Wasilah dan Uslub (Metode) Manhaj Salaf Dalam Berdakwah
(Bagian 5)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Asy Syaikh Fawwaz bin Hulayil bin Rabah As
Suhaimi
Pembahasan Kelima
USLUB TA'LIFUL QULUB
(MENGIKAT HATI) Siapa yang Berhak Diajak Dengan Uslub Ini
Suatu ketika memang dibutuhkan oleh da'i upaya
menjinakkan dan menyatukan manusia untuk menerima dakwahnya dan mengamalkan apa
yang dianjurkannya atau meninggalkan apa yang dilarangnya. Dalam hal ini dia
perlu mendekatkan urusan ini kepada hati mad'u (obyek dakwah) dan mengalihkannya
kepada itiba' al haq (mengikuti kebenaran). Boleh jadi pula dia perlu menolak
keburukan yang hampir terjadi. Dan ini demi kemashlahatan agama bukan karena
mengikuti hawa nafsu. Nabi Shallallahu'alaihi wasallam telah mengambil cara ini
karena harapan agar diterimanya al haq dan diikuti.
Hadis riwayat Anas bin Malik Radhiallahu'anhu: Bahwa
pada waktu perang Hunain, ketika Allah menganugerahkan fa'i jarahan kepada
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, berupa harta-harta kabilah Hawazin,
ketika Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam mulai membagikan para pemuka
Quraisy seratus ekor unta, orang-orang Anshar berkata, "Semoga Allah mengampuni
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam, beliau memberikan para pemuka Quraisy
dan meninggalkan kami (tidak memberi kami), sedangkan pedang-pedang kami masih
meneteskan darah mereka." Anas bin Malik berkata: Rasulullah Shallallahu'alaihi
wasallam diceritakan tentang ucapan mereka. Lalu beliau memanggil orang-orang
Anshar. Beliau Shallallahu'alaihi wasallam mengumpulkan mereka dalam sebuah
kemah dari kulit yang disamak. Setelah semua berkumpul, Rasulullah
Shallallahu'alaihi wasallam datang dan bertanya, "Pembicaraan apa yang sampai
kepadaku dari kalian?" Orang Anshar yang paham menjawab, "Orang-orang yang paham
di antara kami wahai Rasulullah, tidak mengatakan apa-apa. Sedangkan orang-orang
yang masih muda di antara kami mengatakan: Semoga Allah mengampuni Rasul-Nya,
beliau memberi orang Quraisy dan meninggalkan kami, sedangkan pedang-pedang kami
masih meneteskan darah mereka."
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam
bersabda, "Sungguh, aku memberikan (harta rampasan) kepada orang-orang yang baru
saja meninggalkan kekafiran adalah untuk mengokohkan hati mereka. Tidakkah
kalian rela jika mereka pergi mendapatkan harta, sedangkan kalian kembali ke
rumah kalian bersama Rasul (utusan Allah)? Demi Allah, apa yang kalian bawa
pulang itu lebih baik dari apa yang mereka bawa."
Mereka berkata, "Ya, wahai Rasulullah, kami rela.
Mereka berkata, "Ya, wahai Rasulullah, kami rela.
Beliau Shallallahu'alaihi wasallam bersabda,
"Sungguh, kalian akan mendapati pilihan berat, maka bersabarlah kalian hingga
kalian bertemu Allah dan Rasul-Nya (sampai mati) dan berada di
telaga."
Mereka berkata, "Kami akan bersabar (tetap bersama engkau)." (Shahih Muslim No.1753)
Mereka berkata, "Kami akan bersabar (tetap bersama engkau)." (Shahih Muslim No.1753)
Di dalam hadits Sa'd bin Abi Waqqash Radhiallahu'anhu
juga terdapat hal-hal yang menyiratkan adanya uslub nabawi yang penuh hikmah
ini, yaitu tatkala beliau Shallallahu'alaihi wasallam memberi segelintir orang,
dan Sa'd sedang duduk. Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam meninggalkan
seorang laki-laki (tidak memberinya). Sa'd berkata kepada beliau
Shallallahu'alaihi wasallam, "Orang ini menakjubkan saya." Sa'd mengulangi hal
itu kepada nabi sampai nabi berkata,
"Hai Sa'd, sesungguhnya saya memberi seseorang padahal
yang selain dia lebih aku cintai karena takut Allah melemparkannya ke dalam
neraka. (HR Muslim Kitab Zakat 7/208 no. 1058)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, "Kesimpulan kisah ini
bahwasanya nabi meluaskan pemberian kepada orang-orang yang menampakkan
keislamannya untuk menjinakkan (menyatukan) mereka."
Bahkan Imam Bukhari membuat bab tersendiri dalam kitab
Shahihnya tentang uslub yang mulai ini, dengan mengatakan Bab Mendoakan Agar
kaum Musyrikin mendapat Hidayah Untuk Menyatukan Mereka. Lalu beliau menyebutkan di bawahnya
bahwa Thufail bin 'Amr Ad Dausi datang bersama pengikutnya kepada nabi
Shallallau'alaihi wasallam dan berkata, "Ya Rasulullah sungguh orang-orang Daus
durhaka dan menolak, do'akanlah kepada Allah agar menimpakan bencana bagi
mereka." Ada yang mengatakan, "Hancurlah kabilah Daus."
Tapi nabi Shallallahu'alaihi wasallam bersabda, "Ya
Allah tunjukilah orang-orang Daus dan datangkanlah mereka." (HR Muslimin Kitab
Fadhail 16/115 no. 2524)
Beliau juga mengatakan, "Suku Aslam Allah selamatkan dan
Ghifar Allah mengampuninya." (HR Muslim Kitab Fadhail 16/107 no.
2515)
Seadainya ada yang menganggap musykil sikap nabi
Shallallahu'alaihi wasallam menjinakkan hati kaum Muslimin dengan mendoakan
kebaikan bagi mereka, dengan adanya riwayat yang shahih bahwa beliau
Shallallahu'alaihi wasallam melakukan qunut selama satu bulan mendoakan
kejelekan bagi beberapa kabilah arab, maka jawabannya -wallahu a'lam- ialah
bahwa dalam kondisi pertama, beliau mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang
diharapakan keimamannya kalau memang doa itu berguna bagi mereka. Dan (dalam
kondisi kedua) beliau mendoakan kejelekan bagi yang lain ketika doa (kebaikan)
itu tidak bermanfaat bagi mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan sebagian
keadaan yang berhubungan dengan ibadah yang perlu memperhatikan masalah
persatuan hati di mana beliau berkata tentang sholat sunnah,
"Jika seseorang tinggal bersama sekelompok orang yang
sholat sunnah sebelum Jum'at, maka kalau dia seorang yang ditaati lalu
meninggalkan sunnah itu -dan menjelaskan yang sesuai dengan as sunnah- sedangkan
mereka tidak menentangnya, bahkan mengenal sunnah itu, maka meninggalkan
(sholat) sunnah itu lebih baik. Tetapi kalau dia tidak ditaati lalu melihat
kalau dia ikut mengerjakannya berarti menjaga persatuan menuju arah yang lebih
bermanfaat atau menjaga timbulnya pertentangan, keburukan dan tidak memungkinkan
menjelaskan al haq atau tidak ada sambutan mereka terhadapnya dan sebagainya,
maka ikut sertanya dia mengerjakannya juga baik."
Kata beliau juga, "Karena itu para imam seperti Imam
Ahmad atau yang lainnya menganggap sunnah jika seorang imam meningalkan hal-hal
yang menurutnya lebih utama jka hal itu dapat menyatukan
makmum."
Bahkan menurut beliau, "Demikian juga orang-orang yang
menganggap melirihkan suara ketika membaca Basmalah (dalam sholat
berjamaah) lebih utama atau sebaliknya, sedangkan makmum berbeda dengan
pendapatnya atau madzhabnya maka dia boleh mengerjakan yang kurang afdhol demi
menjaga kemashlahatan persatuan yang lebih kuat dibandngkan permasalahan mana
yang afdhol dari kedua perkara, dan ini baik."
Dari hadits dan keterangan para ahli ilmu dalam masalah
ini, jelaslah betapa pentingnya seorang da'i untuk berpegang dengan jalan yang
telah digariskan oleh nabi Shallallahu'alaihi wasallam ini. Hendaklah juga dia
mempunyai ilmu dan hikmah yang akan membawanya kepada tujuan yang diharapkan.
Semua itu mungkin dengan pemberian harta menurut kemampuannya atau ucapan yang
baik seperti pujian terhadap hal-hal yang baik, atau meninggalkan perkara yang
afdhol dan mengerjakan yang kurang afdhol, kalau memang di dalamnya terdapat
kemashlatan yang lebih kuat.
Akan tetapi perlu dicermati bahwa bukanlah dengan alasan
persatuan ini seorang da'i kemudian melakukan hal-hal yang diharamkan. Karena
persatuan seperti ini jelas tercela. Tidak berdasarkan dalil dan hujjah dari
kitabullah (Al Quran) dan Sunnah Rasulullah, bahkan sebaliknya dalil-dalil
syar'i ini menunjukkan bahwa hal itu tidak diakui. Maka tidak boleh dikerjakan
apa yang diharamkan Allah atau diam, tidak menjelaskannya kepada kaum Muslimin
dengan alasan menjaga persatuan.
Menerangkan al haq adalah perkara tersendiri, hikmah dan
uslub dakwah yang baik adalah persoalan tersendiri pula. Inilah yang wajib
dipahami oleh setiap da'i.
Adapun diam dari kebathilan hanya karena ingin menjaga
persatuan, selamanya tidak dibenarkan.Lebih buruk lagi jika persoalan ini
berlanjut kepada perkara ushul (pokok) agama dan masalah aqidah. Di mana diamnya
seorang da'i karena alasan persatuan dan kesatuan. Dan ini -demi Allah-
merupakan manhaj yang rusak, bertentangan dengan manhaj salaf yang
lurus.
Syaikh Bakr Abu Zaid dalam uraiannya tentang perrsatuan
dan kesatuan yang rusak dan akibatnya terhadap kaum Muslimin
mengatakan,
"Runtuhnya dinding al wala' wal bara' antara seorang
Muslim dan kafir, dan di antara sunniy dengan bid'iy (ahli bid'ah), inilah yang
diistilahkan dengan hajizun nafsiy (menahan diri) yang diruntuhkan
melalui semboyan kesesatan seperti toleransi, satu hati, menolak exklusivisme
dan fanatisme atau humanis (kemanusiaan) dan istilah lainnya. Padahal hakikatnya
merupakan intrik keji untuk menghancurkan yang dikerahkan kepada satu tujuan
final melenyapkan seorang muslim militan yang menampilkan identitasnya sebagai
muslim dan senantiasa di atas Islam."
Oleh karena itu kesatuan al haq dan kesatuan hati tidak
akan mungkin membawa tujuannya hingga betul-betul dibangun di atas jalan satu
pula, bukan jalan-jalan yang berbeda-berbeda sebagaimana fiman Allah Subhanahu
wata'ala,
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ
النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ
بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ
فِيهِ إِلا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا
بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ
الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ
مُسْتَقِيمٍ
"Manusia itu
adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para
nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan
bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia
tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu
melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang
kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka
sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran
tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu
memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus." (Al
Baqarah: 213)
Sehingga seharusnya betul-betul dipahami makna persatuan
yang sesuai dengan syari'at yang diperintahkan oleh Rasulullah
Shallallahu'alaihi wasallam dan dijelaskan oleh para ulama agar jangan sampai
seorang Muslim terjatuh ke dalam kerusakan persatuan yang dilandasi bid'ah dan
bertentangan dengan manaj salafus shalih.
[Dinukil dari kitab Asas Manhajus Salaf fii Da’wati
Ilallah Edisi Indonesia Manhaj Dakwah Salafiyyah, Penulis Asy Syaikh Fawwaz bin
Hulayil bin Rabah As Suhaimi, Penerbit Pustaka Al Haura, hal
232-237]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar