بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Cukup lama terpendam dalam benak kami
sebuah pertanyaan, mengapa istri kedua atau istri lain dinamakan “madu”?
Apakah karena manisnya? Karena jawabannya bukanlah sesuatu yang penting
maka kami biarkan saja pertanyaan itu tak pernah terungkapkan dengan
kata-kata, tidak pula berusaha mencari jawabnya.
Sampai suatu ketika, di majelis guru kami, Al-Ustadz Adnan hafizhahullah di Manado, pada akhir-akhir Ramadhan 1433 H, di sela-sela pembahasan kitab Haadyl Arwah ilaa Bilaadil Afraah, karya Al-Imam Al-‘Allamah Ibnul Qoyyim rahimahullah,
beliau menjelaskan sebuah faidah, ternyata “madu” itu berasal dari kata
“memadukan,” dinamakan demikian sebab seorang suami telah memadukan
antara dua istri atau lebih.
Inilah makna “madu” dalam Bahasa Indonesia.
Lain halnya dalam Bahasa Arab, kata yang digunakan untuk istri kedua atau istri lain adalah Dhorrah [ضَرَّةٌ]
yang artinya secara bahasa adalah wanita yang membahayakan, dinamakan
demikian karena adanya persaingan diantara para istri yang dapat
membahayakan. [Selesai faidah dari beliau hafizhahullah]
Dari penjelasan di atas dapat kita
simpulkan bahwa kata “madu” dalam Bahasa Indonesia akar makna bahasanya
lebih baik dan lebih tepat dari kata “madu” dalam Bahasa Arab. Karena
memang demikianlah menurut syari’at yang mulia ini, hakikat istri-istri
yang dimiliki seseorang adalah akhawat mukminat,
para wanita beriman yang bersaudara, sehingga haruslah terjadi
perpaduan yang baik antara mereka. Sebagaimana seorang suami haruslah
berusaha memadukan antara mereka.
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah
bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah
kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” [Al-Hujurat: 10]
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى
تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا
اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ
وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang yang beriman
dalam kecintaan, kasih sayang dan kelembutan di antara mereka bagaikan
satu tubuh, apabila ada satu anggota tubuh yang sakit maka seluruh tubuh
akan ikut merasa sakit hingga tidak bisa tidur dan merasa demam.” [HR. Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari sahabat yang mulia An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu]
Demikianlah seharusnya para istri yang
beriman, hendaklah mereka berusaha mengamalkan sifat-sifat kaum mukminin
antara satu dengan yang lainnya dan bekerja sama dalam kebaikan dan
takwa. Terlebih para istri Ahlus Sunnah wal Jama’ah, khususnya lagi
istri-istri para du’at yang harus menjadi panutan di
tengah-tengah masyarakat, dalam kondisi musuh-musuh Islam dan
orang-orang awam yang termakan dengan syubhat-syubhat mereka terus berusaha untuk menjelek-jelekan sunnah poligami dan menghantam Ahlus Sunnah karena hal tersebut.
Kecemburuan Antara Para Istri dalam Kondisi Kurang Akal dan Agama
Cemburu adalah hal yang wajar dalam diri
seorang wanita, akan tetapi hal itu tidaklah membenarkan perbuatan dosa
dan kezaliman terhadap saudarinya, apalagi terhadap suaminya. Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam telah mengingatkan,
لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ
تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ
عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ
أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ
التَّقْوَى هَا هُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ
امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ
الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Janganlah kalian saling dengki, janganlah saling melakukan najasy
(menawar suatu barang dengan harga yang tinggi padahal dia tidak niat
membelinya tetapi hanya untuk memancing orang lain agar menawar dengan
harga yang lebih tinggi), janganlah saling membenci, janganlah saling
membelakangi, janganlah sebagian kalian membeli barang yang telah dibeli
orang lain, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.
Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka janganlah dia menzaliminya, janganlah menghinanya, (dalam riwayat At-Tirmidzi: janganlah mengkhianatinya dan janganlah berdusta kepadanya) dan janganlah merendahkannya.
Ketakwaan itu di sini, seraya beliau
menunjuk ke dadanya tiga kali. Cukuplah seorang muslim dikatakan jelek
apabila dia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim
diharamkan mengganggu darah, harta, dan kehormatan muslim lainnya.” [HR. Al-Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Oleh karena itu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak membiarkan ghibah yang dilakukan oleh istri tercintanya, Aisyah radhiyallahu’anha terhadap istri lainnya, Shafiyah radhiyallahu’anha. Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha menuturkan,
قُلْتُ لِلنَّبِىِّ صلى الله عليه
وسلم حَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّةَ كَذَا وَكَذَا قَالَ غَيْرُ مُسَدَّدٍ
تَعْنِى قَصِيرَةً فَقَالَ لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ
الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Aku berkata kepada Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam, cukuplah bagimu Shofiyyah itu begini dan
begitu.” Berkata rawi, ucapan yang tidak baik, yaitu Shafiyah itu
pendek. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh
engkau telah mengucapkan suatu kalimat, andaikan kalimat itu dicampur ke
air laut, niscaya laut itu akan tercemar.” [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, Shahihut Targhib, no. 2834]
Sebagaimana beliau tidak membiarkan istri tercintanya, Hafshah radhiyallahu’anha mencela istrinya yang lain, Shafiyyah radhiyallahu’anha. Sahabat yang mulia Anas bin Malik radhiyallahu’anhu menuturkan,
بلغ صفية أن حفصة قالت بنت يهودي
فبكت فدخل عليها النبي صلى الله عليه و سلم وهي تبكي فقال ما يبكيك فقالت
قالت لي حفصة إني ابنة يهودي فقال النبي صلى الله عليه و سلم إنك لابنة نبي
وإن عمك لنبي وإنك لتحت نبي ففيم تفخر عليك ثم قال اتقي الله يا حفصة
“Sampai kepada Shofiyyah bahwa Hafshah
mengatakan, Shofiyyah adalah anak seorang Yahudi, maka ia pun menangis.
Lalu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menemuinya dalam keadaan ia
sedang menangis, maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berkata
kepadanya, ‘Apa yang membuat engkau menangis?’ Ia menjawab, ‘Hafshah berkata kepadaku, sesungguhnya aku anak seorang Yahudi.’ Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya engkau adalah anak seorang Nabi dan sungguh pamanmu juga seorang Nabi (yakni dari keturunan Nabi Musa dan Harun ‘alaihimassalam) dan suamimu juga seorang Nabi, maka apa yang membuatnya berbangga atasmu.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Bertakwalah kepada Allah wahai Hafshah’.” [HR. At-Tirmidzi, Shahih At-Tirmidzi, no. 3055]
Di sisi lain, seorang suami juga harus
memahami bahwa cemburu antara para istri adalah sifat dasar mereka, dan
itu masih ditambah dengan kekurangan akal dan agama mereka, tak
terkecuali para istri Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Sehingga
seorang suami dituntut untuk bersikap sabar dan meneladani Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam dalam menghadapi “pergolakan” di antara
para istri. Di sinilah pentingnya ilmu dalam rumah tangga, inilah
kesempatan emas untuk mempraktekan salah satu prinsip emas Ahlus Sunnah
wal Jama’ah, “Ilmu sebelum perkataan dan perbuatan.”
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah sampai menyebutkan dalam Shahih beliau sebuah bab yang berjudul, “Bab Tentang Kecemburuan” [باب الْغَيْرَةِ] dan lebih khusus lagi “Bab Kecemburuan Wanita dan Kemarahan Mereka (Karena Cemburu)” [باب غيرة النساء ووجدهن]. Beliau rahimahullah meriwayatkan,
عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ
النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ فَأَرْسَلَتْ
إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ بِصَحْفَةٍ فِيهَا طَعَامٌ فَضَرَبَتِ
الَّتِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي بَيْتِهَا يَدَ الْخَادِمِ
فَسَقَطَتِ الصَّحْفَةُ فَانْفَلَقَتْ فَجَمَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه
وسلم فِلَقَ الصَّحْفَةِ ثُمَّ جَعَلَ يَجْمَعُ فِيهَا الطَّعَامَ الَّذِي
كَانَ فِي الصَّحْفَةِ وَيَقُولُ غَارَتْ أُمُّكُمْ ثُمَّ حَبَسَ
الْخَادِمَ حَتَّى أُتِيَ بِصَحْفَةٍ مِنْ عِنْدِ الَّتِي هُوَ فِي
بَيْتِهَا فَدَفَعَ الصَّحْفَةَ الصَّحِيحَةَ إِلَى الَّتِي كُسِرَتْ
صَحْفَتُهَا وَأَمْسَكَ الْمَكْسُورَةَ فِي بَيْتِ الَّتِي كَسَرَتْ
“Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, beliau berkata, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah besama salah satu istri beliau, lalu salah seorang ummahatul mukminin,
istri beliau yang lain mengirimkan sepiring makanan kepada beliau, maka
istri yang lagi bersama beliau di rumahnya itu memukul tangan pembantu
(yang membawa makanan itu), maka piringnya pun jatuh hingga pecah, maka
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan-pecahan piring
itu dan juga mengumpulkan makanan yang jatuh, dan beliau bersabda, “Ibu kamu sedang cemburu.”
Kemudian beliau menahan pembantu tersebut sampai beliau mengganti
piring yang pecah itu dengan piring yang berasal dari rumah istri yang
memecahkannya. Maka beliau membayar dengan piring yang bagus untuk
mengganti piring yang pecah, dan beliau menahan piring yang pecah di
rumah istri yang memecahkannya.” [HR. Al-Imam Al-Bukhari]
Faidah Hadits Terkait Pembahasan:
1. Kesabaran Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam menghadapi kecemburuan dan kemarahan istri-istri beliau.
2. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memaklumi kecemburuan istrinya dan kemarahannya yang timbul karena kecemburuan itu.
3. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak memarahi atau membentak istrinya. Al-Imam Ibnu Batthal rahimahullah berkata,
وفى حديث القصعة الصبر للنساء على أخلاقهن وعوجهن لأنه عليه السلام لم يوبخها على ذلك ولا لامها ولا زاد على قوله غارت أمكم
“Dalam hadits tentang piring pecah ini
terdapat pelajaran sabar dalam menghadapi para istri atas akhlak mereka
dan kebengkokan mereka, karena Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak
menjelek-jelekan istri beliau disebabkan perbuatannya itu, tidak pula
mencelanya dan tidak pula menambah ucapannya selain, ‘Ibu kamu sedang cemburu’.” [Syarhu Shahih Al-Bukhari, 7/351]
4. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
memafkan dan tidak memberikan hukuman terhadap istrinya tersebut. Sampai
seluruh ulama yang menjelaskan hadits ini berkata,
فيه إشارة إلى عدم مؤاخذة الغيراء بما يصدر منها لأنها في تلك الحالة يكون عقلها محجوبا بشدة الغضب الذي اثارته الغيرة
“Dalam hadits ini terdapat isyarat akan
tidak bolehnya menghukum wanita-wanita yang sedang cemburu ketika ia
melakukan suatu kesalahan, sebab dalam keadaan itu akalnya sedang
tertutup karena besarnya kemarahan yang dibakar oleh kecemburuan.” [Fathul Bari, 9/325]
5. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mendidik istrinya yang bersalah dengan mengganti piring yang dipecahkannya dari miliknya.
6. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak membiarkan kemungkaran yang dilakukan oleh istrinya.
7. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
menunaikan hak istri yang dizalimi dengan mengganti piringnya yang rusak
dari milik istri yang merusaknya.
8. Seorang suami haruslah bersikap
dewasa dan matang dalam menghadapi istri-istrinya, sebab yang ia hadapi
adalah makhluk “halus” yang mudah pecah seperti “kaca” yang bengkok lagi
tidak sempurna akal dan agamanya. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda,
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ
“Aku tidak melihat wanita-wanita yang
kurang akal dan agama namun sanggup menghilangkan akal sehat seorang
laki-laki cerdas melebihi seorang dari kalian (para wanita).” [HR. Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari sahabat yang mulia Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma]
9. Seorang suami haruslah menasihati
istri-istrinya secara terus menerus dengan penuh kelembutan. Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ
الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ
أَعْلاَهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ
يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاء
“Berilah nasihat kepada para wanita,
karena sesungguhnya wanita itu tercipta dari tulang rusuk (yang
bengkok), dan tulang rusuk yang paling bengkok itu adalah bagian paling
atasnya, jika engkau memaksa untuk meluruskannya engkau akan
mematahkannya, namun jika engkau biarkan ia akan tetap bengkok, maka
nasihatilah para wanita.” [HR. Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari sahabat yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
10. Pentingnya ilmu dalam rumah tangga.
Inilah sesungguhnya diantara sisi yang paling penting dalam meneladani
rumah tangga Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, bukan sekedar
semangat belaka. Masalah apapun dalam rumah tangga, insya Allah ta’ala
akan terpecahkan dengan baik jika masing-masing dari suami dan istri mau
kembali kepada ilmu yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sesuai
pemahaman Salaful Ummah.
Nasihat ringkas ini semoga bermanfaat
bagi para suami dalam membimbing istri-istrinya dan menjadikan mereka
“madu-madu” yang baik lagi manis. Wallahul Musta’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar