Pak Haji dan Bu Hajah adalah gelar bagi orang-orang yang sudah naik haji ke tanah suci, Mekkah Mukarromah. Begitu bangganya kebanyakan orang-orang kita dengan gelar ini dan begitu senangnya bapak-bapak itu dipanggil dengan
“Pak Haji” begitu pula ibu-ibunya dengan “Bu Hajah”
Berbagai macem lambang atau tanda, mereka kenakan agar dapat dikenali oleh orang-orang, sehingga mereka tak keliru memanggilnya, dari sekedar pake sarung dan baju koko (orang kita biasa menyebutnya baju taqwa), atau menyelempangkan sorban di pundaknya, yang lebih tinggi tingkatannya adalah membawa biji-bijian tasbih ke sana kemari.
Disebagian daerah, sejak keberangkatan si calon Pak Haji atau Bu Haji, keluarga yang ditinggal menyewa para tukang baca Al-Qur’an untuk membacanya sampai bapak-bapak dan ibu-ibu itu pulang dari tanah suci.
Dan juga, setelah kembalinya dari tanah suci, pesta yang begitu istimewa dan meriah di adakan di rumah masing-masih Bapak-bapak Haji itu, tak lupa di pintu masuk rumah mereka tertulis dengan kaligrafi yang begitu cantik dan menarik
“Selamat Datang Pak Haji Pulang dari Tanah Suci”.
Semua itu, selain yang katanya untuk syukuran, juga untuk mengenalkan kepada masyarakat dan para tentangga bahwa bapak itu sudah naik haji, jadi jangan memanggilnya kecuali ditambah “Pak Haji”.
Demikianlah keadaan masyarakat kita dan masyarakat beberapa negara tetangga. Parahnya, kebanyakan bapak-bapak yang sudah mencicipi nikmatnya ibadah haji itu, tak mau dipanggil kecuali dengan “Bapak Haji” atau “Haji Fulan”.
Maka jangan coba-coba anda memanggilnya hanya dengan Bapak Fulan atau wahai Fulan, bukan hanya tidak mau menoleh, terkadang lirikan tajam juga akan di arahkan kepada anda, atau bahkan sandal dan kelompen juga melayang ke muka anda …
Nah, potret realita di atas yang sudah menjamur di masyarakat kita, bagaimanakah sebenarnya bimbingan Islam tentangnya? Bolehkah kita menggelari diri kita yang sudah pernah “munggah” haji dengan pak haji, bang haji, dek haji, atau bu haji, nek haji, atau yang lainnya?!
Berikut ini, kami lampirkan fatwa Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimi Hafizhahullah Ta’ala, seorang Pengajar di Masjid Nabawi, Madinah Nabawiyah. Simak dan perhatikan:
Pertanyaan: “Para Haji di tempat kami, apabila seorang dari mereka telah kembali (ke daerahnya) tidak rela dipanggil, “wahai fulan”, namun harus ditambah: “Haji Fulan”?
Beliau menjawab: Ini perkara yang berbahaya sekali, sebagiannya menggantungkan tanda di rumahnya, biar ia dipanggil “HAJI FULAN” dan meletakkan bingkai yang besar kemudian digantungkan di rumahnya, atau disetiap sisi di ruang tamu. Tidak diragukan lagi, (perbuatan seperti) tidak boleh, dan dikhawatirkan akan menyeretnya kepada perbuatan RIYA’.
Para shahabat yang berjumlah 120 ribu, mereka juga telah menunaikan haji, tetapi tidak seorang pun dari mereka yang digelari dengan “PAK HAJI”. na’am….
[ Selesai fatwa Syaikh Shalih As-Suhaimi. Diterjemahkan sebisanya dari situs beliau: http://www.alsoheemy.net/play.php?catsmktba=1966 ]Demikianlah wahai saudaraku, wahai bapak dan ibu haji penjelasan Syaikh Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi, ulama tersohor dari Madinah.
Sungguh benarlah beliau Hafizhahullah, berapa banyak gelar seperti itu membawa dan menyeret pelakunya kepada perbuatan RIYA’, Sombong, dan bangga diri. Tidak diragukan itu semua adalah termasuk perbuatan dosa bosar yang tercela dalam Islam.
Semoga Allah selalu meluruskan hati dan niat kita….. Amin ya Rabbal ‘alamin.
http://warisansalaf.wordpress.com/2010/08/07/mengecek-bimbingan-islam-tentang-gelar-pak-haji/
(618) views
Tidak ada komentar:
Posting Komentar