SEPUTAR I’TIKAF
Mengenali
dan Mengamalkannya sesuai Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam
Ust. Abu
Ahmad Kadiri
Ust. Abu ‘Amr
Ahmad
Merupakan
sebuah sunnah yang telah banyak ditinggalkan oleh kaum muslimin ketika bulan
Ramadhan adalah I’tikaf. Setiap kaum muslimin tentu berharap agar Ramadhan yang
dia laksanakan bernilai di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, terutama
ketika 10 terakhir Ramadhan yang di dalamnya terdapat Lailatul Qadr
malam yang di dalamnya dilipatgandakan amalan seorang hamba lebih baik daripada
1000 bulan.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidupnya telah memberikan contoh
kepada umatnya untuk meningkatkan amaliah ibadah ketika memasuki 10 Terakhir
Ramadhan tersebut, dan berusaha untuk mencari malam Lailatul Qadr dengan
mengerahkan upaya maksimal, sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
:
كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ
مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Dahulu
Rasulullah ketika memasuki 10 Terakhir dari bulan Ramadhan, belia mengencangkan
tali sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan
keluarganya”(HR Al Bukhari no.1884)
Di antara
yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada 10
Terakhir Ramadhan adalah I’tikaf di masjid.
Maka berikut
ini beberapa hukum ringkas yang terkait dengan permasalahan I’tikaf:
Pengertian I’tikaf
I’tikaf
secara bahasa adalah terus-menerus dalam mengerjakan sesuatu atau
menahan diri dari sesuatu.
Adapun
pengertian I’tikaf secara syar’i adalah tinggal di masjid oleh
orang tertentu, dengan sifat tertentu dalam rangka konsentrasi beribadah kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hukum I’tikaf
I’tikaf
merupakan ibadah sunnah yang disyari’atkan sebagaimana yang telah disebutkan di
dalam Al-Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’.
Dalil dari
Al-Qur’an, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَلَا
تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ [البقرة/187]
“Dan
janganlah kalian mencampuri mereka itu (istri-istri kalian), sedang kalian
beri’tikaf”. (Al Baqarah: 187)
Dalil dari
As Sunnah:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ
الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ
أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Bahwasanya
Rasulullah dahulu beri’tikaf ketika 10 Terakhir Ramadhan sampai Allah mewafatkan
beliau, kemudian beri’tikaflah istri-istri beliau setelah
itu”.(Muttafaqun’alaih)
Serta para
ulama’ bersepakat tentang sunnahnya perkara ini.
Tempat I’tikaf
Sebagian
‘ulama berpendapat bahwa i’tikaf hanya bisa dilakukan pada 3 masjid saja, yaitu
Al-Masjidil Haram di Makkah, Masjid An-Nabawi di Madinah, dan Masjid Al-Aqsha di
Palestina.
Jumhur
‘ulama berpendapat bahwa seluruh masjid bisa digunakan untuk beri’tikaf
sebagaimana keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَلَا
تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ [البقرة/187]
“Dan
janganlah kalian mencampuri mereka itu (istri-istri kalian), sedang kalian
beri’tikaf” (Al Baqarah: 187)
Karena pada
ayat di atas sasarannya adalah seluruh kaum muslimin, tidak terbatas pada masjid
tertentu. Kaum muslimin kebanyakan tinggal di luar 3 masjid tersebut.
Adapun
hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu :
لااعتكاف
إلا في ثلاثة مساجد المسجد الحرام والمسجد الاقصى ومسجد رسول الله صلى الله عليه
وسلم
“Tidak
ada I’tikaf kecuali pada 3 masjid (Masjid Al-Haram, Masjid Al-Aqsha, dan Masjid
An-Nabawy) (Riwayat Ibnu Abi Syaibah)
maka para
ulama’ membawanya kepada afdhaliyyah (nilai yang lebih utama),
yakni tidak ada I’tikaf yang utama kecuali pada tiga masjid
tersebut.
Keluarnya seseorang ketika
beri’tikaf
Jika ada
keperluan seperti buang hajat (BAK, BAB), maka para ulama bersepakat tentang
bolehnya hal tersebut. Adapun jika selain buang hajat maka disesuaikan dengan
kondisi.
Al-Imam Ibnu
Qudamah rahimahullah berkata : “Dan yang termasuk dalam makna hajat
adalah kebutuhan seseorang terhadap makanan dan minuman jika tidak didapati
seorang pun yang mengantarkan makanan bagi dia, kemudian jika seseorang ingin
muntah maka dia harus menjauh dari masjid, dan seluruh perkara yang mau tidak
mau harus dia lakukan namun tidak mungkin dia lakukan di masjid, maka boleh bagi
dia untuk keluar dari masjid. Yang demikian tidak membatalkan i’tikafnya dengan
catatan tidak berlama-lama. Begitu pula keluar untuk melaksanakan apa-apa yang
diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti seseorang yang
beri’tikaf di masjid yang tidak didirikan shalat jum’at maka dia harus keluar
untuk menunaikan shalat jum’at dan tidak membatalkan I’tikafnya.
Sedangkan
jika keluar tanpa ada keperluan (hajat) maka hal tersebut membatalkan I’tikafnya
walaupun sebentar, sebagaimana pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Malik, dan
Al-Imam Abu Hanifah.”
Sebagian
‘ulama menganjurkan agar i’tikaf dilakukan di masjid yang ditegakkan shalat
Jum’at padanya.
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :
“Adapun
keluar dari masjid jika sebagian badannya maka tidak mengapa. Berdasarkan hadits
yang diriwayatkan dari shahabat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata
:
كان النبي صلى
الله عليه وسلم يخرج رأسه من المسجد وهو معتكف، فأغسله وأنا حائض - وفي رواية -
كانت ترجل رأس النبي صلى الله عليه وسلم وهي حائض
“Dulu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan kepalanya dari masjid ketika
beliau sedang beri’tikaf. Maka aku (‘Aisyah) mencucinya dalam keadaan aku
haidh.”
Dalam
riwayat lain : “Aisyah menyisir kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
padahal dia (‘Aisyah) sedang haidh.”
Kalau
keluarnya dengan seluruh badannya, maka ada tiga kondisi :
Pertama
: Keluar karena urusan yang tidak bisa tidak, maka secara tabi’at
maupun secara syar’i. Seperti buang hajat kencing ataupun buang air besar,
wudhu’, mandi janabah, atau selainnya : makan, minum, maka itu semua boleh jika
memang tidak mungkin dilakukan di masjid. Namun jika memungkinkan dilakukan di
masjid, maka tidak boleh keluar dari masjid. Misalnya, jika di masjid terdapat
kamar mandi sehingga memungkinkan baginya untuk buang hajat atau mandi di situ.
Atau jika ada orang yang mengantarkan kepadanya makanan dan minumnya. Maka dalam
kondisi tersebut tidak boleh keluar dari masjid karena tidak ada hal yang
mengharuskannya untuk keluar.
Kedua
: Keluar karena urusan ketaatan yang tidak wajib atasnya, seperti
menjenguk orang sakit, menghadiri jenazah, dan lainnya maka tidak boleh. Kecuali
jika ia mempersyaratkannya sejak awal i’tikafnya. Misalnya jika di keluarnya ada
orang sakit yang mesti ia jenguk, atau dikhawatirkan wafat, maka dia
mempersyarakat sejak awal i’tikaf bahwa ia hendak keluar untuk keperluan
tersebut, maka tidak mengapa baginya keluar.
Ketiga
: Keluar untuk sesuatu yang menafikan i’tikafnya, seperti keluar untuk
jual beli, berjima’ dengan istrinya, dan semisalnya, maka ini tidak boleh, baik
ia mempersyarakat sejak awal maupun tidak. Karena perbuatan tersebut membatalkan
i’tikaf dan menafikan tujuannya. “
(Majalis
Syahri Ramadhan).
Kapan dimulai dan diakhiri waktu
I’tikaf
I’tikaf
dimulai ketika tenggelamnya matahari hari ke-20 pada bulan Ramadhan sebagaimana
pendapat Jumhur ulama’. Berdalil bahwa dimulainya hari itu dengan tenggelamnya
matahari. I’tikaf diakhiri dengan tenggelamnya matahari pada malam ‘Ied.
Batasan I’tikaf
Tidak ada
batasan waktu tertentu untuk I’tikaf, begitu pula syari’at tidak membatasinya,
dan ini merupakan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, Ahmad, dan para ulama yang
lainya. Bahkan diriwayatkan dari Abu Hanifah sahnya i’tikaf walaupun hanya 1
jam.
Dan
sebagaimana kisah Umar radhiyallahu ‘anhu :
كُنْتُ
نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
قَالَ فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ
“Dahulu
semasa jahiliyyah aku bernadzar untuk beri’tikaf sehari di Masjid Al Haram. Maka
Rasulullah bersabda: “Penuhilah nadzarmu”
(Muttafaqun’alaih)
I’tikaf di luar Ramadhan
I’tikaf di
luar Ramadhan diperbolehkan, sebagaimana kisah Umar t ketika bernadzar semasa
jahiliyyahnya untuk beri’tikaf selama 1 hari di Masjid Al Haram akan tetapi yang
disyari’atkan adalah di bulan Ramadhan, dan kaum muslimin tidak diperintahkan
untuk beri’tikaf selain bulan Ramadhan.
I’tikaf di daerah lain
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya untuk melakukan
syaddur rihal (perjalanan serius untuk tujuan ibadah) kecuali ke 3
masjid, sebagaimana hadits Abu Sa’id Al Khudry shallallahu ‘alaihi wa sallam
:
لَا
تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِي هَذَا وَمَسْجِدِ
الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Janganlah
kalian menempuh perjalanan yang jauh kecuali pada 3 masjid: Masjidku ini (Masjid
An Nabawy), Masjid Al Haram, dan Masjid Al
Aqsha”.(Muttafaqun’alaih)
Adapun
selain 3 masjid di atas para ulama bersepakat tidak disyari’atkannya. Termasuk
dalam hal ini i’tikaf. Tidak boleh bagi seseorang sengaja melakukan perjalanan
ke masjid lain di luar daerahnya untuk melakukan i’tikaf di masjid tersebut,
yang demikian termasuk syaddur rihal yang dilarang oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits di atas.
Kecuali bagi
seorang musafir yang ketika sampai di suatu tempat kemudian dia berniat untuk
beri’tikaf di masjid di tempat tersebut tanpa ada niat sebelumnya sejak dari
negerinya bahwa ia akan i’tikaf di masjid tersebut, maka yang demikian tidak
mengapa.
Apa yang dilakukan oleh seorang yang beri’tikaf
(mu’takif)?
1.
Mengikhlaskan niat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .
2.
Menyibukkan diri dengan segala sesuatu yang mendekatkan diri kepada Allah
subhanahu wa ta’ala, seperti membaca Al Qur’an, dzikir, memperbanyak
shalat nawafil (sunnah), dan lain sebagainya.
3. Tidak
menyia-nyiakan waktunya untuk hal-hal yang tidak berguna.
4. Tidak
meninggalkan masjid kecuali untuk kebutuhan yang mendesak
(dharury).
Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin rahimahullah berkata :
“Tujuan
i’tikaf adalah memutuskan diri dari berhubungan dengan manusia agar bisa
konsentrasi beribadah kepada Allah di salah satu masjid, dalam rangka mencari
keutamaan dan pahala dari-Nya, serta untuk mendapatkan lailatul
qadar. Oleh karena itu selayaknya bagi seorang yang beri’itikaf
untuk menyibukkan diri dengan dzikir, qira’ah, shalat, dan ibadah, serta
menjauhi hal-hal yang tidak perlu seperti berbincang tentang urusan
dunia. Dan tidak mengapa berbincang sedikit dengan pembicaraan yang
mubah dengan keluarganya atau yang lainnya karena adanya mashlahah. Berdasarkan
hadits dari Shafiyyah Ummul Mu`minin radhiyallahu ‘anhu dia
berkata : “Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf, maka aku
mengunjungi beliau pada salah satu malam. Maka aku berbincang dengan beliau,
kemudian aku berdiri untuk pulang, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdiri bersamaku (mengantar). Muttafaqun ‘alaihi
Beberapa Fatwa Penting
Bolehkan
mu’takif (seorang yang beri’tikaf) mengajar atau menyampaikan
pelajaran?
Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin rahimahullah menjawab : Yang afdhal
(lebih utama) bagi seorang mu’takif adalah dia menyibukkan diri
dengan ibadah khusus, seperti dzikir, shalat, qira’atul qur’an, dan semisalnya.
Namun jika memang ada keperluan untuk mengajari seseorang atau belajar, maka
tidak mengapa. Karena yang demikian juga termasuk dzikir kepada Allah ‘azza
wa jalla.
Bolehkah
bagi mu’takif berhubungan dengan telepon untuk menyelesaikan urusan
umat?
Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin rahimahullah menjawab :
“Ya boleh
bagi seorang mu’takif untuk berhubungan dengan telepon guna
menyelesaikan sebagian kebutuhan kaum muslimin, apabila telepon tersebut memang
berada di masjid tempat dia beri’tikaf, karena dia tidak perlu keluar dari
masjid. Namun apabila teleponnya berada di luar masjid, maka ia tidak boleh
keluar untuk itu.
Menyelesaikan
keperluan-keperluan kaum muslimin, apabila orang tersebut memang sangat terkait
dengannya maka dia tidak perlu i’tikaf. Menyelesaikan keperluan-keperluan kaum
muslimin lebih penting daripada i’tikaf, karena manfaatnya lebih banyak. Manfaat
lebih banyak lebih utama daripada manfaat yang terbatas, kecuali jika manfaat
terbatas tersebut merupakan kewajiban dalam Islam.”
Perhatian :
1. Hendaknya
para mu’takif senantiasa menjaga kebersihan dan kerapian masjid.
Asy-Syaikh
‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata :
“Dengan
tetap perhatian terhadap semangat untuk senantiasa menjaga kebersihan masjid dan
waspada dari sebab-sebab yang bisa mengotori masjid, baik sisa-sisa makanan
maupun yang lainnya. Berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
:
“Diperlihatkan
kepadaku pahala-pahala umatku, sampai-sampai hanya sekedar kotoran yang
dikeluarkan oleh seseorang dari masjid.” HR. Abu Dawud,
At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah
Dan
berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan membangun masjid di
tiap-tiap kampung/qabilah, kemudian hendaknya dibersihkan dan diberi wewangian.”
diriwayatkan oleh “Al-Khamsah” kecuali An-Nasa`i, sanadnnya
jayyid.”
2. Adapun
hadits
ومن اعتكف
يوماً ابتغاء وجه الله ؛ جعل الله بينه وبين النار ثلاثة خنادق ، كل خندق أبعد ما
بين الخافقين
“Barangsiapa
yang beri’tikaf satu hari karena mengharap wajah Allah, maka Allah jadikan
antara dia dengan neraka tiga parit. Masing-masing parit (lebarnya) lebih jauh
daripada jarak dua ufuk.” (HR. Ath-Thabarani)
Adalah
hadits yang dha’if (lemah). Pada sanadnya terdapat seorang
perawi yang bernama Bisyr bin Salam Al-Bajali, dia adalah
seorang perawi yang munkarul hadits, sebagaimana dikatan oleh Ibnu Abi
Hatim, dan disepakati oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Lisanul
Mizan. (lihat Adh-Dha’ifah no. 5345).
Semoga
amalan kita dicatat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala sebagai amal
shalih.
Amin Ya
Mujibas Sa’ilin
sumber: www.assalafy.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar