HUKUM NIKAH SIRI (Nikah Di Bawah Tangan)
------------------------------------------------------------------------------------------------
HUKUM NIKAH SIRI (Nikah Di Bawah Tangan)
As salamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Tanya:
Teman saya (wanita) saat ini ada di luar negri menemui teman online nya tanpa sepengetahuan orangtuanya. Setelah mereka bertemu mereka memutuskan untuk menikah. masalahnya dia belum di izin kan orang tuanya buat menikah jadi dia enggan menghubungi orangtunya dan orangtuanya juga jarang shalat (bahkan dalam setahun mungkin tidak pernah shalat). jadi dia berencana menghubungi saudara laki2nya untuk memberikan nya izin buat menikah. dia bertanya sama saya seandainya dia tidak di izin kan saudara laki2 nya bolehkah dia meminta wali hakim untuk menjadi walinya. karena ini sangat mendesak.
Tolong di jawab segera. karena mereka berencana menikah besok. dan dia sangat menantikan jawabannya
Sukran
Wasalam mualaikum warahmatullahi wabarakatuh
yunitaidrus
Jawaban Al-Ustadz Abu Zakariya Rishky
Wa ‘alaikum salam.
Sebagai pelengkap jawaban tentang nikah siri, …
Nikah siri dalam persepsi yang tersebar di masyarakat terdapat beberapa gambaran:
1. Pernikahan laki-laki dan wanita dibawah tangan, yaitu tanpa adanya pencatatan resmi di lembaga resmi yang menangani pernikahan.
2. Pernikahan yang diadakan tanpa adanya wali pihak wanita.
Kaitannya dengan pernikahan siri, dalam penafsiran yang kedua, yaitu pernikahan yang hanya dilangsungkan oleh kedua belah pihak, tanpa adanya wali dari pihak wanita, maka pernikahan tersebut batal dan tidak sah.
Seperti yang telah disebutkan dari kutipan jawaban sebelumnya bahwa syarat pernikahan diantaranya adanya, wali bagi pihak wanita. Diantara dalilnya yang paling tegas, adalah hadits Aisyah, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Wanita siapa saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batil –tiga kali-. Dan jika dia telah menggauli wanita tersebut, maka diharuskan untuk menyerahkan mahar atas kemaluan wanita yang telah dihalalkannya, dan jikalu mereka saling bersilang sengketa maka sultan aadalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan selainnya. Dishahihkan oleh al-Albani didalam al-Irwa`.
Dan juga hadits Abu Musa al-Asy’ari dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau besabda, “Tidak sah pernikahan tanpa adanya wali.”
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim dan selain mereka. Al-Bukhari at-Tirmidzi menshahihkan riwayat hadits ini secara maushul/bersambung-. Demikian juga al-Albani menshahihkannya didalam al-Irwa` dengan beberapa riwayat penguat.
Ibnul-Mundzir menyebutkan tidak adanya perbedaan pendapat dikalangan sahabat dalam masalah itu.
Wali bagi wanita adalah kerabat al-‘ashabah (kerabat dari nasab laki-laki) yang terdekat dari sisi nasab, kemudian dari sisi sebab kemudian ashabah mereka selanjutnya. Adapun dari kerabat ibu tidak berhak sebagai wali wanita. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Jika si wanita menikah dengan menjadikan kakaknya sebagai wali, pernikahan tersebut sah adanya jika orang tua pihak mengabaikan/melepaskan hak perwaliannya atau menyerahkannya hak perwaliannya kepada kakak si wanita. Namun jika si wanita menikah dengan wali kakaknya atau saudaranya yang lain, tanpa penyerahan hak perwalian dari bapaknya yang masih hidup, wallahu a’lam bish-shawab, pernikahan tersebut tidaklah sah. Pendapat ini sebagaimana yang difatwakan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh didalam al-Fatawa wa ar-Rasaail 10/113.
Sementara pernikahan di bawah tangan/siri, dalam penafsiran yang pertama, jika syarat-syaratnya terpenuhi pernikahan tersebut sah. Hanya saja, apabila pemerintahan muslim yang bersangkutan mengharuskan adanya pencatatan resmi pada lembaga yang ditunjuk, haruslah untuk mematuhinya. Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi fitnah dan mudharat bagi kedua pasangan yang menikah, juga untuk memastikan hak-hak suami maupun istri baik secara hukum syara` dan agar berada dibawah perlindungan pemerintah yang bersangkutan.
Wallahu a’lam bish-shwab
Abu Zakariya Rishky
* * *
SUMBER : milinglist nashihah@yahoogroups.com versi offline dikumpulkan kembali oleh dr.Abu Hana untuk http://kaahil.wordpress.com
------------------------------------------------------------------------------------------------
HUKUM NIKAH SIRI (Nikah Di Bawah Tangan)
As salamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Tanya:
Teman saya (wanita) saat ini ada di luar negri menemui teman online nya tanpa sepengetahuan orangtuanya. Setelah mereka bertemu mereka memutuskan untuk menikah. masalahnya dia belum di izin kan orang tuanya buat menikah jadi dia enggan menghubungi orangtunya dan orangtuanya juga jarang shalat (bahkan dalam setahun mungkin tidak pernah shalat). jadi dia berencana menghubungi saudara laki2nya untuk memberikan nya izin buat menikah. dia bertanya sama saya seandainya dia tidak di izin kan saudara laki2 nya bolehkah dia meminta wali hakim untuk menjadi walinya. karena ini sangat mendesak.
Tolong di jawab segera. karena mereka berencana menikah besok. dan dia sangat menantikan jawabannya
Sukran
Wasalam mualaikum warahmatullahi wabarakatuh
yunitaidrus
Jawaban Al-Ustadz Abu Zakariya Rishky
Wa ‘alaikum salam.
Sebagai pelengkap jawaban tentang nikah siri, …
Nikah siri dalam persepsi yang tersebar di masyarakat terdapat beberapa gambaran:
1. Pernikahan laki-laki dan wanita dibawah tangan, yaitu tanpa adanya pencatatan resmi di lembaga resmi yang menangani pernikahan.
2. Pernikahan yang diadakan tanpa adanya wali pihak wanita.
Kaitannya dengan pernikahan siri, dalam penafsiran yang kedua, yaitu pernikahan yang hanya dilangsungkan oleh kedua belah pihak, tanpa adanya wali dari pihak wanita, maka pernikahan tersebut batal dan tidak sah.
Seperti yang telah disebutkan dari kutipan jawaban sebelumnya bahwa syarat pernikahan diantaranya adanya, wali bagi pihak wanita. Diantara dalilnya yang paling tegas, adalah hadits Aisyah, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Wanita siapa saja yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batil –tiga kali-. Dan jika dia telah menggauli wanita tersebut, maka diharuskan untuk menyerahkan mahar atas kemaluan wanita yang telah dihalalkannya, dan jikalu mereka saling bersilang sengketa maka sultan aadalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan selainnya. Dishahihkan oleh al-Albani didalam al-Irwa`.
Dan juga hadits Abu Musa al-Asy’ari dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau besabda, “Tidak sah pernikahan tanpa adanya wali.”
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Hakim dan selain mereka. Al-Bukhari at-Tirmidzi menshahihkan riwayat hadits ini secara maushul/bersambung-. Demikian juga al-Albani menshahihkannya didalam al-Irwa` dengan beberapa riwayat penguat.
Ibnul-Mundzir menyebutkan tidak adanya perbedaan pendapat dikalangan sahabat dalam masalah itu.
Wali bagi wanita adalah kerabat al-‘ashabah (kerabat dari nasab laki-laki) yang terdekat dari sisi nasab, kemudian dari sisi sebab kemudian ashabah mereka selanjutnya. Adapun dari kerabat ibu tidak berhak sebagai wali wanita. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Jika si wanita menikah dengan menjadikan kakaknya sebagai wali, pernikahan tersebut sah adanya jika orang tua pihak mengabaikan/melepaskan hak perwaliannya atau menyerahkannya hak perwaliannya kepada kakak si wanita. Namun jika si wanita menikah dengan wali kakaknya atau saudaranya yang lain, tanpa penyerahan hak perwalian dari bapaknya yang masih hidup, wallahu a’lam bish-shawab, pernikahan tersebut tidaklah sah. Pendapat ini sebagaimana yang difatwakan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh didalam al-Fatawa wa ar-Rasaail 10/113.
Sementara pernikahan di bawah tangan/siri, dalam penafsiran yang pertama, jika syarat-syaratnya terpenuhi pernikahan tersebut sah. Hanya saja, apabila pemerintahan muslim yang bersangkutan mengharuskan adanya pencatatan resmi pada lembaga yang ditunjuk, haruslah untuk mematuhinya. Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi fitnah dan mudharat bagi kedua pasangan yang menikah, juga untuk memastikan hak-hak suami maupun istri baik secara hukum syara` dan agar berada dibawah perlindungan pemerintah yang bersangkutan.
Wallahu a’lam bish-shwab
Abu Zakariya Rishky
* * *
SUMBER : milinglist nashihah@yahoogroups.com versi offline dikumpulkan kembali oleh dr.Abu Hana untuk http://kaahil.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar