
saya perangi mereka sebagaimana Allah memerangi kaum ‘Ad.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri)
Dalam kesempatan yang lain beliau
bersabda: “Di mana saja kalian menjumpai mereka maka bunuhlah mereka,
karena membunuh mereka mendapatkan pahala bagi pembunuhnya pada hari
kiamat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari sahabat ‘Ali)
Juga sabda beliau:“Barangsiapa membunuh
mereka maka dialah orang yang paling utama di sisi Allah.” (HR. Abu
Dawud no. 4765 dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri z dan Anas bin Malik)
Dalam kesempatan yang lain beliau
bersabda: “Berbahagialah orang yang membunuh mereka dan terbunuh oleh
mereka.” (HR. Abu Dawud no. 4765 dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudri)
Dalam kesempatan yang lain beliau
bersabda: “(Mereka adalah) sejelek-jelek orang yang terbunuh di bawah
kolong langit.” (HR. Ahmad no. 19172 dari sahabat Abdullah bin Abi Aufa)
Tidak termasuk seorang yang benar imannya
jika dia menganggap banyak perkara syariat yang belum disampaikan oleh
Rasulullah.Tidak termasuk berjalan di atas jalan Rasulullah jika kita
bergandengan tangan dengan ahli bid’ah dan duduk bersamanya dalam satu
majelis.
Para ulama salaf telah mengajarkan kita sikap bergaul yang baik dengan ahli bid’ah.
Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Barangsiapa
mendengar ucapan ahli bid’ah maka dia telah keluar dari pemeliharaan
Allah dan dia dilimpahkan kepada kebid’ahan tersebut.”
Fudhail bin ‘Iyadh berkata: “Barangsiapa
duduk bersama ahli bid’ah maka dia tidak akan diberikan hikmah.” Beliau
juga berkata: “Jangan kalian duduk bersama ahli bid’ah karena aku takut
laknat menimpamu.“ Beliau berkata pula: “Barangsiapa mencintai ahli
bid’ah maka telah batal amalannya dan telah keluar cahaya Islam dari
dalam hatinya.” Beliau berkata juga: “Barangsiapa yang duduk bersama
ahli bid’ah di sebuah jalan (dan kamu lewat di majelis tersebut) maka
hendaklah kamu mengambil jalan yang lain.”
Beliau juga berkata:“Barangsiapa
memuliakan ahli bid’ah berarti dia telah membantunya untuk menghancurkan
Islam. Barangsiapa memberikan senyumnya kepada ahli bid’ah maka sungguh
dia telah menyepelekan apa yang diturunkan kepada Rasulullah n.
Barangsiapa yang menikahkan anaknya bersama ahli bid’ah maka sungguh dia
telah memutuskan hubungan kekeluargaan. Dan barangsiapa yang mengikuti
jenazah ahli bid’ah maka dia terus berada dalam murka Allah l sampai dia
kembali.”
Bahkan beliau berkata:“Aku bisa saja
makan bersama seorang Yahudi dan Nasrani,namun aku tidak akan makan
bersama ahli bid’ah. Aku senang bila ada benteng dari besi antara diriku
dengan ahli bida’h.”(Lihat Syarhus Sunnah, Al-Imam Al-Barbahari hal.
137-139)
Adapun mereka yang terjatuh dalam
kebid’ahan dalam keadaan tidak mengetahui itu adalah sebuah kebid’ahan
dalam agama. Kita berharap kepada Allah semoga Allah memberikan hidayah
kepada mereka dan memaafkan kesalahan mereka. Sikap kita kepada mereka
adalah sebagaimana sikap kita terhadap orang yang awam, yang butuh
diselamatkan dan diajak kepada jalan yang benar.
Terkadang seseorang tergiur dengan sebuah
penampilan sunnah seperti pakaian sunnah,jenggot sunnah,‘imamah sunnah,
dan sebagainya. Namun apalah artinya jika engkau menampilkan sunnah
sementara engkau tidak berjalan di atas jalan Sunnah Rasulullah Engkau
tidak beraqidah di atas aqidah beliau,engkau tidak beribadah sesuai
dengan tuntunan beliau dan sebagainya. Butuh alat pembanding dan
penilai, itulah kebenaran.Oleh karena itu “kenalilah kebenaran, engkau
akan mengenal pemeluk kebenaran.”
Wallahu a‘lam bish-shawab.
sumber:asysyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar