Pembatal
Puasa Yang Diperselisihkan (2)
Berikut lanjutan
dari pembatal puasa yang diperselisihkan sebelumnya:
9. Keluar darah
melalui gusi atau hidung (mimisan) atau yang semacamnya.
Yang dikuatkan oleh
Syaikh Ibnu Baz dan Ibnu Al-Utsaimin adalah mazhab Al-Hanabilah yang menyatakan
hal itu tidak mempengaruhi puasa selama darahnya tidak tertelan.
Lihat Fatawa
Al-Lajnah Ad-Daimah no.12077 dan Fatawa Ibnu Utsaimin (1/514)
10. Celak dan
semisal dengannya obat tetes mata.
Mazhab Asy-Syafi’i
dan dinukil oleh Ibnul Mundzir dari Atha`, Al-Hasan, An-Nakha’i, Al-Auzai, Abu
Hanifah dan Abu Tsaur adalah bahwa dia boleh, tidak makruh dan tidak membatalkan
puasa, baik dia mendapati rasanya di tenggorokannya maupun tidak.
Mereka berdalil
dengan beberapa hadits yang lemah, di antaranya adalah hadits Aisyah dia
berkata:
أَنَّ اَلنَّبِيَّ اِكْتَحَلَ فِي رَمَضَانَ, وَهُوَ
صَائِمٌ
“Sesungguhnya
Nabi r bercelak dalam bulan ramadhan dalam keadaan beliau berpuasa.” (HR.
Ibnu Majah no. 1678)
Sanadnya lemah
sekali karena di dalamnya ada rawi yang bernama Said bin Abdil Jabbar
Az-Zubaidi. Dinyatakan pendusta oleh Ibnu Jarir dan dinyatakan lemah haditsnya
oleh An-Nasai. Lihat Nashbur Rayah (2/456)
At-Tirmizi berkata
-sebagaimana dalam Bulughul Maram-, “Tidak ada satu hadits pun yang shahih dalam
masalah ini.”
Mazhab kedua
menyatakan hal itu dimakruhkan. Ini adalah mazhab Ahmad, Malik, Ats-Tsauri, dan
Ishaq. Hanya saja Imam Malik dan Ahmad menyatakan batalnya puasa kalau celaknya
sampai ke tenggorokan.
Mereka berdalil
dengan hadits, “Berbuka itu dengan apa yang masuk, bukan dengan apa yang
keluar.”
Di dalam sanad
hadits ini ada Al-Fadhl bin Mukhtar, dan dia adalah rawi yang sangat lemah
haditsnya, dan juga ada Syu’bah maula Ibnu Abbas yang merupakan rawi yang lemah
haditsnya. Ibnu Adi berkata, “Asal hadits ini adalah mauquf, itu yang dikuatkan
oleh Al-Baihaqi.”
Mazhab yang ketiga
menyatakan bahwa itu membatalkan puasa secara mutlak. Ini adalah pendapat Ibnu
Syubrumah dan Ibnu Abi Laila. Kedua mazhab terakhir juga berdalil dengan hadits
Ma’bad bin Haudzah dari Nabi r bahwa beliau ditanya tentang itsmid (bahan celak)
maka beliau bersabda, “Hendaknya orang yang berpuasa menjauhinya.”
Hadits ini dari
jalan Abdurrahman bin An-Nu’man bin Ma’bad bin Haudzah dari ayahnya dari
kakeknya. Abdurrahman adalah rawi yang lemah haditsnya sementara An-Nu’man
adalah rawi yang majhul. Hadits ini juga diingkari oleh Ibnu Main, Ahmad, juga
Ibnu Taimiah dan Ibnu Abdil Hadi.
Yang kuat adalah
mazhab yang pertama karena tidak adanya dalil shahih yang menyatakan batalnya
sehingga kembali ke hukum asal. Adapun dalil bahwa itsmid bisa masuk ke
tenggorokan, maka hal ini dibantah oleh Ash-Shan’ani bahwa pernyataan itu tidak
benar. Lihat As-Subul (4/136)
[Kitabus Shiyam:
1/389, Al-Mughni: 3/16, Al-Majmu’: 6/348-349, An-Nail: 4/205-206, dan
Asy-Syarhul Mumti’: 6/382]
11. Obat tetes
telinga.
Mazhab Al-Hanabilah
dan mayoritas Asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa dia membatalkan puasa karena
cairannya sampai ke otak. Sementara sebagian Asy-Syafi’iyah seperti: Abu Ali
As-Sinji, Al-Qadhi Husain, Al-Faurani dan yang benarkan oleh Al-Ghazali bahwa
dia tidak membatalkan puasa.
Ini adalah mazhab
Ibnu Hazm dan yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah, serta Syaikh Ibnu Baz dan Ibnu
Al-Utsaimin dari ulama belakangan. Mereka mengatakan bahwa apa yang masuk ke
telinga tidak sampai ke tenggorokan dan lambung.
[Al-Majmu’:
6/314-315, Al-Mughni: 3/16, Al-Muhalla: 4/348, dan Fatawa Ramadhan:
2/509-511]
12. Muntah
Mayoritas ulama
berpendapat dengan hadits Abu Hurairah secara marfu’:
مَنْ ذَرَعَهُ اَلْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ,
وَمَنْ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ اَلْقَضَاءُ
“Barangsiapa
yang didesak oleh muntah maka tidak ada kewajiban qadha` atasnya. Dan
barangsiapa yang sengaja membuat dirinya muntah maka wajib qadha` atasnya.”
(HR Ahmad: 2/498, Abu Daud no. 2380, An-Nasai dalam Al-Kubra: 2/215,
At-Tirmizi no. 720, dan Ibnu Majah no. 1676)
Sanad hadits ini
lahiriahnya shahih, akan tetapi sejumlah ulama menyatakan hadits ini memiliki
cacat, di antara mereka: Ahmad, Al-Bukhari, Ad-Darimi, Abu Ali Ath-Thusi dan
selainnya. Lihat At-Talkhish dan Nashbur Rayah.
Mereka juga
berdalil dengan hadits Tsauban bahwa Rasulullah r muntah lalu beliau berbuka.
(HR. Abu Daud dan At-Tirmizi)
Hadits ini
dishahihkan oleh Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad. Hadits ini juga
diriwayatkan dengan lafazh, “Beliau muntah dengan sengaja,” akan tetapi
riwayatnya syadz.
Dalil yang lain
adalah hadits Fadhalah bin Ubaid dia berkata, “Rasulullah r pernah berpuasa
lalu beliau muntah kemudian beliau berbuka. Maka hal itu ditanyakan kepada
beliau, dan beliau bersabda, “Sesungguhnya saya tadi muntah.” (HR. Ahmad
no. 23963 dengan sanad yang hasan)
Ini adalah pendapat
Ibnu Umar dari kalangan sahabat, dan ini yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz dan
Ibnu Al-Utsaimin -rahimahumallah-.
Pendapat kedua
adalah pendapat Abu Hurairah, Ikrimah, Rabiah dan salah satu riwayat dari Malik.
Mereka menyatakan bahwa muntah tidak membatalkan puasa, baik dia sengaja
melakukannya maupun tidak. Mereka berdalil dengan hukum asal puasa.
Mereka menjawab
dalil pendapat pertama sebagai berikut:
1. Telah berlalu
bahwa hadits Abu Hurairah telah dihukumi cacat oleh sejumlah ulama.
2. Hadits
Tsauban tidak menunjukkan adanya perbedaan hukum antara yang sengaja muntah
dengan yang tidak. Karenanya Ath-Thahawi berkata, “Tidak ada dalam hadits ini
keterangan bahwa muntah itu yang membuat beliau berbuka, karena yang tersebut di
situ hanya bahwa beliau muntah lalu beliau berbuka setelah itu.”
At-Tirmizi
menyebutkan dari sebagian ulama bahwa makna hadits ini adalah, “Beliau muntah
lalu menjadi lemah sehingga beliau berbuka.”
3. Jawaban atas
hadits Fadhalah sama seperti jawaban kepada hadits Tsauban.
Kami katakan:
Tatkala hadits Tsauban dan hadits Fadhalah hanya menunjukkan bahwa Nabi muntah
lalu beliau berbuka, maka kalau memang muntah yang membatalkan puasa beliau,
maka kita tanyakan kepada mayoritas ulama: Apakah Nabi muntah dengan sengaja
atau tidak, karena dalam hadits tersebut tidak ada keterangan?
Jika mereka
menjawab kalau nabi muntah dengan tidak sengaja, maka kita katakan: Seharusnya
Nabi tidak perlu berbuka –berdasarkan mazhab kalian-, akan tetapi kenapa beliau
berbuka kalau memang muntah adalah pembatal puasa?
Jika mereka
menjawab kalau beliau muntah dengan sengaja, maka kita katakan: Subhanallah,
apakah beliau sengaja membatalkan puasanya dengan sengaja muntah? Karena muntah
dengan sengaja adalah pembatal puasa menurut kalian.
Karenanya yang
benar adalah pendapat yang kedua dan bahwa yang menyebabkan beliau berbuka puasa
adalah karena lemah setelah muntah sebagaimana yang dinukil oleh At-Tirmizi dari
sebagian ulama. wallahu a’lam.
[Al-Fath no. 1938,
An-Nail: 4/204, Al-Majmu’: 6/320, As-Subul: 4/140, dan Kitab Ash-Shiyam:
1/395-403]
Sebagai penutup
dari pembahasan pembatal puasa, baik yang disepakati maupun yang
diperselisihkan, maka kami katakan:
Barangsiapa yang
membatalkan puasanya dengan sengaja maka dia wajib untuk menahan diri dari
pembatal puasa pada sisa harinya.
An-Nawawi berkata
dalam Al-Majmu’ (6/331), “Jika seorang lelaki atau wanita berbuka di siang hari
ramadhan dengan jima’ tanpa ada uzur, maka dia harus menahan diri (dari pembatal
puasa) pada sisa siangnya, tanpa ada perbedaan pendapat, karena dia telah
berbuka tanpa uzur.”
Ijma’ atas hal ini
juga dinukil oleh Imam Ibnu Qudamah -rahimahullah- dalam Al-Mughni (3/33). Ini
yang dipastikan oleh Ibnu Taimiah dalam Al-Fatawa (20/518) dan beliau berdalil
dengan ayat, “Kemudian sempurnakanlah puasa kalian sampai ke malam hari.”
(QS. Al-Baqarah: 187)
sumber:
www.al-atsariyyah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar