Sepenggal Kisah Reformasi di NKRI
----------------------------------------------------------------------
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)
Rusuh di mana-mana. Demonstrasi pun merebak di mana-mana. Itulah situasi yang mewarnai perjalanan awal sebuah reformasi. Sebuah situasi yang secara sengaja diskenario untuk membuahkan pergantian kekuasaan. Berbagai elemen masyarakat digerakkan. Media massa dihasung untuk menyulut situasi yang dikehendaki. Mahasiswa digerakkan untuk aksi turun ke jalan seraya menggaungkan agenda reformasi. Masyarakat, dengan berbagai strata, terus-menerus dicekoki dengan informasi-informasi yang membuka aib penguasa. Terjadilah sebuah situasi yang panas bergejolak. Tekanan demi tekanan terus dilancarkan guna menggoyang kekuasaan yang ada.
Pola-pola semacam ini tak semata berlangsung di Indonesia. Tidak hanya saat reformasi diletupkan guna menggusur Orde Baru. Saat Orde Lama tumbang, pola yang nyaris sama pun dilakukan. Masih lekat dalam benak sejarah, mahasiswa turun ke jalan, bentrok dengan aparat, lalu ada yang tertembak mati, setelah itu tersulutlah amarah massa. Situasi menjadi chaos, rusuh bergejolak. Suhu politik semakin meninggi. Banyak elite politik bermain guna mendapatkan bola liar yang tengah bergulir. Keadaan semacam itu nyaris sama terjadi tatkala Orde Baru hendak dilengserkan. Tidak cuma di Indonesia, di beberapa negara pun situasinya didesain hampir serupa. Sebut saja seperti di Filipina atau beberapa negara lainnya.
Aksi demonstrasi yang didengung-dengungkan setiap hari di berbagai kota besar di Indonesia menjelang surutnya kekuasaan Orde Baru kian mendekati titik membara. Banyak elemen masyarakat yang tak bisa mengendalikan emosi dan berpikir rasional. Di Medan, mahasiswa hampir setiap hari berunjuk rasa. Bahkan, situasi semakin melebar hingga mampu memengaruhi sebagian masyarakat. Masyarakat Medan pun telanjur tak terkendali dan mulai berbuat onar. Medan menjadi kota besar pertama yang yang menjadi korban kerusuhan kerusuhan. Antara 4—7 Mei 1998 terjadi pembakaran, perusakan, penjarahan toko-toko, pasar, dan kendaraan. Kerusuhan ini menjalar ke beberapa kota seputar Medan. Di Yogyakarta pada 5 Mei 1998 terjadi rusuh. Ini merupakan aksi mencekam terkait reformasi, sama seperti di Medan dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Mahasiswa bentrok dengan aparat. Perusakan dan pembakaran terjadi mulai siang hingga malam hari. Kerusuhan kedua terjadi 8 Mei 1998. Kerusuhan kedua di Yogyakarta ini berskala lebih besar daripada kerusuhan 5 Mei 1998. Di Jakarta tanggal 12 Mei 1998 ribuan mahasiswa turun ke jalan, demo. Mereka menuntut penguasa lengser dari kursi jabatannya. Sore hari, keadaan makin memburuk. Empat mahasiswa terbunuh. Puluhan lainnya, terdiri dari masyarakat dan mahasiswa, mengalami luka-luka. Hingga tanggal 15 Mei 1998, di Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia mengalami situasi yang sama: rusuh! Keadaan pun makin tak terkendali. Ribuan bangunan milik masyarakat, aset negara, toko, dan kendaraan, hancur-lebur dirusak dan dibakar massa.
Sebelum mahasiswa secara sporadis melakukan aksi-aksi demonstrasi menuntut penguasa turun, muncul sosok tokoh yang senantiasa membuka aib penguasa di depan masyarakat umum. Selain melalui tulisan-tulisannya di media massa, sosok tokoh ini pun aktif memompa masyarakat untuk memusuhi penguasanya melalu acara-acara “pengajian”. Statusnya sebagai pembesar salah satu ormas terbesar di Indonesia memungkinkannya untuk leluasa menggalang massa. Ceramah-ceramahnya di hadapan massa selalu berkutat masalah aib-aib penguasa dan berupaya mengajak masyarakat mendongkel sang penguasa. Sosok tokoh ini pun memiliki rencana besar untuk mempercepat penggulingan kekuasaan. Pada 20 Mei 1998, dia berencana mengarahkan sejuta massa ke Lapangan Monas di seberang Istana Negara, meskipun akhirnya rencana ini dibatalkan.
Tekanan untuk melengserkan penguasa pun tak hanya di situ. Melalui berbagai tokoh “cendekia” lainnya, saran-saran untuk meletakkan jabatan pun disampaikan. Beberapa tokoh “cendekia” sempat mendatangi Istana guna meminta penguasa agar bersedia mengundurkan diri. Akhirnya, pada tanggal 20 Mei 1998, sekitar pukul 22.15 WIB, Presiden Republik Indonesia pada waktu itu memutuskan untuk berhenti sebagai presiden. “Segala usaha untuk menyelamatkan bangsa dan negara telah kita lakukan. Tetapi, Tuhan rupanya berkehendak lain. Bentrokan antara mahasiswa dan ABRI tidak boleh sampai terjadi. Saya tidak mau terjadi pertumpahan darah. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk berhenti sebagai presiden, menurut Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945,” demikian pernyataan Presiden. (Soeharto, Biografi Singkat, 1921—2008, Taufik Adi Susilo, hlm. 111)
Setelah pergantian kepemimpinan negara terjadi, apakah situasi negara semakin stabil? Walau kepemimpinan negara telah berpindah tangan, ternyata sebagian masyarakat tidak mau menerima keadaan seperti itu. Pemimpin baru pun terus dipermasalahkan. Diungkit aib-aibnya di hadapan masyarakat luas. Melalui beberapa media, disemburkan bibit-bibit kebencian terhadap penguasa. Masyarakat diasupi informasi-informasi yang memicu permusuhan terhadap pemimpinnya. Rakyat dihasung untuk menolak dan mendongkel penguasa baru. Keadaan ini terus berlanjut. Masyarakat pun akhirnya sulit mendapatkan rasa aman dan nyaman hidup di Indonesia. Ini semua akibat ulah para provokator yang senantiasa bersikap antipati terhadap penguasa. Kehidupan bermasyarakat selalu diwarnai aksi unjuk rasa. Membuka sisi negatif kehidupan penguasa merupakan santapan sehari-hari. Sebuah pendidikan sosial politik yang sangat buruk bagi masyarakat. Masyarakat senantiasa diajari untuk selalu berkonflik, membuka jurang antara penguasa dan rakyatnya, serta dididik untuk selalu curiga. Sebuah potret kehidupan yang sangat sarat ketidaknyamanan. Sebuah struktur masyarakat yang sangat rentan terhadap berbagai konflik dan penyakit sosial lainnya. Tak mengherankan jika kemudian masyarakat sangat mudah dipicu untuk berbuat onar, rusuh, beringas, dan sadistis. Kerusuhan pun mewarnai kehidupan bangsa yang dulunya dikenal sebagai bangsa yang ramah. Terjadi pembantaian terhadap kaum muslimin di Poso, Ambon, Maluku Utara dan tempat lainnya. Timbulnya keresahan masyarakat Aceh juga akibat aksi-aksi separatisme pada masa itu. Semua peristiwa itu mengguratkan kehidupan yang kelam dan memilukan. Ironisnya peristiwa-peristiwa tersebut terjadi setelah ide-ide reformasi digaungkan.
“Jikalau penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raf: 96)
Upaya suksesi, penggulingan kekuasaan, atau sikap anti terhadap penguasa melalui cara-cara pengerahan massa, sebenarnya pernah dilakukan tokoh Yahudi bernama Abdullah bin Saba’ semasa pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan z. Abdullah bin Saba’ yang menampilkan diri secara lahiriah sebagai seorang muslim namun dalam batinnya menyimpan kekufuran, secara intensif berupaya mengembuskan api permusuhan terhadap pemerintah. Masyarakat Mesir sempat terprovokasi sehingga mereka melakukan pergerakan menentang pemerintahan ‘Utsman bin ‘Affan z. Puncak dari aksi provokasi yang didalangi Yahudi ini adalah terjadinya pengepungan (melalui aksi demonstrasi) terhadap kediaman Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan z. Akibat aksi pergerakan massa tersebut, Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan z terbunuh. (Lihat Majalah Asy-Syariah edisi 32 dan 57)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah pernah ditanya berkenaan dengan aksi demonstrasi. Apakah aksi demonstrasi ini merupakan cara yang diperkenankan dalam agama?
Beliau hafizhahullah menjelaskan bahwa Islam bukan agama yang tidak memiliki aturan. Bukan agama yang kacau tak beraturan. Islam adalah agama yang tenang. Demonstrasi atau unjuk rasa tidak termasuk perbuatan kaum muslimin. Islam adalah agama yang tenang dan penuh rahmat. Tidak mengajarkan kekacauan, mengembuskan berita-berita tak benar dan fitnah. Demonstrasi adalah aksi yang bisa menimbulkan fitnah yang besar, mendorong pertumpahan darah, dan menghancurkan harta benda. Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh melakukan hal-hal di atas. Bahkan, apabila umat dalam keadaan ditekan pihak penguasa sekalipun, hendaknya bersabar. Kemudaratan tidak bisa disingkirkan dengan hal-hal yang menimbulkan mudarat (yang lebih besar). Apabila terjadi kemudaratan atau kemungkaran, hendaklah tidak disingkirkan dengan melakukan unjuk rasa atau demonstrasi. Yang demikian tak akan menyelesaikan masalah. Bahkan, akan menambah keadaan menjadi semakin buruk. Karena itu, serahkanlah keadaan kepada yang bertanggung jawab menangani dan berikanlah nasihat kepada mereka. Jika keadaan tetap belum berubah, wajib bersabar sebagai bentuk pencegahan dari mudarat yang lebih besar. (Al-Ajwibah Al-Mufidah, hlm. 232 dan 235)
Bagaimana cara memberi nasihat yang sesuai syariat terhadap penguasa? Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah mengungkapkan bahwa menasihati penguasa bisa melalui beberapa cara. Diantaranya mendoakan mereka agar tetap dalam keadaan baik dan istiqamah (di atas agama dan kebenaran). Sesungguhnya, mendoakan kebaikan bagi penguasa muslimin termasuk ketentuan syariat. Terutama, mendoakan mereka pada saat-saat dikabulkannya doa dan di tempat-tempat yang diharapkan terkabulkan. Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata:
لَوْ كَانَ لَنَا دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ لَدَعَوْنَا بِهَا لِلسُّلْطَانِ
“Andai kami memiliki doa yang mustajab (dikabulkan), sungguh akan kami tujukan doa tersebut bagi penguasa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 28/391)
Bila penguasa tersebut baik, niscaya akan membawa kebaikan kepada rakyatnya. Jika penguasa tersebut rusak, niscaya kerusakan yang melekat padanya akan berpengaruh pada rakyat. Termasuk menasihati penguasa adalah melaksanakan sistem kerja yang digariskannya terhadap para pegawai atau aparaturnya. Selain itu, hendaknya pula memberitahu pihak penguasa bila terjadi kesalahan atau kemungkaran di masyarakat. Sebab, terkadang pihak penguasa beserta jajarannya tidak mengetahui bahwa telah terjadi kesalahan atau kemungkaran. Namun harus diingat, saat memberitahu perihal tersebut hendaknya dengan cara sembunyi-sembunyi. Cukup antara orang yang menasihati dengan pihak penguasa saja. Jangan sekali-kali menasihati penguasa di hadapan orang banyak secara transparan dan vulgar, atau melakukannya di atas mimbar (media umum). Ini bisa memberi pengaruh yang tidak baik, bahkan akan menimbulkan kejelekan, yaitu menimbulkan jurang permusuhan antara penguasa dan rakyatnya. Perlu diingat pula, bukanlah nasihat apabila dilakukan dengan cara mengkritik penguasa di atas mimbar, menyebutkan kesalahan-kesalahan penguasa di media umum (mimbar) sehingga diketahui orang banyak. Aksi semacam ini tidak akan membantu menciptakan kemaslahatan pada masyarakat. Bahkan, bisa menimbulkan keburukan yang seburuk-buruknya.
Sesungguhnya, menasihati penguasa bisa melalui dengan menyampaikannya secara pribadi, bisa pula menyampaikannya melalui surat, atau melalui orang-orang kepercayaan yang biasa berhubungan dengan penguasa tersebut, sehingga nasihat yang disampaikan bisa diterima dengan baik. Bukanlah nasihat terhadap penguasa bila seseorang menuliskan nasihatnya lantas disebar kepada orang banyak. Yang seperti ini bukan nasihat, tetapi fadhihah (menyebarkan kesalahan orang lain kepada masyarakat atau orang banyak). Ini perlu dipertimbangkan matang, sebab bisa menjadi penyebab timbulnya kejelekan, sukacita musuh (Islam), dan menyusupnya para pengikut hawa nafsu ke dalam urusan tersebut. (Al-Ajwibah Al-Mufidah, hlm. 161—163)
Di dalam kitab Syarhus Sunnah, Al-Imam Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Barbahari t mengatakan:
وَإِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَدْعُو عَلَى السُّلْطَانِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ صَاحِبُ هَوًى، وَإِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلَ يَدْعُو لِلسُّلْطَانِ بِالصَّلَاحِ
فَاعْلَمْ أَنَّهُ صَاحِبُ سُنَّةٍ، إِنْ شَاءَ اللهُ
“Apabila engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan terhadap penguasa, ketahuilah bahwa sesungguhnya dia itu pengikut hawa nafsu. Bila engkau melihat seseorang mendoakan penguasa dengan kebaikan, ketahuilah sesungguhnya dia adalah pengikut As-Sunnah, insya Allah.” (hlm. 116)
Seluruh bimbingan para ulama salaf di atas, tentang cara menasihati dan menyampaikan aspirasi terhadap penguasa, bersendi pada apa yang telah disampaikan Rasulullah n. Dalam sebuah hadits dari Syuraih bin ‘Ubaid z dan selainnya, Rasulullah n bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِ لَهُ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِن قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barangsiapa ingin menasihati penguasa karena satu hal, janganlah dia menerangkannya secara terbuka (di depan masyarakat). Akan tetapi, hendaklah dia mengambil tangannya, lalu (berbicara berdua dengan penguasa itu. Jika penguasa menerima (nasihat itu), itulah (yang diharapkan). Jika penguasa itu tidak mau menerima nasihat, sungguh ia telah menyampaikan kewajibannya.” (HR. Ahmad, Majma’ Az-Zawa’id no. 9161. Dishahihkan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam Zhilalul Jannah fi Takhriji As-Sunnah, no. 1096)
Sudah semestinya seorang muslim memuliakan penguasanya. Tidak mencela apalagi merendahkannya di hadapan publik. Tidak pula menjatuhkan kehormatannya walaupun untuk menyampaikan aspirasi rakyat. Al-Imam At-Tirmidzi t dalam Sunan-nya meriwayatkan hadits (no. 2224) dari Ziyad bin Kusaib Al-’Adawi yang bertutur: “Aku pernah bersama Abu Bakrah z (seorang sahabat Nabi n, -red.) di bawah mimbar Ibnu ‘Amir yang sedang berkhutbah dan mengenakan pakaian tipis. Tiba-tiba, Abu Bilal (Mirdas bin Udayyah, seorang tokoh Khawarij) mengkritik seraya berkata: ‘Lihatlah pemimpin kita. Dia mengenakan pakaian orang-orang fasik.’ Abu Bakrah z lantas angkat bicara, ‘Diam kamu! Aku telah mendengar Rasulullah n bersabda:
مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ فِي الْأَرْضِ أَهَانَهُ اللهُ
“Barangsiapa yang merendahkan (menghina) penguasa Allah di muka bumi, pasti Allah l akan merendahkan dirinya.” (Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini hasan. Lihat Ash-Shahihah no. 2296)
Seorang muslim dituntun oleh agama Islam yang mulia ini untuk bersikap mendengar, taat, dan patuh kepada penguasanya, walaupun penguasa tersebut bertindak zalim. Barangsiapa keluar (dari ketaatan) terhadap salah seorang imam (pemimpin) kaum muslimin, dia seorang khariji (berpemahaman Khawarij). Sungguh dia telah memecah-belah persatuan kaum muslimin dan menyelisihi As-Sunnah. Jika dia mati, mati dalam keadaan jahiliah. Tidak halal memerangi penguasa dan keluar (dari ketaatan) kepadanya meskipun penguasa tersebut bertindak lalim. Rasulullah n pernah berkata kepada sahabat Abu Dzar Al-Ghifari z:
اصْبِرْ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا
“Bersabarlah, meskipun (yang memerintahmu) seorang budak Habasyi.”
Juga sabda Rasulullah n terhadap kaum Anshar:
اصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ
“Bersabarlah kalian hingga kalian berjumpa denganku di al-haudh (telaga).”
Oleh karena itu, memerangi (menentang) penguasa bukanlah bimbingan As-Sunnah, karena penentangan (sikap memerangi) penguasa akan menimbulkan kerusakan agama dan dunia. (Lihat Syarhus Sunnah, Al-Imam Al-Barbahari, hlm. 78)
Islam membimbing pula, apabila proses penetapan penguasa tersebut menyelisihi apa yang telah ditentukan dalam syariat (semisal demokrasi atau kudeta) maka kewajiban terhadap pemimpin yang berkuasa tersebut tidak lantas dicabut. Kewajiban untuk mendengar, taat, dan patuh tetap berlaku selama yang diperintahkannya adalah hal yang ma’ruf. Adapun dalam hal maksiat, tidak wajib menaatinya. Al-Imam Abdul Aziz bin Muhammad bin Su’ud pernah ditanya, “Apakah sah seorang imam yang bukan dari kalangan Quraisy?” Jawab beliau t, “Hal tersebut merupakan pendapat mayoritas ulama, yaitu tidaklah sah pemimpin selain dari Quraisy apabila yang demikian ini memungkinkan. Adapun bila tidak memungkinkan, sementara umat telah bersepakat untuk tetap membai’at imam (yang bukan dari Quraisy), atau ahlul halli wal ‘aqdi menyetujuinya, mengesahkan keimamannya dan mewajibkan untuk membai’atnya, tidak boleh melakukan penentangan terhadapnya. Ini adalah pendapat yang benar berdasarkan hadits-hadits shahih, seperti sabda Rasulullah n:
عَلَيْكُمْ بِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ
“Kalian wajib mendengar dan taat, meskipun yang memerintah kalian adalah seorang budak Habasyi.” (Ad-Durar As-Saniyyah, 9/5—7, dinukil dari Al-Jama’ah wal Imamah, Asy-Syaikh Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, hlm. 82)
Dampak reformasi bagi masyarakat adalah terbukanya kran kebebasan. Masyarakat dihasung untuk berani menyampaikan aspirasinya. Di sisi lain, mentalitas masyarakat belum siap memaknai kebebasan yang ada. Reformasi telah mengantarkan kehidupan bermasyarakat pada taraf tidak memedulikan lagi norma-norma dalam menyikapi penguasa. Apa yang diperoleh dari sebuah proses reformasi, yaitu mengajari masyarakat untuk kritis, merendahkan, melecehkan, dan mencaci-maki penguasa yang tak sejalan dengan pemikiran para “reformis”, adalah sebuah situasi yang sangat memilukan. Reformasi telah mencampakkan nilai-nilai Islam dalam hal menyikapi penguasa.
Propaganda Reformasi
Sejak gerakan reformasi digulirkan lebih satu dasawarsa silam, banyak perubahan besar terjadi di negeri ini, terutama yang menyangkut iklim politik. Banyak yang kemudian menyebut masa pascaturunnya pemerintah Orde Baru sebagai era keterbukaan, kebebasan, ataupun era demokrasi. Namun sejatinya jika kita mau sejenak merenung, di balik era-era yang dianggap sebagai nilai-nilai positif itu, reformasi yang dicitrakan untuk Indonesia yang lebih baik, justru menyisakan setumpuk persoalan dan ekses-ekses negatif yang terus dirasakan masyarakat hingga kini, khususnya yang menyangkut eksistensi Islam.
Reformasi yang diawali dari hilangnya legitimasi “rakyat” (istilah demokrasi) atau krisis kekuasaan, yang kemudian menelurkan krisis-krisis lainnya, berujung pada hilangnya kewibawaan pemerintah. Rakyat pun dibuat tidak percaya kepada pemerintah dan aparaturnya. Anarkisme merebak dan terorisme (baca: aksi Khawarij) pun tumbuh subur. Demikian juga konflik-konflik horisontal antaragama atau konflik sosial karena hasil pilkada, separatisme serta pemekaran wilayah tertentu yang didesain untuk memarjinalkan umat Islam.
Paham-paham keagamaan yang meng-gunakan simbol-simbol Islam yang sebelumnya tiarap atau hanya bergerak di bawah tanah (seperti Ahmadiyah, Baha’i), atau paham-paham yang benar-benar baru (seperti Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Salamullah, dll) akhirnya berani menampakkan diri, mendakwahkan pahamnya, bahkan didukung oleh tokoh-tokoh bodoh yang terjerat propaganda HAM. Ide-ide penyatuan agama yang dikampanyekan Yahudi kian mendapat tempat bahkan disokong kelompok aneh “Islam Liberal”. Demikian juga dengan komunis yang terus unjuk gigi.
Di bidang politik, umat Islam semakin tercerai-berai dan tersekat-sekat dalam partai. Demokrasi yang merupakan jajanan murahan dari Barat ditelan mentah-mentah oleh umat. Banyak tokoh agama yang kemudian sibuk di politik, dari pileg ke pileg, dari pilpres ke pilpres, dari pilkada ke pilkada, lantas mengabaikan dakwah untuk memperbaiki umat. Bahkan yang nampak, idealisme keagamaan mereka justru tergerus oleh pragmatisme politik. Demi opini publik, demi meraih simpati berbuah kursi, syariat pun tak mengapa dilabrak atau “dikompromikan”.
Reformasi pun akhirnya menjadi pintu yang sangat lebar untuk menyusupkan berbagai pemikiran dan sistem kufur. Isu-isu untuk melemahkan syariat Islam atas nama HAM dan kebebasan terus diangkat, agama Islam dinodai, dukun dan kesyirikan kian berkibar.
Sejarah sendiri mencatat, reformasi apa pun dan di mana pun dengan mengeskpose kejelekan pemerintah selalu ditunggangi hawa nafsu-hawa nafsu kekuasaan. Lihatlah di Indonesia, para tokoh yang diagung-agungkan sebagai pencetus bahkan lokomotif reformasi nyatanya justru saling berebut menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Gerakan reformasi akhirnya cenderung hanya mencari kambing hitam dengan menim-pakan segala kesalahan atau mengalamatkan vonis “dosa” kepada pemerintah masa lalu atau orang-orang masa lalu. Padahal, mereka yang mengaku reformis itu belum tentu lebih baik dari pribadi-pribadi yang berada di pemerintahan yang lama. Orde apa pun bukanlah kayu arang yang kemudian dengan mudahnya diganti emas. Sejelek apa pun penguasa, itu jauh lebih baik daripada kita di tengah situasi chaos. Atau sebagaimana kata ulama, apa yang diperbaiki oleh penguasa lebih banyak daripada yang mereka rusak.
Sekali lagi, meski tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada pemerintah di masa sekarang seperti KKN, sikap otoriter, dan sebagainya, memang benar adanya, sebagai seorang muslim kita dituntut bersikap sesuai adab. Bukan lantas dimaknai pro-status quo, namun inilah etika politik yang dituntunkan Islam. Semestinya, kita membangun kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang sedang berkuasa serta mendoakan mereka agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan mendapat bimbingan Allah l. Kesalahan, keburukan , atau kekurangan penguasa, tidaklah serta-merta dijadikan amunisi untuk menjatuhkan kewibawaannya.
Walhasil, reformasi berikut propagandanya seperti demokrasi, kebebasan, keterbukaan, bukanlah segala-galanya. Apalagi menjadi solusi total keterpurukan bangsa ini. Tanpa mengenal Islam kita hanyalah orang bodoh yang cuma larut dalam eforia reformasi yang karut-marut serta menyesatkan.
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 060
Tidak ada komentar:
Posting Komentar