HUKUM
BERPUASA BAGI PENDERITA SAKIT
Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad As-Sarbini:
Ana seorang
muslimah 33 tahun. Pada bulan Ramadhan 1429 H kemarin, ana tidak bisa
menjalankan ibadah puasa karena baru menjalani operasi saluran pencernaan.
Berhubung sekarang sudah sehat, ana bermaksud mengqadha puasa yang ana
tinggalkan. Hari pertama dan kedua ana tidak kuat. Hari ketiga ana konsultasi ke
dokter yang menangani, akhirnya ana diberi obat dan disuruh minum setelah makan
sahur. Akhirnya ana bisa puasa sampai lima hari. Setelah buka puasa hari kelima,
bagian perut ana ke atas hingga kerongkongan bahkan kepala bagian belakang
menderita sakit yang sangat, akhirnya ana jatuh sakit.
Yang ingin
ana tanyakan: Apa yang harus ana lakukan? Apakah ana tetap punya kewajiban
mengqadha puasa, atau ada rukhshah lain? Mohon dijawab sebelum Ramadhan 1430 H.
Jazakumullah khairan atas jawabannya.
Shafiyyah
Perlu diketahui
bahwa mengqadha puasa bagi yang memiliki utang puasa karena sakit hukumnya
adalah wajib apabila dia telah sembuh dari penyakitnya, sehat kembali, dan telah
mampu untuk mengqadha puasanya. Adapun selama dia masih sakit dan belum sembuh
dari sakitnya, maka selama itu pula belum terkena kewajiban untuk mengqadha.
Inilah makna firman Allah subhanahu wata'ala:
“Maka barangsiapa
di antara kalian menderita sakit atau dalam safar ada rukhsah (keringanan)
baginya untuk berbuka dan wajib atasnya untuk mengqadhanya di hari-hari lain (di
luar bulan Ramadhan).” (Al-Baqarah: 184)
Terpahami dari
kejadian yang anda alami bahwa anda belum benar-benar sembuh dan belum mampu
untuk mengqadha. Bahkan anda telah memudharatkan diri anda dengan memaksakan
diri berpuasa dalam keadaan belum mampu untuk itu, hingga menderita sakit
(kembali). Janganlah mengulangi hal yang sama, karena seseorang yang menderita
sakit sampai pada tahap puasa memudharatkannya, maka haram atasnya untuk
berpuasa dan bukan kebaikan baginya, melainkan maksiat dan dosa. Adapun apabila
puasa memberatkannya dan tidak sampai memudharatkannya, maka puasa makruh
atasnya. Hal ini ditegaskan oleh Al-Imam Al-’Utsaimin rahimahullah dalam
Asy-Syarhul Mumti’ (6/352-353).
Hendaklah anda
memeriksakan diri dan berkonsultasi dengan dokter spesialis terpercaya yang ahli
di bidangnya untuk mengetahui apakah sakit yang anda derita ada harapan sembuh
(menurut perhitungan ilmu medis) atau tidak. Apabila penyakit yang anda derita
divonis oleh ahlinya sebagai penyakit yang diharapkan dan ditunggu
kesembuhannya, hendaklah anda bersabar menunggu kesembuhan penyakit yang
diderita hingga benar-benar dianggap sembuh dan sehat. Setelah itu, wajib bagi
anda untuk mengqadha utang puasa yang anda tinggalkan selama masa sakit,
meskipun melewati sekian kali Ramadhan. Karena selama sakit, anda mempunyai
udzur untuk meninggalkan puasa dan tidak berkewajiban berpuasa di bulan Ramadhan
serta mengqadha di luar bulan Ramadhan hingga udzur sakit anda berakhir,
sebagaimana telah diterangkan di atas.
Namun apabila
ahlinya menvonis penyakit anda tidak ada harapan untuk sembuh, maka jangan
menanti hingga anda sembuh. Kewajiban anda adalah membayar fidyah yang diberikan
kepada fakir miskin sebagai pengganti setiap puasa yang anda tinggalkan. Seperti
halnya orang tua yang belum pikun, yang sudah tidak mampu berpuasa atau sudah
sangat berat baginya. Karena penderita sakit yang tidak ada harapan sembuh,
tidak ada harapan untuk kembali sehat dan mengqadha puasa. Sebagaimana halnya
orang tua yang sudah tidak mampu berpuasa atau sangat berat baginya, tidak ada
harapan untuk kembali muda dan mengqadha puasa.
Adalah dulu pada
awal syariat ditetapkan bagi yang mampu berpuasa untuk memilih antara berpuasa
atau membayar fidyah sebagai gantinya. Lalu hukum ini mansukh (terhapus) dan
diwajibkan bagi yang mampu untuk berpuasa tanpa ada pilihan lain, kecuali yang
memiliki udzur. Hal ini menunjukkan bahwa puasa tidak gugur begitu saja,
melainkan memiliki pengganti berupa fidyah. Maka orang tua yang tidak mampu
berpuasa atau sangat berat baginya, berkewajiban untuk menggantinya dengan
membayar fidyah. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
'anhuma dalam atsar yang diriwayatkan dari beliau oleh Al-Bukhari rahimahullah
dalam Shahih Al-Bukhari pada Kitabut Tafsir. Dan diqiyaskan dengannya adalah
seorang yang menderita penyakit yang tidak ada harapan untuk sembuh. Hal ini
yang difatwakan oleh Al-’Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/333-334, 347-349),
Al-Wadi’i, Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (4/22), dan Al-Lajnah Ad-Da’imah
dalam Fatawa Al-Lajnah (10/160-161).
Namun perlu diingat
bahwa vonis seorang dokter spesialis terpercaya yang ahli di bidangnya adalah
semata-mata hasil ijtihad darinya yang bersifat dugaan kuat yang beralasan
menurut kemampuan ilmu medis yang dimilikinya, karena dia tidak tahu ilmu ghaib.
Berarti mungkin saja ijtihadnya meleset. Apalagi dengan mengingat kemajuan ilmu
medis yang begitu cepat perkembangannya. Sehingga suatu penyakit yang sekarang
tidak bisa ditangani dan diobati mungkin saja di kemudian hari ditemukan obat
dan cara penanganannya, sehingga bisa sembuh dengan izin Allah subhanahu
wata'ala. Hanya saja yang diperhitungkan adalah hukum yang ditetapkan oleh ahli
medis untuk saat sekarang.
Oleh karenanya,
timbul permasalahan jika seseorang telah divonis tidak ada harapan sembuh dan
dia pun membayar fidyah, lalu ternyata Allah subhanahu wata'ala takdirkan
sembuh: Apakah dia harus mengqadha kembali puasa yang telah dibayarnya dengan
fidyah?
Jawabannya: Ibnu
Qudamah rahimahullah menyebutkan dua kemungkinan dalam Al-Mughni. Yang benar
–insya Allah– dia tidak berkewajiban mengqadhanya kembali setelah sembuh, karena
dia telah melaksanakan kewajiban sesuai dengan ajaran syariat, dan tanggung
jawabnya telah lepas dengan itu. Sebagaimana halnya seseorang yang memiliki
harta yang cukup untuk berhaji, namun dia menderita sakit yang tidak ada harapan
sembuh, maka dia berkewajiban memperwakilkan hajinya kepada orang lain dengan
biaya darinya dan dia (yang mewakili) pun melakukannya. Apabila setelahnya
ternyata dia ditakdirkan sembuh, maka tanggung jawabnya telah lepas dengan itu
dan tidak diwajibkan untuk berhaji sendiri setelahnya. Hal ini yang difatwakan
oleh Al-’Utsaimin dalam Majmu’ Rasa’il (19/127) dan Al-Lajnah Ad-Daimah dalam
Fatawa Al-Lajnah (10/195-196).
Wallahu a’lam
bish-shawab.
Saya
mempunyai penyakit yang menurut dokter susah sembuhnya dan akan makin parah
apabila saya berpuasa. Apakah saya diperbolehkan menggantinya dengan fidyah, dan
apakah fidyah tersebut bisa diganti dengan uang seharga makanan yang diberikan
kepada fakir miskin?
Ibnu
‘Abdillah Fahruddin bin Sukri
Jawab:
Jika penyakit anda
divonis oleh dokter spesialis terpercaya di bidangnya susah sembuh dan akan
makin parah apabila dibawa berpuasa, dalam arti penyakit yang anda derita
membutuhkan pengobatan yang lama dan istirahat yang cukup, namun tidak sampai
divonis tidak ada harapan sembuh, hendaklah anda bersabar menanti hingga sembuh
dan kuat untuk berpuasa, meskipun melewati sekian kali Ramadhan. Anda tidak
dianjurkan berpuasa dalam pandangan syariat selama menderita sakit, terlebih
jika puasa akan menambah parah penyakit yang anda derita. Bahkan menurut
pendapat yang dipilih oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam
Asy-Syarhul Mumti’ (6/352-353) haram atas seseorang yang menderita sakit untuk
berpuasa jika puasa memudharatkannya, baik menambah parah penyakitnya atau
memperlambat kesembuhannya. Berdasarkan pendapat ini, haram atas anda untuk
memaksakan diri berpuasa, dan puasa bukanlah kebaikan bagi anda, melainkan
maksiat yang tercela. Jika anda telah sembuh dan kuat berpuasa, maka anda
berkewajiban mengqadha sekian puasa Ramadhan yang anda tinggalkan selama sakit.
Allah subhanahu wata'ala berfirman:
“Maka barangsiapa
di antara kalian menderita sakit atau dalam safar ada rukhsah (keringanan)
baginya untuk berbuka dan wajib atasnya untuk mengqadhanya di hari-hari lain (di
luar bulan Ramadhan).” (Al-Baqarah: 184)
Adapun jika divonis
susah sembuh dalam arti tidak ada harapan sembuh menurut perhitungan ilmu medis
yang dimilikinya, maka tidak perlu menanti kesembuhan dan anda tidak terkena
kewajiban puasa. Namun anda berkewajiban membayar fidyah dengan memberi makan
seorang fakir/miskin sebagai pengganti setiap puasa yang anda
tinggalkan.
Fidyah harus
dibayarkan dalam bentuk makanan pokok daerah setempat sebagaimana yang
diperintahkan oleh Allah subhanahu wata'ala:
“Dan atas
orang-orang yang mampu berpuasa ada pilihan untuk tidak berpuasa dengan membayar
fidyah berupa makanan yang diberikan kepada fakir/miskin sebagai penggantinya.”
(Al-Baqarah: 184)1
Oleh karena itu
Al-Lajnah Ad-Da’imah dalam Fatawa Al-Lajnah (10/163-164) dan Al-’Utsaimin dalam
Majmu’ Ar-Rasa’il (19/116-117) menegaskan tidak sah menggantinya dengan uang.
Karena Allah l mewajibkan fidyah berupa makanan dan Allah subhanahu wata'ala
menamakannya sebagai fidyah (memberi makan), maka wajib dibayarkan sesuai yang
diperintahkan. Namun tidak mengapa mewakilkannya kepada seseorang yang anda
percaya dengan memberinya uang senilai fidyah yang hendak dibayarkan, lalu dia
membelikannya makanan untuk diberikan kepada yang berhak, atau mengajak orang
fakir/miskin tersebut ke warung makan dan memakannya (sebagai fidyah) di tempat
itu. Wallahu a’lam.
1 Pada awal syariat
ditetapkan bagi yang mampu berpuasa untuk memilih antara berpuasa atau membayar
fidyah sebagai gantinya, lalu hukum ini mansukh (terhapus) dan diwajibkan bagi
yang mampu untuk berpuasa tanpa ada pilihan lain, kecuali yang memiliki udzur.
Namun hukum membayar fidyah berlaku bagi orang tua yang sudah tidak mampu atau
sangat berat untuk berpuasa dan penderita sakit yang tidak ada harapan sembuh.
–pen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar