Sebelumnya perlu
diketahui bahwa hukum asal dari seseorang yang telah berniat puasa, maka
puasanya tetap syah dan tidak batal sampai ada dalil yang meyakinkan bahwa
puasanya batal. Karenanya setiap orang yang mengklaim sesuatu itu pembatal puasa
maka dia dituntut untuk mendatangkan dalil atas klaimnya. Jika dalilnya benar
maka diterima dan jika tidak ada dalilnya maka klaimnya tertolak.
Juga penting untuk
diketahui bahwa semua pembatal puasa yang akan kami sebutkan, baik yang
disepakati maupun yang diperselisihkan, dia nanti membatalkan puasa jika yang
melakukannya adalah orang yang: Sengaja, atas kehendak sendiri (tidak terpaksa),
dan tahu kalau hal itu membatalkan puasa. Karenanya jika ada seseorang yang
mengerjakan pembatal puasa, akan tetapi dia tidak sengaja atau karena dipaksa
atau karena tidak mengetahui kalau itu pembatal puasa, maka puasanya tetap syah
dan tidak ada dosa atasnya, sebagaimana yang akan datang rinciannya, wallahu
a’lam. Lihat penjabaran dan penerapan kaidah ini dalam Ithaful Anam hal. 71-75,
101-102
Berikut beberapa
pembatal puasa yang disepakati
1. Makan dan
Minum.
Keduanya
membatalkan puasa jika dikerjakan dengan sengaja berdasarkan Al-Qur`an,
As-Sunnah dan ijma’.
Allah Ta’ala
berfirman, “Maka sekarang silakan kalian menyentuh mereka (istri kalian) dan
carilah apa yang Allah telah tetapkan untuk kalian. Dan makan dan minumlah
kalian hingga nampak benang putih dari benang hitam yaitu fajar.” (QS.
Al-Baqarah: 187)
Adapun dari hadits,
maka sabda Nabi r dalam hadits qudsi:
يَدَعُ
طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِيْ
“Dia
meninggalkan makanannya, minumannya, dan syahwatnya karena Aku.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Ijma’ akan hal ini
telah dinukil oleh sejumlah ulama, di antaranya: Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla
(733), Ibnul Mundzir dalam Al-Isyraf dan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (3/14)
2. Jima’
(melakukan hubungan intim)
Berdasarkan kedua
dalil di atas serta ijma’ di kalangan ulama.
Ibnu Qudamah
berkata dalam Al-Mughni (3/27), “Tidak ada perbedaan antara kalau kemaluannya
itu adalah qubul maupun dubur, dari laki-laki maupun wanita, dan ini adalah
pendapat Asy-Syafi’i.” An-Nawawi juga mengatakan dalam Al-Majmu’ (6/341-342),
“Ucapan-ucapan Asy-Syafi’i serta teman-teman kami semuanya sepakat bahwa
melakukan hubungan intim dengan wanita pada duburnya, liwath dengan anak kecil
(sodomi) atau lelaki dewasa (homoseksual), itu hukumnya sama dengan melakukannya
dengan wanita di qubulnya.”
An-Nawawi juga
berkata dalam Al-Majmu’ (6/341), “Melakukan jima’ dengan zina atau yang
semacamnya, atau nikah fasid, atau melakukannya dengan budaknya atau saudarinya
atau anaknya, wanita kafir, dan wanita lainnya, semuanya sama dalam hal
membatalkan puasa, wajibnya qadha, kaffarah, dan menahan diri pada sisa
siangnya. Dan ini tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya.”
Kami katakan:
Kecuali pada pewajiban qadha`, karena padanya ada perbedaan pendapat sebagaimana
yang akan disebutkan, dan yang benarnya itu tidak diwajibkan.
3. Menelan ludah
orang lain.
Imam An-Nawawi
berkata dalam Al-Majmu’ (6/318), “Para ulama telah bersepakat bahwa jika
seseorang menelan ludah orang lain maka dia telah berbuka.”
4. Merokok.
Kami memasukkannya
ke bagian ini karena kami tidak mengetahui adanya fatwa ulama lain selain dari
fatwa Syaikh Ibnu Al-Utsaimin yang menyatakan merokok adalah pembatal puasa. Hal
itu karena asapnya akan berubah menjadi cairan lalu melekat pada paru-paru
seseorang. Karenanya paru-paru perokok biasanya berwarna hitam karena asap yang
masuk.
Lihat Fatawa
Ramadhan beliau (2/527-528)
Kami katakan: Dan
juga karena rokok bisa memberikan ketahanan dan kekuatan bagi orang yang
berpuasa sehingga kadang dia tidak merasakan lapar dan lelah, karenanya dia
dihukumi sama dengan makan dan minum.
www.al-atsariyyah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar