Penjelasan Hadits Arbain Imam An Nawawi Kelima: Kemungkaran dan Kebid’ahan
---------------------------------------------------------------------------------------
Oleh: Asy Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin
عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. [رواه البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ]
Dari Ummul Mu’minin Ummu ‘Abdillah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan kami ini perkara yang tidak ada asalnya, maka hal itu tertolak.” [1] (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Muslim: “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami, maka amalan itu tertolak.” [9].
Penjelasan:
Tentang hadits ini, para ulama mengatakan: Hadits ini merupakan timbangan-timbangan amalan yang zhahir (nampak), sedangkan hadits Umar yang telah disebutkan di awal buku ini, yaitu: “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung dari niatnya”, adalah timbangan amalan yang bathin, karena setiap amalan memiliki niat dan bentuk. Bentuk inilah yang disebut dengan amalan zhahir, sedangkan niat adalah amalan yang sifatnya bathin.
Hadits ini mengandung beberapa faedah:
•Orang yang mengada-adakan dalam urusan ini –yakni Islam- perkara-perkara yang tidak ada asalnya, maka amalan itu tertolak, walaupun pelakunya memiliki niatan yang baik. Berdasarkan prinsip ini, maka segenap bid’ah adalah tertolak dari pelakunya kendati ia memiliki niatan yang baik.
•Barangsiapa mengerjakan suatu amalan sekalipun pada asalnya disyari’atkan, akan tetapi amalan tersebut tidak dilakukan sesuai dengan cara-cara yang telah diperintahkan, maka amalan itu tertolak, berdasarkan riwayat kedua yang telah diriwayatkan oleh Muslim di atas.
Atas dasar ini, maka barangsiapa melakukan jual beli dengan cara yang diharamkan, maka jual beli tersebut bathil, dan barangsiapa yang melakukan shalat tathawwu’ (sunnah) pada waktu yang terlarang tanpa adanya suatu sebab, maka shalatnya bathil. Dan barangsiapa berpuasa pada hari raya (‘Iedul fitri / ‘Iedul adha), maka puasanya bathil. Demikianlah seterusnya. Karena semua amalan tersebut tidak sesuai dengan perintah Allah dan rasul-Nya, sehingga amalan tersebut tertolak.
Catatan kaki:
[1] Shahih dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam (Ash Shulh/2697/Fath). Dan di dalam (Al Aqdliyah/1718/17/Abdul Baqi)
[2] Shahih dikeluarkan oleh Muslim (Al Aqdliyah/1718/18/Abdul Baqi). Al Bukhari secara ta’liq (13/hal 329/Fath) cetakan As Salafiyyah.
(Dinukil untuk Blog Ulama Sunnah dari Syarah Arbain An Nawawiyah oleh Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, penerjemah Abu Abdillah Salim, Penerbit Pustaka Ar Rayyan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar