بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Madu, adalah sebuah kata yang bisa
bermakna sesuatu yang manis (bagi orang yang memahami hakikatnya) dan
bisa pula sesuatu yang pahit (bagi orang yang belum memahami
hakikatnya). Dan sepanjang yang saya ketahui, semua madu bermakna manis
insya Allah ta’ala, bahkan manfaatnya banyak sekali. Allah ta’ala
berfirman,
يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dari perut lebah itu keluar minuman
(madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang
menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah ta’ala) bagi orang-orang
yang memikirkan.” [An-Nahl: 69]
Adapun “madu” yang dianggap pahit oleh
mereka yang belum mengetahui hakikatnya adalah sebuah kata di Indonesia
untuk menyebutkan istri kedua, ketiga dan keempat. Namun sesungguhnya,
kedua makna madu ini terdapat kesamaan yang sangat kuat, diantaranya:
Kesamaan Pertama:
Sama-sama mengandung obat yang menyembuhkan. Bahkan yang pertama
umumnya hanya digunakan untuk penyakit fisik, yang kedua bisa untuk
fisik dan psikis; obat galau (yang menenteramkan hati) dan menyelamatkan
diri dari kemaksiatan. Allah ta’ala berfirman,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ
لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ
بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda (kekuasaan)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” [Ar-Rum: 21]
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ
لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ
بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa
diantara kalian yang telah mampu hendaklah dia segera menikah, karena
menikah itu akan lebih menjaga pandangan (dari melihat yang haram) dan
menjaga kemaluan (dari penyaluran syahwat di tempat yang haram).
Barangsiapa yang belum mampu menikah hendaklah dia berpuasa, karena
puasa itu akan menjadi perisai baginya (dari kemaksiatan)” [HR. Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dari sahabat yang mulia Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu]
Faidah Hadits Terkait Pembahasan:
1. Hadits yang mulia ini tidaklah
bermakna pembatasan hanya diperintahkan kepada seorang pemuda yang sama
sekali belum memiliki istri, tetapi bisa bermakna umum bagi seorang
pemuda yang telah beristri (kurang dari empat) dan dia mampu untuk
menikah lagi. Oleh karena itu para ulama ketika menjelaskan sebagian
hukum poligami mereka samakan dengan hukum menikah secara umum, yaitu jika
seorang pemuda yang telah memiliki istri (kurang dari empat) dan dia
merasa khawatir jika tidak menikah lagi dia akan terjatuh pada
perzinahan maka hukumnya wajib atasnya untuk menikah lagi.
2. Dengan menikah maka seseorang akan
semakin terjaga dari perbuatan-perbuatan dosa. Ini juga bermakna umum
mencakup orang yang telah menikah dengan satu istri (atau kurang dari
empat istri), apabila dia mau untuk lebih menjaga dirinya dari fitnah (godaan) wanita hendaklah dia menikah lagi.
Juga sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam,
وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ
لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ
عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ
لَهُ أَجْرٌ
“Dan pada hubungan suami istri (jima’)
kalian terdapat sedekah,” Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah
seorang yang menyalurkan nafsu syahwatnya dan dia mendapatkan pahala?”
Beliau bersabda, “Bagaimana pendapat kalian jika dia menyalurkannya ke
tempat yang haram? Apakah dia mendapat dosa? Demikian pula jika dia
menyalurkannya ke tempat yang halal maka dia pun mendapat pahala.” [HR. Al-Imam Muslim dari sahabat yang mulia Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu’anhu]
[FAIDAH]: Hadits di atas sekaligus sebagai bantahan terhadap syubhat
sebagian “ustadz” atau “da’i” yang menolak poligami jika alasan
melakukan poligami adalah nafsu syahwat. Maka sesungguhnya Islam tidak
melarang penyaluran nafsu syahwat dengan poligami, bahkan itu yang
dianjurkan, bukannya dengan perselingkuhan. [Selesai faidah]
Inikah rahasianya Allah ta’ala
menjadikan bagi orang-orang mulia, yang paling bermanfaat bagi manusia
dan paling sering berinteraksi (dakwah) dengan manusia sebagai
orang-orang yang paling banyak istrinya? Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” [Ar-Ra’d: 38]
Al-Imam Al-Mufassir Al-Qurthubi rahimahullah berkata,
إن اليهود عابوا على النبي صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الأزواج، وعيرته بذلك وقالوا: ما نرى لهذا
الرجل همة إلا النساء والنكاح، ولو كان نبيا لشغله أمر النبوة عن النساء،
فأنزل الله هذه والآية، وذكرهم أمر داود وسليمان فقال: (وَلَقَدْ
أَرْسَلْنا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنا لَهُمْ أَزْواجاً
وَذُرِّيَّةً) أي جعلناهم بشرا يقضون ما أحل الله من شهوات الدنيا
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi mencela
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam karena banyaknya istri-istri beliau,
mereka menghina beliau karena hal tersebut (poligami). Mereka
mengatakan, ‘Kami tidak melihat yang dianggap penting oleh orang ini
kecuali wanita dan pernikahan (hubungan suami istri), andaikan dia
seorang nabi tentunya dia akan sibuk dengan urusan kenabian, bukan
urusan wanita.’ Maka Allah ta’ala menurunkan ayat ini dan mengingatkan mereka tentang Nabi Daud dan Sulaiman ‘alaihimassalam (Nabi mereka sendiri). Allah ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” [Ar-Ra’d: 38]
Makna ayat tersebut adalah, Kami jadikan mereka (para Rasul) sebagai manusia yang dapat menyalurkan nafsu dunia (di tempat yang halal).” [Tafsir Al-Qurthubi, 9/327]
[FAIDAH] PERINGATAN:
Membenci, mencela dan menghina syari’at poligami asalnya dari Yahudi,
bahkan dalam keadaan mereka mengetahui bahwa para Nabi yang diutus
kepada mereka pun melakukan poligami. Tidak diragukan lagi ini termasuk
kekufuran kepada Allah ta’ala jika seseorang membenci poligami karena
disyari’atkannya hal tersebut, adapun seorang wanita yang membenci
poligami karena hal lain seperti karena tabiatnya, bukan karena
disyari’atkannya maka hal itu bukan kekufuran. Namun hukumnya haram jika
mengantarkannya melakukan hal-hal yang haram seperti membahayakan
“madu”nya atau suaminya sendiri. [Selesai faidah]
Kesamaan Kedua:
Sama-sama mengandung kebesaran Allah ta’ala yang memiliki sifat Al-Ilmu
(Maha Berilmu) Al-Hikmah (Maha Bijaksana) dan Ar-Rahmah (Maha
Penyayang). Maka seorang mukmin harus meyakini apa yang Allah ta’ala
tetapkan sebagai syari’at adalah yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya. Di
sini seorang mukmin dituntut untuk menundukkan akalnya apabila dia
merasa akalnya bertentangan dengan ketentuan Allah ta’ala tersebut.
Hendaklah dia menerima sepenuhnya apa yang telah Allah ta’ala
syari’atkan dan menuduh akalnya telah salah.
Bahkan Allah ta’ala telah menunjukkan
bahwasannya, kehidupan dengan istri lebih dari satu (poligami) adalah
sebuah kehidupan yang telah Dia pilihkan bagi rumah tangga lelaki-lelaki
pilihan dan keluarga-keluarga teladan yang hidupnya paling bahagia sepanjang sejarah umat manusia, bahkan paling bahagia di dunia dan akhirat, yaitu para Nabi dan Rasul ‘alaihimussalam.
Sebagaimana Allah ta’ala juga menunjukkan bahwa rumah tangga-rumah
tangga yang gagal adalah mereka yang menyalurkan nafsu syahwatnya ke
tempat yang haram, yaitu perselingkuhan.
Oleh karena itu, Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih beliau,
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ
قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ هَلْ تَزَوَّجْتَ قُلْتُ لاَ قَالَ فَتَزَوَّجْ
فَإِنَّ خَيْرَ هَذِهِ الأُمَّةِ أَكْثَرُهَا نِسَاءً
“Dari Sa’id bin Jubair, beliau berkata, Ibnu ‘Abbas
berkata kepadaku, ‘Apakah engkau telah menikah?’ Aku jawab, ‘Belum.’
Maka beliau berkata, ‘Menikahlah, karena sesungguhnya sebaik-baik umat
ini adalah yang paling banyak istrinya (yaitu Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam)’.”
Ini semua adalah tanda-tanda kebesaran
Allah ta’ala bagi orang-orang yang (benar-benar) berakal. Perhatikan
kembali firman Allah ta’ala,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ
لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ
بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya
kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah ta’ala) bagi kaum yang berpikir.” [Ar-Rum: 21]
Setelah mengetahui keutamaan ini maka sungguh merugi mereka yang tidak mau madu dan “madu”. Wallahul Musta’an.
http://nasihatonline.wordpress.com/2012/08/19/antara-madu-dan-madu/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar