Permasalahan Qadha’
(Mengganti) Puasa
Asy-Syaikh Abdullah
‘Umar Mar’i hafizhahullah berkata dalam pelajaran Durarul Bahiyah:
فصل: ويجب على من أفطر لعذر شرعيّ أن يقضيَ. والفطر للمسافر ونحوِه رخصة، إلا إن خشي التلف أو الضعف عن القتال فعزيمة. ومن مات وعليه صوم صام عنه وليّه. والكبير العاجز عن الأداء والقضاء يُكَفّر عن كل يوم بإطعام مسكين.
“Dan
wajib bagi yang berbuka karena udzur syar’i untuk mengqadha’. Berbuka bagi
musafir dan yang semisalnya adalah rukhshah, kecuali jika takut akan
terbinasakan atau terkena lemah dalam berperang maka diharuskan berbuka. Siapa
yang mati dan dia memiliki tanggungan puasa maka walinya berpuasa
menggantikannya. Dan orang yang tua yang tidak kuat menunaikan puasa maupun
mengqadha’ dia harus membayar kafarah dari setiap harinya dengan memberi makan
orang miskin.”
Penulis
mengumpulkan pada pasal ini beberapa masalah.
Pertama: Wajibnya mengqadha’ jika berbuka karena
udzur syar’i. Dan udzur ada tiga macam: sakit, safar dan haidh / nifas. Dan yang
menunjukkan akan hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ
“Dan barang
siapa dari kalian yang sakit atau sedang safar maka mengganti di hari-hari yang
lain.” (Al-Baqarah: 184)
Dan dalam hadits ‘Aisyah dalam Shahihain Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ
“Maka kami
diperintahkan mengqadha’ puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha’
shalat.”
Demikian yang
semakna dengan ini diriwayatkan dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudry dalam
Ash-Shahih. Kalau demikian maka bagi yang batal puasa karena udzur syar’i wajib
untuk mengqadha’ puasanya.
Tambahan
saduran dari pelajaran Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah:
Bahwa waktu untuk
mengqadha’ itu sangatlah luas dari Ramadahan sampai Ramadhan berikutnya,
sebagaimana termaktub dalam ayat,
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ
“Dan barang
siapa dari kalian yang sakit atau sedang safar maka mengganti di hari-hari yang
lain.” (Al-Baqarah: 184)
Akan tetapi banyak
dalil mengingatkan untuk bersegera mengerjakan kebaikan, dan termasuk kebaikan
di sini adalah mengqadha’ puasa.
Orang yang
terbebani qadha’ apakah boleh berpuasa 6 hari bulan Syawal?
Jawab: Jumhur
berkata bahwa boleh bagi seseorang untuk berpuasa 6 hari bulan Syawal meskipun
dia memilki kewajiban qadha’ puasa. Namun yang utama adalah dia mengqadha’
dahulu baru berpuasa 6 hari bulan Syawal.
Haruskah
qadha ditunaikan secara berurutan?
Jawab: Qadha’ puasa
boleh dilakukan secara selang seling tidak berurutan. Sebagaimana hal ini
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Abu Hurairah dan Ibnu ‘Abbas. Dan juga
diriwayatkan dari Anas bahwa dia berkata: “Boleh bagi seseorang mengqadha’
sesuai dengan yang dia kehendaki, secara terpecah atau secara berurutan.”. Maka
semua ditunaikan berdasar kemudahan yang ada dan yang afdhal adalah secara
berurutan.
Apa hukum
orang yang mengakhirkan qadha’ puasanya sampai melewati Ramadhan
berikutnya?
Jawab: Orang
seperti ini ada dua kondisi:
-
Orang yang punya udzur dan dia tidak mengabaikan urusan qadha’ ini, atau kalaupun terkesan mengabaikan tapi tidak sengaja, maka boleh baginya mengqadha’ setelah Ramadhan kedua ini. Di sana ada yang mengatakan bahwa dia jiga harus memberi makan orang miskin sebagai tambahan dari qadha’. Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa mereka memandang ini sebagai pelajaran bagi orang tersebut. Ini adalah pendapat sebagian shahabat dan sebagian ulama. Yang lebih dekat dengan kebenaran adalah bahwa dia nmelakukan qadha’ dan jika dia tambah dengan memberi makan akan lebih baik, jika tidak maka tidak mengapa.
-
Orang yang tidak punya udzur maka dikhawatirkan akan mendapat dosa.
Terkait
dengan wanita haidh dan nifas.
Imam An-Nawawy
berkata dalam Syarh Muslim: “Jika darah haidh atau nifas berhenti di malam hari
kemudian terbit fajar dan dia belum sempat mandi maka puasanya sah.”
Asy-Syaikh Muhammad
Al-Imam berkata menambahkan: “Jika dia suci setelah terbit fajar maka hendaknya
dia tetap kut berpuasa berdasarkan keumuman perintah untuk menahan diri dari
makan dan minum bagi orang yang mendengar hilal di siang hari. Meskipun hal ini
tidak terhitung puasa baginya dan tetap harus menqadha’ di waktu yang
lain.”
sumber:
www.thalibmakbar.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar