Radio Muwahiddin

Sabtu, 21 Juli 2012

Pembatal Puasa Yang Diperselisihkan (2)



Pembatal Puasa Yang Diperselisihkan (2)
Berikut lanjutan dari pembatal puasa yang diperselisihkan sebelumnya:
9.    Keluar darah melalui gusi atau hidung (mimisan) atau yang semacamnya.
Yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz dan Ibnu Al-Utsaimin adalah mazhab Al-Hanabilah yang menyatakan hal itu tidak mempengaruhi puasa selama darahnya tidak tertelan.
Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah no.12077 dan Fatawa Ibnu Utsaimin (1/514)

10.    Celak dan semisal dengannya obat tetes mata.
Mazhab Asy-Syafi’i dan dinukil oleh Ibnul Mundzir dari Atha`, Al-Hasan, An-Nakha’i, Al-Auzai, Abu Hanifah dan Abu Tsaur adalah bahwa dia boleh, tidak makruh dan tidak membatalkan puasa, baik dia mendapati rasanya di tenggorokannya maupun tidak.

Mereka berdalil dengan beberapa hadits yang lemah, di antaranya adalah hadits Aisyah dia berkata:
أَنَّ اَلنَّبِيَّ اِكْتَحَلَ فِي رَمَضَانَ, وَهُوَ صَائِمٌ
“Sesungguhnya Nabi r bercelak dalam bulan ramadhan dalam keadaan beliau berpuasa.” (HR. Ibnu Majah no. 1678)
Sanadnya lemah sekali karena di dalamnya ada rawi yang bernama Said bin Abdil Jabbar Az-Zubaidi. Dinyatakan pendusta oleh Ibnu Jarir dan dinyatakan lemah haditsnya oleh An-Nasai. Lihat Nashbur Rayah (2/456)
At-Tirmizi berkata -sebagaimana dalam Bulughul Maram-, “Tidak ada satu hadits pun yang shahih dalam masalah ini.”
Mazhab kedua menyatakan hal itu dimakruhkan. Ini adalah mazhab Ahmad, Malik, Ats-Tsauri, dan Ishaq. Hanya saja Imam Malik dan Ahmad menyatakan batalnya puasa kalau celaknya sampai ke tenggorokan.
Mereka berdalil dengan hadits, “Berbuka itu dengan apa yang masuk, bukan dengan apa yang keluar.”
Di dalam sanad hadits ini ada Al-Fadhl bin Mukhtar, dan dia adalah rawi yang sangat lemah haditsnya, dan juga ada Syu’bah maula Ibnu Abbas yang merupakan rawi yang lemah haditsnya. Ibnu Adi berkata, “Asal hadits ini adalah mauquf, itu yang dikuatkan oleh Al-Baihaqi.”
Mazhab yang ketiga menyatakan bahwa itu membatalkan puasa secara mutlak. Ini adalah pendapat Ibnu Syubrumah dan Ibnu Abi Laila. Kedua mazhab terakhir juga berdalil dengan hadits Ma’bad bin Haudzah dari Nabi r bahwa beliau ditanya tentang itsmid (bahan celak) maka beliau bersabda, “Hendaknya orang yang berpuasa menjauhinya.”
Hadits ini dari jalan Abdurrahman bin An-Nu’man bin Ma’bad bin Haudzah dari ayahnya dari kakeknya. Abdurrahman adalah rawi yang lemah haditsnya sementara An-Nu’man adalah rawi yang majhul. Hadits ini juga diingkari oleh Ibnu Main, Ahmad, juga Ibnu Taimiah dan Ibnu Abdil Hadi.
Yang kuat adalah mazhab yang pertama karena tidak adanya dalil shahih yang menyatakan batalnya sehingga kembali ke hukum asal. Adapun dalil bahwa itsmid bisa masuk ke tenggorokan, maka hal ini dibantah oleh Ash-Shan’ani bahwa pernyataan itu tidak benar. Lihat As-Subul (4/136)
[Kitabus Shiyam: 1/389, Al-Mughni: 3/16, Al-Majmu’: 6/348-349, An-Nail: 4/205-206, dan Asy-Syarhul Mumti’: 6/382]

11.    Obat tetes telinga.
Mazhab Al-Hanabilah dan mayoritas Asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa dia membatalkan puasa karena cairannya sampai ke otak. Sementara sebagian Asy-Syafi’iyah seperti: Abu Ali As-Sinji, Al-Qadhi Husain, Al-Faurani dan yang benarkan oleh Al-Ghazali bahwa dia tidak membatalkan puasa.
Ini adalah mazhab Ibnu Hazm dan yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah, serta Syaikh Ibnu Baz dan Ibnu Al-Utsaimin dari ulama belakangan. Mereka mengatakan bahwa apa yang masuk ke telinga tidak sampai ke tenggorokan dan lambung.
[Al-Majmu’: 6/314-315, Al-Mughni: 3/16, Al-Muhalla: 4/348, dan Fatawa Ramadhan: 2/509-511]

12.    Muntah
Mayoritas ulama berpendapat dengan hadits Abu Hurairah secara marfu’:
مَنْ ذَرَعَهُ اَلْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ, وَمَنْ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ اَلْقَضَاءُ
“Barangsiapa yang didesak oleh muntah maka tidak ada kewajiban qadha` atasnya. Dan barangsiapa yang sengaja membuat dirinya muntah maka wajib qadha` atasnya.” (HR Ahmad: 2/498, Abu Daud no. 2380, An-Nasai dalam Al-Kubra: 2/215, At-Tirmizi no. 720, dan Ibnu Majah no. 1676)
Sanad hadits ini lahiriahnya shahih, akan tetapi sejumlah ulama menyatakan hadits ini memiliki cacat, di antara mereka: Ahmad, Al-Bukhari, Ad-Darimi, Abu Ali Ath-Thusi dan selainnya. Lihat At-Talkhish dan Nashbur Rayah.
Mereka juga berdalil dengan hadits Tsauban bahwa Rasulullah r muntah lalu beliau berbuka. (HR. Abu Daud dan At-Tirmizi)
Hadits ini dishahihkan oleh Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad. Hadits ini juga diriwayatkan dengan lafazh, “Beliau muntah dengan sengaja,” akan tetapi riwayatnya syadz.
Dalil yang lain adalah hadits Fadhalah bin Ubaid dia berkata, “Rasulullah r pernah berpuasa lalu beliau muntah kemudian beliau berbuka. Maka hal itu ditanyakan kepada beliau, dan beliau bersabda, “Sesungguhnya saya tadi muntah.” (HR. Ahmad no. 23963 dengan sanad yang hasan)
Ini adalah pendapat Ibnu Umar dari kalangan sahabat, dan ini yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz dan Ibnu Al-Utsaimin -rahimahumallah-.
Pendapat kedua adalah pendapat Abu Hurairah, Ikrimah, Rabiah dan salah satu riwayat dari Malik. Mereka menyatakan bahwa muntah tidak membatalkan puasa, baik dia sengaja melakukannya maupun tidak. Mereka berdalil dengan hukum asal puasa.
Mereka menjawab dalil pendapat pertama sebagai berikut:
1.    Telah berlalu bahwa hadits Abu Hurairah telah dihukumi cacat oleh sejumlah ulama.
2.    Hadits Tsauban tidak menunjukkan adanya perbedaan hukum antara yang sengaja muntah dengan yang tidak. Karenanya Ath-Thahawi berkata, “Tidak ada dalam hadits ini keterangan bahwa muntah itu yang membuat beliau berbuka, karena yang tersebut di situ hanya bahwa beliau muntah lalu beliau berbuka setelah itu.”
At-Tirmizi menyebutkan dari sebagian ulama bahwa makna hadits ini adalah, “Beliau muntah lalu menjadi lemah sehingga beliau berbuka.”
3.    Jawaban atas hadits Fadhalah sama seperti jawaban kepada hadits Tsauban.
Kami katakan: Tatkala hadits Tsauban dan hadits Fadhalah hanya menunjukkan bahwa Nabi muntah lalu beliau berbuka, maka kalau memang muntah yang membatalkan puasa beliau, maka kita tanyakan kepada mayoritas ulama: Apakah Nabi muntah dengan sengaja atau tidak, karena dalam hadits tersebut tidak ada keterangan?
Jika mereka menjawab kalau nabi muntah dengan tidak sengaja, maka kita katakan: Seharusnya Nabi tidak perlu berbuka –berdasarkan mazhab kalian-, akan tetapi kenapa beliau berbuka kalau memang muntah adalah pembatal puasa?
Jika mereka menjawab kalau beliau muntah dengan sengaja, maka kita katakan: Subhanallah, apakah beliau sengaja membatalkan puasanya dengan sengaja muntah? Karena muntah dengan sengaja adalah pembatal puasa menurut kalian.
Karenanya yang benar adalah pendapat yang kedua dan bahwa yang menyebabkan beliau berbuka puasa adalah karena lemah setelah muntah sebagaimana yang dinukil oleh At-Tirmizi dari sebagian ulama. wallahu a’lam.
[Al-Fath no. 1938, An-Nail: 4/204, Al-Majmu’: 6/320, As-Subul: 4/140, dan Kitab Ash-Shiyam: 1/395-403]
Sebagai penutup dari pembahasan pembatal puasa, baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan, maka kami katakan:
Barangsiapa yang membatalkan puasanya dengan sengaja maka dia wajib untuk menahan diri dari pembatal puasa pada sisa harinya.
An-Nawawi berkata dalam Al-Majmu’ (6/331), “Jika seorang lelaki atau wanita berbuka di siang hari ramadhan dengan jima’ tanpa ada uzur, maka dia harus menahan diri (dari pembatal puasa) pada sisa siangnya, tanpa ada perbedaan pendapat, karena dia telah berbuka tanpa uzur.”
Ijma’ atas hal ini juga dinukil oleh Imam Ibnu Qudamah -rahimahullah- dalam Al-Mughni (3/33). Ini yang dipastikan oleh Ibnu Taimiah dalam Al-Fatawa (20/518) dan beliau berdalil dengan ayat, “Kemudian sempurnakanlah puasa kalian sampai ke malam hari.” (QS. Al-Baqarah: 187)

sumber: 
www.al-atsariyyah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Dipersilakan untuk menyebarluaskan isi dari blog ini untuk kepentingan da'wah, tanpa tujuan komersil dengan menyertakan URL sumber. Jazakumullohu khairan."