Nasehat
Untuk Para Muslimah (Bagian 2)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Syaikh Jamal Al Haritsi Hafizhahullah
(Bagian 2)
Menjadi istri shalihah yang berbakti kepada
suaminya
Kepada setiap wanita yang sudah bersuami, atau yang
sedang akan membina rumah tangga, aku katakan: hendaknya engkau mengetahui hak
suamimu dan hak orangtuamu dan janganlah engkau mencampuradukkan dua kewajiban
tersebut. Karena terhadap masing-masing dari suami dan orangtua, ada kewajbannya
sendiri- sendiri. Dan hak suami itu lebih wajib. Rasulullah Shallallahu'alaihi
wasallam bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ
لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةََ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ
حَقَّ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا
عَلَيْهَا كُلَّهَا حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ قَتَبٍ
لَأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ
“Seandainya
aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku
perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya. Dan tidaklah seorang
istri dapat menunaikan seluruh hak Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadapnya hingga
ia menunaikan seluruh hak suaminya. Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya
(mengajaknya jima’) sementara ia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di
atas unta) maka ia harus memberikannya (tidak boleh menolak).” (Dikeluarkan oleh
Imam Ahmad dan yang lain dengan lafazh yang mirip. Dan dishahihkan oleh Syaikh
al Albani dalam Ash Shohiihah 1203)
Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam juga
bersabda:
لو سالت منخراه دما وقيحا وصديدا فلحسته بلسانها ما أدت
حقه لو كان ينبغي لبشر أن يسجد لبشر لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها إذا دخل عليها لما
فضله الله عليها
“Kalau saja
kedua lubang hidung suaminya mengeluarkan darah dan nanah, kemudian ia jilati
dengan lidahnya, ia belumlah memenuhi hak suaminya itu. Kalau saja seorang
manusia pantas bersujud kepada seorang manusia lain, maka aku akan menyuruh para
wanita untuk bersujud kepada suami mereka ketika para suami itu masuk mendatangi
mereka karena keutamaan yang telah Allah Subhanahu wata'ala berikan kepada para
suami di atas para istri..” (Dikeluarkan oleh Al Hakim dan yang lain. Ia
berkata: isnadnya shahih namun tidak dikeluarkan oleh Bukhari dan
Muslim)
Maka kalau engkau sudah mengetahui dan meyakini
kewajiban yang harus engkau jalani terhadap suamimu, wahai muslimah, maka
hendaknya engkau berusaha mendapatkan keridhoannya dengan berbagai macam cara.
Kalau dari satu cara tidak bisa, maka coba cara kreatif yang lain untuk
membuatnya senang dan gembira. Kalau ia merasakan kenyamanan di rumah setelah
letih dan lelah di luar rumah, maka itu akan bermanfaat juga
untukmu.
Dan jadilah untuknya sebagaimana seorang wanita shalihah
yang memanjakan suaminya, yang meringankan bebannya ketika menghadapi kerasnya
kehidupan, yang memperhatikan kesukaan-kesukaannya kemudian mewujudkannya, dan
memudahkan kesulitan-kesulitannya walaupun dengan mengorbankan dirinya sendiri.
Wanita itu tidak lain adalah ummul mukminiin, Khadijah bintu Khuwailid
Radhiallahu'anha. Beliau adalah sebaik-baik istri bagi Rasulullah
Shallallahu'alaihi wasallam sebelum bi’tsah, dan seorang penolong pada masa
tahannutsnya di gua hira. Kemudian seorang wanita yang menghiburnya dan
menenangkan kekhawatirannya pada saat datangnya wahyu.
Suatu hari, setelah menerima wahyu yang
pertama:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي
خَلَقَ
“Bacalah
dengan Nama Rabbmu yang telah menciptakan.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang ke rumah
dengan hati yang bergetar untuk menemui istrinya Khadijah bintu Khuwailid
radhiyallahu ‘anha.
زَمِّلُوْنِي، زَمِّلُوْنِي
“Selimuti aku,
selimuti aku!” pinta beliau. Khadijah pun menyelimuti suaminya hingga hilang
rasa takut beliau. Disampaikanlah kisah kepada Khadijah Radhiyallahu ‘anha
termasuk apa yang beliau rasakan:
لَقَدْ خَشِيْتُ عَلَى نَفْسِيْ
“Sungguh aku
mengkhawatirkan diriku (akan binasa).”
Khadijah Radhiyallahu ‘anha pun menghibur suaminya yang
mulia:
كَلاَّ وَاللهِ، مَا يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا، إِنَّكَ
لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ، وَتَكْسِبُ الْـمَعْدُوْمَ، وَتَقْرِي
الضَّيْفَ، وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ
“Tidak demi
Allah! Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Engkau seorang yang
menyambung silaturahim, menanggung orang yang lemah, memberi
kecukupan/kemanfaatan pada orang yang tidak berpunya, suka menjamu tamu, dan
menolong kejadian yang haq.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim)
Perhatikanlah kata-kata indah yang keluar dari lentera
keshalihan, kesucian, kebersihan dan ketakwaan ini. Sehingga kata-kata itu
memiliki pengaruh yang besar dalam menenangkan rasa takut dalam qalbu seorang
baginda para anak cucu Adam Shallallahu'alaihi wasallam. Hendaknya, Khadijah dan
ummul mukminin yang lain menjadi teladan untuk kalian.
Dan jadilah seperti Zainab bintu Jarir, salah seorang
wanita Bani Hanzhalah dari Bani Tamim. Dari al Haitsam bin ‘Adiy ath Thoo`iy, ia
berkata: Mujaalid bercerita kepada kami dari asy Sya’biy, ia berkata: Syuraih
berkata kepadaku: Wahai Sya’biy! Hendaknya engkau menikahi wanita-wanita Bani
Tamim karena aku melihat mereka itu cerdas-cerdas.
Sya’biy berkata: apa kecerdasaan mereka yang kamu lihat?
Ia berkata: “Aku pernah tiba dari mengantar jenazah pada suatu siang. Dan aku melewati pemukiman Bani Tamim. Tiba-tiba aku melihat seorang nenek di pintu rumahnya berdampingan dengan seorang gadis cantik jelita. Maka aku berbelok dan meminta minum, padahal aku sedang tidak haus.
Gadis itu bertanya: “Minuman apa yang kamu suka?”
Aku berkata: “Yang ada saja..”.
Nenek itu berkata: “Berikan dia susu. Kelihatannya dia orang asing”.
Aku bertanya: “Siapa gadis ini?”
Nenek itu bilang: “Dia Zainab bintu Jarir, salah seorang wanita Bani Hanzhalah”.
Aku bertanya: “Masih sendiri atau sudah bersuami?”
Nenek itu menjawab: “Dia masih sendiri”.
Aku berkata: “Nikahkanlah aku dengannya”.
Nenek itu berkata: “Kalau kamu sepadan dengannya”. (sepadan: kufu`an, bukan kufuwan, ini adalah bahasa Bani Tamim).
Sya’biy berkata: apa kecerdasaan mereka yang kamu lihat?
Ia berkata: “Aku pernah tiba dari mengantar jenazah pada suatu siang. Dan aku melewati pemukiman Bani Tamim. Tiba-tiba aku melihat seorang nenek di pintu rumahnya berdampingan dengan seorang gadis cantik jelita. Maka aku berbelok dan meminta minum, padahal aku sedang tidak haus.
Gadis itu bertanya: “Minuman apa yang kamu suka?”
Aku berkata: “Yang ada saja..”.
Nenek itu berkata: “Berikan dia susu. Kelihatannya dia orang asing”.
Aku bertanya: “Siapa gadis ini?”
Nenek itu bilang: “Dia Zainab bintu Jarir, salah seorang wanita Bani Hanzhalah”.
Aku bertanya: “Masih sendiri atau sudah bersuami?”
Nenek itu menjawab: “Dia masih sendiri”.
Aku berkata: “Nikahkanlah aku dengannya”.
Nenek itu berkata: “Kalau kamu sepadan dengannya”. (sepadan: kufu`an, bukan kufuwan, ini adalah bahasa Bani Tamim).
Lalu aku pulang ke rumah dan bergegas untuk tidur siang.
Tapi aku tidak bisa tidur. Setelah sholat Zhuhur, aku mengajak saudara-saudaraku
para qurroo` (pembaca Al Quran) yang terhormat: ‘Alqomah, al Aswad, al Musayyib
dan Musa bin ‘Arfathoh. Kemudian aku pergi menemui paman gadis itu. Dia
menyambut dan berkata: “Wahai Abu Umayyah, apa keperluanmu?”
Aku berkata: “Zainab, keponakanmu”.
Ia berkata: “Zaenab tidak punya rasa tidak suka kepadamu”. Maka ia pun menikahkanku dengan Zaenab. Setelah Zainab berada dalam ikatanku, aku menyesal. Aku berkata: “Apa yang sudah aku lakukan dengan wanita Bani Tamim?” Dan aku teringat dengan kasarnya hati mereka. Lalu aku bilang: “Aku akan menceraikannya”. Namun kemudian aku berkata: “Tidak, aku akan hidup dengannya. Kalau aku mendapatkan yang aku suka, aku akan terus hidup dengannya. Tapi kalau tidak, aku akan menceraikannya”.
Aku berkata: “Zainab, keponakanmu”.
Ia berkata: “Zaenab tidak punya rasa tidak suka kepadamu”. Maka ia pun menikahkanku dengan Zaenab. Setelah Zainab berada dalam ikatanku, aku menyesal. Aku berkata: “Apa yang sudah aku lakukan dengan wanita Bani Tamim?” Dan aku teringat dengan kasarnya hati mereka. Lalu aku bilang: “Aku akan menceraikannya”. Namun kemudian aku berkata: “Tidak, aku akan hidup dengannya. Kalau aku mendapatkan yang aku suka, aku akan terus hidup dengannya. Tapi kalau tidak, aku akan menceraikannya”.
Maka kalau saja kamu melihat aku, wahai Sya’biy, ketika
para wanita Bani Tamim itu datang mengiringi Zaenab sampai ia diantarkan masuk
kepadaku.
Lalu aku berkata: “Termasuk hal yang sunnah, kalau
seorang wanita masuk mendatangi suaminya, si suami sholat dua roka’at kemudian
berdoa kepada Allah Subhanahu wata'ala meminta kebaikan istrinya dan berlindung
dari keburukan istrinya”. Maka aku sholat dan aku akhiri dengan salam. Ternyata,
Zainab ada di belakangku mengikuti sholatku. Setelah selesai sholat, beberapa
perempuan datang mengambil pakaianku dan memberikan sebuah selimut yang sudah
dicelup dengan endapan ‘ushfur (sejenis tumbuhan yang wangi).
Setelah rumah menjadi kosong, aku mendekatinya. Dan aku
julurkan tangan ke arahnya. Namun ia berkata: “Nanti dulu wahai abu umayyah.
Diamlah di tempatmu!” Lalu ia berkata: “Segala puji bagi Allah, aku memuji-Nya
dan aku memohon pertolongan kepada-Nya. Kemudian aku bersholawat kepada Muhammad
dan keluarganya. Sesungguhnya aku adalah seorang gadis asing yang tidak
mengetahui sifat dan perilakumu. Maka terangkanlah kepadaku apa yang kamu suka
maka akan aku kerjakan, dan apa yang kamu tidak suka maka akan aku
tinggalkan.
Lalu ia berkata: “Sesungguhnya di kaummu sudah diadakan perayaan pernikahan, dan di kaumku juga begitu. Akan tetapi kalau Allah Subhanahu wata'ala menentukan sesuatu, pasti itu akan terjadi. Dan kini aku sudah menjadi milikmu. Maka perbuatlah apa yang telah Allah Subhanahu wata'ala perintahkan. Yaitu menahan secara ma’ruf atau menceraikan dengan baik. Aquulu qowlii haadzaa wa astaghfirullaaha lii wa laka (aku katakan perkataanku ini dan aku mohonkan ampun kepada Allah Subhanahu wata'ala untuk diriku dan dirimu) (ini adalah perkataan yang biasanya menjadi khotimah sebuah khutbah -pent).
Lalu ia berkata: “Sesungguhnya di kaummu sudah diadakan perayaan pernikahan, dan di kaumku juga begitu. Akan tetapi kalau Allah Subhanahu wata'ala menentukan sesuatu, pasti itu akan terjadi. Dan kini aku sudah menjadi milikmu. Maka perbuatlah apa yang telah Allah Subhanahu wata'ala perintahkan. Yaitu menahan secara ma’ruf atau menceraikan dengan baik. Aquulu qowlii haadzaa wa astaghfirullaaha lii wa laka (aku katakan perkataanku ini dan aku mohonkan ampun kepada Allah Subhanahu wata'ala untuk diriku dan dirimu) (ini adalah perkataan yang biasanya menjadi khotimah sebuah khutbah -pent).
Syuroih berkata: “Demi Allah, wahai Sya’biy, Zainab
membuatku perlu memberikan khutbah di waktu seperti itu”. Maka aku katakan:
“Segala puji bagi Allah. Aku memuji-Nya dan aku memohon pertolongan-Nya. Dan aku
bersholawat dan bersalam kepada Rasulullah dan keluarganya. Wa ba’du.
Sesungguhnya engkau sudah mengatakan sebuah perkataan yang kalau engkau
berkomitmen dengannya, engkau akan mendapatkan balasan yang besar. Tapi kalau
engkau hanya sekedar mengada- ada, maka perkataan itu akan menjadi bukti yang
memberatkanmu. Aku suka begini dan aku tidak suka begitu ketika kita sedang
bersama-sama, maka janganlah engkau pergi begitu saja. Dan apa yang kamu lihat
baik, sebarkan. Sedang apa yang kamu lihat buruk, tutupi”.
Lalu Zaenab mengatakan hal yang tidak aku ingat. “Apakah
kamu menyukai berkunjung ke keluarga?”
Aku berkata: “Aku tidak suka dijemukan dengan ipar-iparku”.
Ia berkata: “Siapa tetangga yang kamu sukai untuk masuk ke rumahmu, sehingga aku akan mengizinkan mereka masuk dan siapa juga yang tidak kamu sukai sehigga aku juga tidak menyukai mereka?”
Aku berkata: “Bani Fulan itu orang-orang baik. Sedang bani fulan itu orang-orang buruk”.
Syuroih berkata: “Maka waktu itu aku bermalam dengan malam yang paling nikmat, wahai Sya’biy. Dan Zainab tinggal bersamaku selama satu tahun, tidak pernah aku lihat kecuali yang aku suka.
Aku berkata: “Aku tidak suka dijemukan dengan ipar-iparku”.
Ia berkata: “Siapa tetangga yang kamu sukai untuk masuk ke rumahmu, sehingga aku akan mengizinkan mereka masuk dan siapa juga yang tidak kamu sukai sehigga aku juga tidak menyukai mereka?”
Aku berkata: “Bani Fulan itu orang-orang baik. Sedang bani fulan itu orang-orang buruk”.
Syuroih berkata: “Maka waktu itu aku bermalam dengan malam yang paling nikmat, wahai Sya’biy. Dan Zainab tinggal bersamaku selama satu tahun, tidak pernah aku lihat kecuali yang aku suka.
Pada awal tahun berikutnya, aku datang dari sebuah
majlis pengadilan. Tiba-tiba ada seorang nenek yang menyuruh begini dan melarang
begitu di dalam rumah. Aku bertanya: “Siapa ini?”
Mereka berkata: “Fulanah, mertua kamu”. Maka hilanglah perasaan janggal dalam hatiku. Setelah aku duduk, nenek itu mendatangiku dan berkata: “Assalamu’alaika, wahai abu umayyah!”
Aku berkata: “Wa’alaikissalaam. Siapa engkau?”
Dia berkata: “Aku fulanah, mertuamu”.
Aku berkata: “Semoga Allah Subhanahu wata'ala mendekatkanmu kepada-Nya”.
Dia berkata: “Bagaimana pandanganmu terhadap istrimu?”.
Aku katakan: “Sebaik-baik istri”.
Ia berkata padaku: “Wahai Abu Umayyah! Sesungguhnya seorang perempuan tidak akan menjadi lebih buruk dari si Zainab itu dalam dua keadaan: kalau ia melahirkan seorang anak laki-laki atau ia memiliki kedudukan di sisi suaminya. Maka kalau ada sesuatu yang membuatmu ragu, pakai saja cemeti. Demi Allah, tidak ada sesuatu yang didapatkan oleh seorang pria di rumahnya yang lebih buruk dari seorang istri yang manja”.
Aku berkata: “Demi Allah, engkau benar-benar sudah mendidik dengan pendidikan yang baik. Dan sudah melatih dengan pelatihan yang baik”.
Ia berkata: “Apakah kamu suka kalau para mertuamu datang berkunjung?”.
Aku berkata: “Kapan saja mereka mau”.
Syuroih berkata: maka nenek itu terus mendatangiku setiap awal tahun dengan memberiku wasiat yang sama.
Mereka berkata: “Fulanah, mertua kamu”. Maka hilanglah perasaan janggal dalam hatiku. Setelah aku duduk, nenek itu mendatangiku dan berkata: “Assalamu’alaika, wahai abu umayyah!”
Aku berkata: “Wa’alaikissalaam. Siapa engkau?”
Dia berkata: “Aku fulanah, mertuamu”.
Aku berkata: “Semoga Allah Subhanahu wata'ala mendekatkanmu kepada-Nya”.
Dia berkata: “Bagaimana pandanganmu terhadap istrimu?”.
Aku katakan: “Sebaik-baik istri”.
Ia berkata padaku: “Wahai Abu Umayyah! Sesungguhnya seorang perempuan tidak akan menjadi lebih buruk dari si Zainab itu dalam dua keadaan: kalau ia melahirkan seorang anak laki-laki atau ia memiliki kedudukan di sisi suaminya. Maka kalau ada sesuatu yang membuatmu ragu, pakai saja cemeti. Demi Allah, tidak ada sesuatu yang didapatkan oleh seorang pria di rumahnya yang lebih buruk dari seorang istri yang manja”.
Aku berkata: “Demi Allah, engkau benar-benar sudah mendidik dengan pendidikan yang baik. Dan sudah melatih dengan pelatihan yang baik”.
Ia berkata: “Apakah kamu suka kalau para mertuamu datang berkunjung?”.
Aku berkata: “Kapan saja mereka mau”.
Syuroih berkata: maka nenek itu terus mendatangiku setiap awal tahun dengan memberiku wasiat yang sama.
Zainab pun tinggal bersamaku selama dua puluh tahun,
tidak pernah aku menegurnya dalam satu perkarapun kecuali sekali saja dan aku
telah berbuat aniaya terhadapnya.
(Ketika itu -pent) muadzdzin sudah mengumandangkan iqomah setelah aku sholat dua rakaat fajar. Dan aku adalah imam sholat di kampung tersebut. Tiba-tiba ada seekor kalajengking merayap. Maka aku ambil sebuah wadah dan aku telungkupkan wadah itu di atasnya kemudian aku katakan: “Wahai Zainab, jangan bergerak sampai aku datang”. Kalau saja engkau melihatku wahai Sya’biy, setelah aku sholat dan pulang, tahu-tahu aku sudah di dekat kalajengking yang sudah menyengat Zainab. Lalu aku meminta as saktu dan garam kemudian aku rendam jarinya dan aku membacakannya surat al fatihah dan al mu’awwidzatain.
(Ketika itu -pent) muadzdzin sudah mengumandangkan iqomah setelah aku sholat dua rakaat fajar. Dan aku adalah imam sholat di kampung tersebut. Tiba-tiba ada seekor kalajengking merayap. Maka aku ambil sebuah wadah dan aku telungkupkan wadah itu di atasnya kemudian aku katakan: “Wahai Zainab, jangan bergerak sampai aku datang”. Kalau saja engkau melihatku wahai Sya’biy, setelah aku sholat dan pulang, tahu-tahu aku sudah di dekat kalajengking yang sudah menyengat Zainab. Lalu aku meminta as saktu dan garam kemudian aku rendam jarinya dan aku membacakannya surat al fatihah dan al mu’awwidzatain.
Kisah ini dikeluarkan oleh Ibnu Abdi Robbih al Andalusiy
dalam kitabnya “thobaa`i’un nisaa`”, dan disebutkan pula oleh Abul Fath al
Ibsyiihiy dalam kitabnya “al Mustathrof”.
Bersambung... insya Allah
[Dinukil dari risalah Nashaih Syaikh Jamal Al Haritsi
lil Akhwatis Salafiyat. Diterjemahkan oleh redaksi http://akhwat.web.id dari
tautan: http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=335750]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar