Fadhilah Ash-Shaum secara umum 1
Sementara
Fadhilah (keutamaan) Ash-Shaum
telah banyak disebutkan dalam berbagai hadits, baik fadhilah ash-shaum secara
umum, maupun fadhilah shaum Ramadhan secara khusus. Dalam kesempatan ini kami
akan menyebutkan beberapa di antaranya :
1. Hadits
dari shahabat Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ
يَجْهَلْ وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ -
مَرَّتَيْنِ - وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِّ الصَّائِمِ أَطْيَبُ
عِنْدَ اللهِ تَعَالىَ مِنْ رِيْحِ اْلمِسْكِ، يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي، اَلصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَالْحَسَنَةُ
بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا [متفق عليه]
Artinya
:
“Ash-Shiyam adalah
perisai. Maka hendaklah seseorang tidak berkata (berbuat) keji dan tidak berbuat
jahil. ([1]) Dan bila ada yang
mengajak bertengkar atau mencelanya maka katakan : “Sesungguhnya saya sedang
shaum” - dua kali - Dan demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, Sungguh bau
mulut orang yang shaum lebih harum daripada bau misk di sisi Allah, ‘ Dia
meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku. Dan Aku sendiri yang
akan membalas amalan baiknya (ash-shaum) dan ketahuilah bahwa satu kebaikan
dilipat gandakan balasannya sampai sepuluh kali lipat. ” [Muttafaq
‘alaih].([2])
Dalam
hadits di atas, ada beberapa fadhilah yang dapat kita petik :
a. Bahwa
Ash-Shaum berfungsi sebagai perisai.
Dijelaskan
dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam An-Nasa`i dari shahabat ‘Aisyah dan ‘Utsman bin Abil ‘Ash, bahwa Ash-Shaum adalah perisai
dari An-Nar (api neraka). Lafazh
hadits tersebut adalah :
عَنْ مُطَرِّفٍ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى
عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ، فَدَعَا بِلَبَنٍ، فَقُلْتُ : إِنِّي صَائِمٌ؛
فَقَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ r يَقُولُ : (( الصَّوْمُ جُنَّةٌ
مِنْ النَّارِ كَجُنَّةِ أَحَدِكُمْ مِنْ الْقِتَالِ ))
Dari
Mutharrif berkata : Aku datang menemui ‘Utsman bin Abil ‘Ash, kemudian beliau hendak
menghidangkan susu untukku. Maka aku berkata : “Sesungguhnya aku sedang
bershaum. Maka beliau (’Utsman
bin Abil ‘Ash) berkata : Sungguh
aku telah mendengar Rasulullah [D] bersabda :
“Ash-Shaum
adalah perisai dari An-Nar (api
neraka), seperti perisai salah seorang dari kalian dalam peperangan.” [3])
Dalam
hadits lain, dari shahabat Jabir
radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّمَا الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا
الْعَبْدُ مِنْ النَّارِ [رواه أحمد]
“Sesungguhnya shaum itu adalah perisai yang dengannya seorang
hamba melindungi diri dari (adzab) An-Nar.” [Ahmad] [4])
b. Aroma
mulut seseorang yang sedang bershaum lebih baik di sisi Allah dibandingkan aroma
wangi misk. [5])
c. Ibadah
shaum yang dilakukan karena Allah, maka pahalanya akan dibalas secara langsung
oleh Allah sendiri.
[lihat
ulang Fathul Bari syarh hadits no.
1894]
2. Pintu
khusus bagi orang-orang yang bershaum, yaitu pintu Ar-Rayyan.
Hadits dari
shahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
berkata :
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ
الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهِ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لاَ يَدْخُلُ
مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، يُقَالُ : أَيْنَ الصَّائِمُونَ ؟ فَيَقُوْمُونَ لاَ
يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلَوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ
مِنْهُ أَحَدٌ. [متفق عليه]
Artinya
:
“Sesungguhnya di Jannah ada sebuah pintu yang dinamakan
Ar-Rayyan yang masuk melaluinya
pada Hari Kiamat hanyalah orang-orang yang bershaum (berpuasa). Tidak akan masuk
seorang pun melaluinya selain mereka, kemudian diserukan, “Manakah
orang-orang yang bershaum (berpuasa)?” maka merekapun berdiri. Tidak
ada seorang pun yang akan masuk melalui pintu Ar-Rayyan kecuali mereka. Setelah mereka
masuk semua, maka pintu itupun ditutup, sehingga tidak ada lagi yang bisa masuk
melaluinya.” [Muttafaqun ‘Alaih]. ([6])
Dalam
riwayat riwayat lain dengan tambahan :
(( مَنْ
دَخَلَ فِيهِ شَرِبَ وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا )) [رواه
النسائي و أحمد]
Artinya
:
“Barangsiapa yang masuk melaluinya, pasti dia akan minum, dan
barangsiapa yang minum maka pasti dia tidak akan pernah haus selamanya.”
[An-Nasa`i dan
Ahmad] ([7])
3.
Dijauhkan wajahnya dari An-Nar
sejauh tujuh puluh (70) tahun.
Hadits dari
shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ
اللهِ إِلاَّ بَاعَدَ اللهُ بِذلِكَ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا
[متفق عليه]
Artinya
:
“Tidaklah
seseorang bershaum sehari di jalan Allah melainkan Allah akan menjauhkan
wajahnya dengan shaumnya tersebut dari an-nar di hari kiamat, sejauh 70 tahun.”
[Muttafaq ‘alaih] ([8])
Sebagian
‘ulama mengkhususkan makna Fi
sabilillah dengan jihad, antara lain
Al-Imam Ibnul Jauzi. Al-Imam Al-Bukhari pun menyebutkan hadits ini dalam
Kitabul Jihad was Sair dengan judul bab : فَضْلِ
الصَّوْمِ فِي سَبِيْلِ اللهِ (Keutamaan Ash-Shaum di jalan Allah). Begitu pula
Al-Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim meletakkan bab pada hadits ini dengan judul
: فَضْلِ الصِّيَامِ فِي سَبِيلِ اللهِ لِمَنْ يُطِيقُهُ بِلا ضَرَرٍ وَلا
تَفْوِيتِ حَقٍّ (Keutamaan Ash-Shiyam Fi Sabilillah bagi yang mampu tanpa adanya
kemudharatan dan pengabaian tugas).
Sehingga
atas dasar itu keutamaan yang terkandung dalam hadits di atas hanya khusus bagi
yang bershaum ketika berjihad fi
sabilillah.
Namun
Al-Imam Al-Qurthubi menegaskan
bahwa makna Fi Sabilillah di sini adalah : ketaatan kepada
Allah secara umum. Sehingga makna hadits adalah : “Barangsiapa yang bershaum
dengan mengharapkan wajah Allah”. Atas dasar itu keutamaan tersebut tidak hanya
terbatas pada shaum ketika berjihad fi sabilillah.
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar menegaskan bahwa dua
kemungkinan makna di atas memungkinkan sebagaimana makna hadits di atas,
sekaligus sebagai makna hadits berikut ini. [9])
4. Parit
penghalang dari adzab An-Nar.
Hadits dari
shahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu ‘anhu, dari
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ
صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللهِ جَعَلَ اللهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّارِ
خَنْدَقًا كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ )) [رواه
الترمذي]
Artinya
:
“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah,
niscaya Allah jadikan antara dia dengan An-Nar sebuah parit penghalang (yang
lebarnya) sejauh langit dan bumi.” [At-Tirmidzi] ([10])
5. Allah
jauhkan darinya api Jahannam sejauh perjalanan seratus tahun
Hadits dari
shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir
radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ
صَامَ يَومًا فِي سَبِيلِ اللهِ بَاعَدَ اللهُ مِنْهُ جَهَنَّمَ مَسِيْرَةَ مِائَةِ
عَامٍ )) [رواه النسائي و ابن أبي عاصم و الطبراني]
Artinya
:
“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah,
niscaya Allah jauhkan api Jahannam darinya sejauh perjalanan seratus tahun.”
[An-Nasa`i, Ibnu Abi
‘Ashim, Ath-Thabarani] [11])
Masalah
: Dalam hadits shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu ini disebutkan
“sejauh perjalanan seratus tahun”. Sementara dalam hadits shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu
disebutkan “sejauh 70 tahun”. Secara zhahir perbedaan ini memunculkan suatu
pertanyaan.
Untuk
menjawabnya, ada dua jawaban :
a.
Penyebutan bilangan tujuh puluh (70) bukan sebagai batasan mutlak, tetapi dalam
rangka menggambar betapa sangat jauhnya jarak tersebut. Hal ini sebagaimana
disebutkan oleh Al-Imam
Al-Qurthubi dan dipertegas oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.
-
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah
berkata :
ورد ذكر السبعين لإرادة التكثيركثيرا
“Penyebutan
bilangan tujuh puluh (70) pada hadits di atas dalam rangka menggambarkan betapa
sangat jauhnya.”
Kemudian
Al-Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullah menegaskan :
ويؤيده أن النسائي أخرج الحديث المذكور عن عقبة
بن عامر والطبراني عن عمرو بن عبسة وأبو يعلى عن معاذ بن أنس فقالوا جميعا في
رواياتهم ( مائة عام ).
“Memperkuat
pernyataan Al-Qurthubi di atas, An-Nasa`i meriwayatkan hadits tersebut dari
shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir,
demikian juga Ath-Thabarani
meriwayatkannya dari shahabat ‘Amr bin ‘Abasah, dan Abu Ya’la meriwayatkan dari shahabat Mu’adz bin Anas, semuanya menyebutkan
dalam periwayatan mereka : (bilangan) “Seratus tahun”“. [12])
Jawaban
senada juga diucapkan oleh Al-Imam As-Sindi dalam Syarh Sunan
An-Nasa`i, bahwa penyebutan
bilangan tujuh puluh atau seratus tahun bukan sebagai batasan mutlak, tetapi
dalam rangka menggambar betapa sangat jauhnya jarak tersebut. [13])
b. Ada
kemungkinan, Allah subhanahu wata’ala hendak menambah fadhilah dan pahala bagi orang yang
bershaum sehingga menyempurnakan jauhnya jarak tersebut menjadi seratus tahun
perjalanan setelah sebelumnya sejauh tujuh puluh tahun. Jawaban kedua ini
disampaikan oleh Al-Imam
As-Sindi rahimahullah dalam Syarh Sunan An-Nasa`i. [14])
Terkait
dengan fadhilah di atas, ada
beberapa hadits yang sering diriwayatkan namun secara sanad lemah. Di antara
hadits-hadits tersebut :
- Hadits
dari shahabat Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ
صَامَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى، بَعَّدَهُ اللهُ U مِنْ جَهَنَّمَ
كَبُعْدِ غُرَابٍ طَارَ وَهُوَ فَرْخٌ حَتَّى مَاتَ هَرِمًا )) [رواه
أحمد، أبو يعلى، و البيهقي، و الطبراني]
Artinya
:
“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) dalam rangka mengharap wajah
Allah, niscaya Allah jauhkan dia dari neraka jahannam sejauh perjalanan terbang
burung Gagak, semenjak burung Gagak tersebut baru menetas hingga mati di usia
yang tua. ” [Ahmad, Abu
Ya’la, Al-Baihaqi,
dan Ath-Thabarani] [15])
- Hadits
dari shahabat Abu Umamah radhiallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
(( مَنْ
صَامَ يَوْماً فِي سَبِيلِ اللهِ؛ بَعَّدَ اللهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ مِائَةَ
عَامٍ، رَكْضَ الفَرَسِ الجَوَّادِ المُضَمَّرِ )) [رواه عبد الرزاق و
الطبراني]
Artinya
:
“Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah,
niscaya Allah jauhkan api Jahannam darinya sejauh perjalanan seratus tahun,
dengan kecepatan kuda tunggangan gesit dan kuat. [16]“ [’Abdurrazzaq dan
Ath-Thabarani]
[17])
* *
*
[1] Perbuatan jahil maksudnya adalah perbuatan
yang biasa dilakukan oleh orang jahil seperti berteriak-teriak atau berbuat
kedunguan ( اَلسَّفَه ), dan lain-lain (lihat Fathul
Bari Kitabush Shaum hadits no. 1894).
[2] Al-Bukhari 1894, Muslim 1151.
[3] An-Nasa`i no. 2231. Dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Shahih Sunan
An-Nasa`i no.
2231.
[4] HR. Ahmad, dari shahabat
Jabir, dihasankan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Shahihut Targhib wat Tarhib no. 981. Lihat pula
Shahihul Jami’ish Shaghir no. 4308.
[5] Hal ini tidak berarti bahwa orang yang
bershaum disyari’atkan untuk membiarkan bau mulutnya. Bahkan tetap
disunnahkan bagi orang yang bershaum untuk bersiwak, sebagaimana pernah
dijawab oleh shahabat Mu’adz bin
Jabal dalam sebuah atsar yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam kita beliau Irwa`ul Ghalil I/106
. Lihat pembahasan lengkap pada bab halaman ………………..
[6] Al-Bukhari 1896, Muslim 1152.
[7] An-Nasa`i no. 2236, Ahmad V/336. dishahihkan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani v
dalam Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2236.
[8] Al-Bukhari 2840, Muslim 1153.
[9] Lihat Fathul Bari syarh hadits no.
2840.
[11] An-Nasa`i no. 2254, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitabul Jihad I/88/2, Ath-Thabarani dalam Al-Kabir no. 927.
Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Ash-Shahihah no. 2565.
[12] Fathul Bari
syarh hadits no. 2840.
[14] Ibid.
[15] Ahmad II/526 Karena pada sanadnya ada
‘Abdullah bin Lahi‘ah seorang perawi yang lemah,
sekaligus ayahnya yaitu Lahi‘ah,
dia seorang perawi yang majhulul hal sebagaimana dinyatakan oleh
Ibnul Qaththan; Al-Hafizh juga berkata tentangnya :
mastur. Dalam sanadnya
juga ada rawi yang mubham, yaitu gurunya Lahi‘ah. Hadits ini didha’ifkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani v dalam
Adh-Dha’ifah
no. 1330.
[16] Tentang makna (Al-Jawad) dan
(Al-Mudhammar) lihat Fathul Bari syarh hadits no.
2870, 6553; dan Syarh Shahih Muslim oleh
An-Nawawi, syarh hadits no. 2828.
[17] ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf
(V/301/9683), Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Kabir (VIII/233/7806).
Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Adh-Dha’ifah no. 6910 berkata tentang hadits ini :
“Munkar dengan konteks secara lengkap seperti di atas. Karena pada sanadnya
terdapat kelemahan yang berentet, ada tiga perawi yang semuanya dha’if
(lemah), yaitu : ‘Ali bin
Yazid, ‘Ubaidullah bin Zahr, dan Al-Mutharrih.”
Dalam
kitabnya Taqribut
Tahdzib, Al-Hafizh berkata tentang ‘Ali bin
Yazid bin Abi Hilal : dha’if (lemah).
Kemudian
tentang ‘Ubaidullah bin Zahr,
beliau berkata : Saduqun
Yukhthi’ (jujur namun berbuat kesalahan dalam periwayatan hadits).
Adapun
tentang Mutharrih bin Yazid,
beliau berkata : dha’if
(lemah).
Oleh karena
itu Al-Imam Al-Haitsami v dalam kitabnya Majma’uz Zawa`id melemahkan hadits
di atas dengan sebab keberadaan Mutharrih bin Yazid ini. beliau berkata : “Hadits ini
diriwayatkan oleh Ath-Thabarani
dalam Al-Kabir, namun dalam sanadnya
terdapat Mutharrih, dia adalah seorang perawi yang dha’if.” (lihat
Adh-Dha’ifah
no. 6910).
******
Fadhilah Shaum Ramadhan ( 2 )
1. Hadits dari
shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
(( إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ
السَّمَاءِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ، وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ
))
Artinya
:
“Jika telah
datang bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu langit dan ditutuplah
pintu-pintu Jahannam, serta dibelenggulah para syaithan. [Muttafaqun
‘alaihi] ([1])
Dalam
riwayat Muslim disebutkan pula dengan lafazh :
(( … فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الرَّحْمَةِ …
))
“… maka
dibukalah pintu-pintu rahmat … “
Dari tiga
riwayat hadits di atas, kita mengetahui adanya tiga lafazh yang berbeda, yaitu
:
- dibukakannya pintu Al-Jannah
- dibukakannya pintu rahmat
- dibukakannya pintu langit
sepintas
nampak kontradiktif, namun pada hakekatnya tidak demikian.
Maksud
“dibukakannya pintu langit” adalah dalam rangka naiknya berbagai perkataan baik
kepada Allah, baik dalam bentuk dzikir maupun kalimat tauhid Lailaha Illallah,
serta diangkatnya berbagai amalan shalih menuju kepada Allah. Sebagaimana firman
Allah :
إِلَيْهِ
يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ فاطر: ١٠
“kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang
saleh dinaikkan-Nya” [Fathir : 10]
Sehingga
dengan itu langit lebih banyak dibuka pada bulan Ramadhan, karena banyaknya
perkataan baik dan amalan shalih padanya.
Sementara
“dibukanya pintu rahmah” ada dua kemungkinan makna :
1.
Dalam rangka rahmat Allah turun kepada hamba-hamba-Nya yang mu`min, yang rahmat
itu sendiri merupakan sebab masuk Al-Jannah, sehingga hamba-hamba Allah tidaklah
masuk Al-Jannah kecuali dengan sebab rahmat Allah, bukan karena amalan
mereka.
2.
Makna rahmat dalam hadits ini adalah Al-Jannah. Karena dalam beberapa keterangan
Al-Jannah terkadang diistilahkan dengan “rahmat”, sebagaimana dalam hadits :
قَالَ اللهُ
تَبَارَكَ وَتَعَالَى لِلْجَنَّةِ : (( أَنْتِ رَحْمَتِي أَرْحَمُ بِكِ
مَنْ أَشَاءُ مِنْ عِبَادِي ))
“Allah
Tabaraka wa Ta’ala berkata kepada Al-Jannah : ‘Engkau
adalah rahmat-Ku yang denganmu Aku merahmati siapa yang Aku kehendaki dari
kalangan hamba-hamba-Ku’.” [Muttafaqun ‘alaih] [2])
Penjelasan
tentang maksud : «
وصفدت الشياطين »
Di antara
yang sering ditanyakan adalah maksud kalimat « وصفدت الشياطين » (dan
dibelenggulah para syaithan).
Ketahuilah
bahwa maksud kalimat di atas bukanlah seluruh jenis syaithan. Namun hanya
terbatas pada jenis syaithan yang diistilahkan dengan Al-Maradah ( المَرَدَةُ ),
yaitu para syaithan yang tingkat kejahatan dan kedurhakaanny paling besar. Hal
ini sebagaimana dijelaskan oleh para ‘ulama, antara lain :
1.
Ibnu Khuzaimah rahimahullah. dalam kitab Shahihnya, beliau
menyebutkan :
باب ذكر
البيان أن النبي r إنما أراد بقوله : « وصفدت الشياطين » مردة الجن منهم، لا جميع
الشياطين
Bab
: Penjelasan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam hanyalah
memaksudkan dengan perkataannya : « وصفدت الشياطين » (dan dibelenggulah para
syaithan) adalah jenis jin yang maradah (paling durhaka), bukan seluruh jenis
syaithan.
Kemudian
beliau menyebutkan hadits dari shahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
1776 - «
إِذَا كَان أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ مَرَدَةُ
الجِنِّ، … »
“Jika pada
malam hari pertama bulan Ramadhan dibelenggulah para syaithan dari jenis
maradatul jin (jin yang paling durhaka), … ” –selesai dari Ibnu
Khuzaimah–
Disebutkan
pula dalam Sunan An-Nasa`i, juga dari hadits Abu Hurairah,
dengan lafazh :
(( … وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ، …
))
“… dan
padanya dibelenggu para syaithan yang paling durhaka. … ” [An-Nasa`i] [3])
2.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullah dalam Syarh Riyadhish Shalihin berkata :
“Maksud
(dibelenggulah para syaithan) adalah jenis maradah (yang paling durhaka) di
antara mereka. sebagaimana telah disebutkan dalam riwayat lain. Sementara yang
dimaksud dengan Al-Maradah adalah : yaitu para syaithan yang paling besar
permusuhan dan kebencianya terhadap anak Adam.” ([4])
Namun ada
sebagian ‘ulama yang memberikan lain dari yang kami sebutkan di atas, antara
lain Al-Imam Al-Hulaimi, beliau berkata :
“yang
dimaksud adalah para syaithan pencuri berita (dari langit). Tidakkah engkau
perhatikan Rasulullah menyebut (( مردة الشياطين ))، (para
syaithan yang sangat durhaka) karena bulan Ramadhan adalah waktu turunnya
Al-Qur`an ke langit bumi, yang upaya penjagaan (terhadap) Al-Qur’an dilakukan
dengan cara bintang-bintang (yang dilemparkan), sebagaimana firman Allah Ta’ala
:
(وَحِفْظًا
مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ ) الصافات: ٧
“dan juga
sebagai penjagaan (dengan sebenar-benarnya) dari setiap syaithan yang sangat
durhaka.” [Ash-Shaffat : 7] [5])
Sehingga
dengan itu pembelengguan semakin diperketat pada bulan Ramadhan, dalam rangka
penjagaan yang lebih serius (terhadap Kalamullah). [6])
2.
Hadits dari shahabat ’Amr bin Murrah Al-Juhani radhiallahu ‘anhu , beliau
berkata :
جاء رجل إلى
النبي r فقال : يا رسول الله أرأيت إن شهدت أن لا إله إلا الله وأنك رسول الله،
وصليت الصلوات الخمس، وأديت الزكاة، وصمت رمضان وقمته، فممن أنا؟ قال :
(( من الصديقين والشهداء )) [رواه البزار وابن خزيمة
وابن]
Seseorang
datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata : Wahai Rasulullah,
bagaimana pendapat engkau jika saya bersaksi La ilaha Illallah dan bahwa engkau
adalah Rasulullah, saya melaksanakan shalat lima waktu, saya menunaikan zakat,
dan saya bershaum di bulan Ramadhan dan saya laksanakan shalat (pada malam
harinya), maka dari golongan manakah aku?
Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Dari kalangan Ash-Shiddiqin dan
Asy-Syuhada’ ” [Al-Bazzar, Ibnu
Khuzaimah, dan Ibnu Hibban] [7])
Dari
keterangan di atas, kita tahu bahwa seorang hamba yang menunaikan shaum Ramadhan
dan rajin melakukan Qiyamullail (shalat malam) padanya, maka dia akan
digolongkan dalam golongan para syuhada` dan shiddiqin.
3.
Hadits dari shahabat Abu Sa’id
Al-Khudri :
(( إن لله تبارك وتعالى عتقاء في كل يوم وليلة - يعني في
رمضان - وإن لكل مسلم في كل يوم وليلة دعوة مستجابة )) رواه البزار
“Sesungguhnya Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan (dari
adzab An-Nar) pada setiap siang dan malam –yakni di bulan Ramadhan– dan
sesungguhnya setiap muslim memiliki do’a yang mustajab pada setiap siang dan
malam” [Al-Bazzar] [8])
4.
Hadits dari shahabat Ka’b bin ‘Ujrah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
(( احضروا المنبر )) فحضرنا فلما ارتقى درجة
قال : (( آمين ))؛ فلما ارتقى الدرجة الثانية قال :
(( آمين ))؛ فلما ارتقى الدرجة الثالثة قال : ((
آمين ))؛ فلما نزل قلنا : يا رسول الله لقد سمعنا منك اليوم شيئا ما
كنا نسمعه؟ قال : (( إن جبريل عليه السلام عرض لي، فقال : بعد من أدرك
رمضان فلم يغفر له، قلت آمين، فلما رقيت الثانية قال : بعد من ذكرت عنده فلم يصل
عليك، فقلت آمين، فلما رقيت الثالثة قال بعد : من أدرك أبويه الكبر عنده أو أحدهما
فلم يدخلاه الجنة، قلت آمين )) رواه الحاكم وقال صحيح الإسناد
“Hadirlah kalian di sekitar mimbar” maka kami pun segera
hadir. Ketika menaiki tangga pertama beliau mengucapkan “Amin” ; dan
ketika menaiki tangga kedua beliau mengucapkan “Amin”; begitu pula
ketika menaiki tangga ketiga, beliau mengucapkan “Amin”. Ketika beliau
telah turun dari mimbar, kami bertanya : “Wahai Rasulullah sungguh kami
telah mendengar darimu sesuatu pada hari ini yang belum pernah kami mendengar
sebelumnya?” maka beliau menjawab : “Sungguh telah datang kepadaku
Jibril, kemudian dia berkata : ‘Celakalah seorang yang memasuki bulan Ramadhan
namun dia tidak diampuni.’ Maka aku berkata : Amin. Kemudian ketika aku menaiki
tangga kedua, Jibril berkata : ‘Celakalah seseorang yang disebutkan namamu di
hadapannya namun dia tidak bershalawat untukmu.’ Maka aku pun mengucapkan Amin.
Dan ketika aku menaiki tangga ketiga, Jibril berkata : ‘Celakalah seorang yang
menemui kedua orang tuanya pada masa tua, atau salah satu di antara keduanya,
namun (keberadaan) keduanya tidak mampu memasukkan dia ke dalam Al-Jannah.’ Maka
aku pun mengucapkan Amin.” [HR. Al-Hakim] [9]
Dalam
hadits di atas, ada sebuah penekanan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh ampunan. Sehingga hendaknya setiap
mu`min berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Karena apabila dia
gagal mendapatkan ampunan di bulan Ramadhan maka dia akan mendapatkan do`a
celaka dari malaikat Jibril ‘alaihis salam dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam. Semoga Allah melindungi kita semua.
[1] Al-Bukhari 1899, Muslim 1079.
[2] Al-Bukhari 4850, Muslim 2846 dari shahabat
Abu Hurairah.
[3] HR. An-Nasa`i 2106. dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Shahih Sunan
An-Nasa`i no.
2106.
[4] Syarh Riyadhish Shalihin
karya Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, hadits no. 1220.
[5] Konteks ayat tersebut adalah sebagai berikut
:
إِنَّا
زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ (6) وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ
شَيْطَانٍ مَارِدٍ (7) لَا يَسَّمَّعُونَ إِلَى الْمَلَإِ الْأَعْلَى وَيُقْذَفُونَ
مِنْ كُلِّ جَانِبٍ الصافات: ٦ - ٨
“Sesungguhnya Kami telah menghias langit dunia dengan hiasan
bintang-bintang, dan juga sebagai penjagaan (dengan sebenar-benarnya) dari
setiap syaithan yang sangat durhaka. Agar syaithan-syaithan itu tidak dapat
mencuri-curi dengar (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari (dengan
bintang-bintang tersebut) dari segala penjuru.” [Ash-Shaffat :
6-8]
[6] Lihat Shahihut Targhib wat
Tarhib di bawah hadits no. 999.
[7] Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihut Targhib no. 361,
749, 1003, 2515,
[8] HR. Al-Bazzar.
Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihut Targhib
wat Tarhib no. 1002
[9] HR. Al-Hakim. Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam
Shahihut Targhib wat Tarhib hadits no. 995 :
Shahih li gharihi.
Hadits tersebut diriwayatkan pula dari shahabat Abu Hurairah, sebagaimana diriwayatkan
oleh Al-Imam At-Tirmidzi.
Riwayat kedua ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam
Al-Jami’ush
Shahih bab :
At-Tarhib min Ifthar Ramadhan (II/378)
sumber: www.assalafy.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar