Radio Muwahiddin

Selasa, 30 September 2014

BALADA ANAK KULIAH


Malam semakin larut. Di sebuah warung bakmi di Kota Solo. Warung itu memang terkenal, kata orang-orang. Sudah hampir empat puluh tahun warung itu di buka. Kini, generasi ketiga dari keluarga si Mbahyang meneruskan usaha tersebut.
Menurut cerita sang peracik bumbu, warung tersebut juga langganan beberapa pejabat. Tidak sedikit pula pejabat dari ibukota yang pernah merasakan lezatnya bakmi Jowo di warung itu.“Lulusan apa,Mas?”, Ana mencoba bertanya untuk mencairkan suasana. “Saya ini orang bodoh, Mas. Sekolah saja pas-pasan, apalagi mau kuliah. Orang sekolah dan kuliah kan tujuannya cari pekerjaan. Biar bisa makan. 
Sementara saya dan keluarga besar saya, sejak lahir sudah ditunggu pekerjaan. Ya ini, mengelola warung bakmi.” Kurang lebih seperti itulah makna ketika cucu si Mbah itu menjawab.
Luar biasa! Orang awam semacam dia ternyata berpikirnya dibuat simpel!, sederhana sekali!

Betul juga! Orang sekolah dan kuliah, apa sih tujuannya? Ingin pintar? Kenyataannya malah berbalik 180°. Di lapangan kerja, seorang tukang bangunan ternyata lebih berpengalaman dibandingkan seorang insinyur, lulusan perguruan tinggi ternama.

Seorang dokter yang baru saja lulus masih nampak gugup dan bingung ketika menghadapi pasien yang lumayan parah. Akhirnya ? Bertanyalah si dokter kepada seorang perawat yang rambutnya sudah mulai memutih.

Ternyata pengalaman masih mengalahkan segala-galanya.

Akhi fillah, baarakallahu fiik.

Kepintaran itu bisa diperoleh dengan banyak cara. Sekolah dan kuliah bukanlah satu-satunya cara untuk pintar. Orang-orang yang sukses di sekitar kita banyak yang hanya lulusan sekolah pas-pasan.




Seorang saudara yang membuka bengkel ternyata semakin pesat perkembangannya. Padahal, ia hanya lulusan SMP. Tetapi, memang sejak kecil dia sudah sering di bengkel.

Bandingkan dengan seorang yang lain! Lulusan perguruan tinggi dengan title sarjana teknik jurusan otomotif. Rencana untuk membuka bengkel sudah bertahun-tahun dipunya. Tetapi belum terwujud juga.

Kenapa? Alasannya modal kurang, lokasi nggak pas, masih nunggu ini atau itu dan seterusnya. Terlalu jlimet! Mau kerja kok susah!

Akhi fillah, baarakallahu fiik.

Secara kacamata duniawi saja, sudah semakin banyak tokoh masyarakat dan bangsa yang mengkritisi sistem pendidikan di negeri kita. Sampai-sampai ada slogan yang muncul : “Kalau pengen kaya, ngapain kuliah?”

Kurikulum tidak pernah pasti, selalu berubah-ubah. Bayangkan saja! Sejak Indonesia merdeka sudah berapa kali kurikulum pendidikan diubah? Antum lebih tau jawabannya, tentu.

Berapa tahun dihabiskan? Berapa besar biaya yang dikeluarkan?

Hasilnya? Lahir generasi yang tidak memiliki karakter! Kepribadiannya hilang, Tawuran, korupsi, penipuan, pengangguran dan seterusnya adalah hasil sistem pendidikan yang tidak dibangun di atas pondasi agama.

Kita juga tidak menutup mata, ada juga yang “sukses” dan “berhasil”.

Tetapi dalam bidang apa? Dalam bidang duniawi kan! Apalah arti kesuksesan di bidang duniawi jika secara jiwani sangat rapuh.

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) Akhirat adalah lalai.” (QS. Ar-Ruum [30] : 7 )

Seorang professor dalam bidang kesehatan ternyata menolak untuk menjadi imam shalat berjama’ah. Kenapa? Ia tidak bisa membaca Al Qur’an, kitab sucinya. Astaghfirullah!

Juara Olimpiade Matematika ternyata kelabakan dan terlihat gelisah ketika ia lupa mengantongi jimat pemberian kakeknya.

Salah satu pejabat negara yang lumayan mentereng posisinya, ternyata selalu menyempatkan diri secara rutin untuk memohon keselamatan kepada seorang Kyai yang sudah lama terkubur di makamnya.

Fulan, Alan, si A, si B dan sis i lainnya, mereka orang-orang yang memiliki prestasi dalam bidang duniawi, akhirnya hanya mendekap di penjara karena perbuatan asusila, korupsi, narkoba dan lain sebagainya.

Akhi fillah, baarakallahu fiik.

Seperti itukah yang Antum inginkan? Bergelimang prestasi namun rapuh jiwa dan ringkih hati! Tenggelam dalam kekayaan materi tetapi dikuasi kikir dan dengki? Bertengger di jabatan tinggi akan tetapi jauh dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rabbnya?

Akhi fillah, baarakallahu fiik.

Ana mohon sangat kepada Antum, baarakallahu fiik. Tolong, jawablah pertanyaan Ana di bawah ini dengan jujur! Buang rasa sombong sejauh-jauhnya! Sekali lagi, jawablah dengan jujur dan hati terbuka!Baarakallahu fiik.

Di bangku sekolah atau kuliah, apakah Antum didik dan diajarkan tentang :
  • Keikhlasan? 
  • Cara menjadi hamba yang baik?
  • Wala’ kepada kaum muslimin dan Bara’ kepada selain muslimin?
  • Menundukkan pandangan dan menjaga kesucian hati? 
  • Tata cara ibadah yang sesuai dengan ajaran Islam?
Ah, sudah pasti jawabannya! Bagaimana mungkin hal itu diajarkan? Berapa jam pelajaran agama diajarkan? 2 jam dalam sepekan atau mungkin lebih. Benarkah cukup?Bagaimana mungkin keikhlasan akan diajarkan? Bukannya malah kita dipecut dan dilecut untuk mengejar prestasi duniawi? Mengumpulkan piala dan selalu merasa bangga jika namanya disebut sebagai sang juara. Berbunga-bunga di hati ketika sanjungan dan pujian datang membanjir karena kita telah berbuat ini dan berbuat itu.
Bagaimana mungkin Wala’ dan Bara’ diajarkan? Bukannya malah kita dikondisikan untuk meyakini bahwa semua agama itu sama?
Kita semua kan makhluk ciptaannya? “Ucapkan selamat hari raya kepada teman non muslim!”, begitu pesan pak dosen.

Bagaimana mungkin pandangan ditundukkan dan hati disucikan? Bukannya malah setiap saat pergaulan siswa-siswi atau mahasiswa-mahasiswi seolah tanpa sekat pembatas? Bagaimana mungkin Antummampu menjaga hati, jika setiap pagi wajah-wajah manis dan cantik selalu melintas di hadapanmu?

Bagaimana mungkin tata cara ibadah yang benar akan diajarkan? Setiap hari Antum dituntut untuk menghapal rumus ini rumus itu, teori A teori B.

Belum lagi harus ikut les ini atau privat itu. Seabreg agenda kampus selalu membayangi langkahmu. Astaghfirullah.

Waktumu habis terbuang, Kawan!

Sungguh, masing-masing kita, kelak pada hari kiamat, akan tetap tegak berdiri.

Telapak kaki kita tidak akan bergeser sampai kita menjawab empat pertanyaan yang akan diajukan. Salah satunya adalah tentang umur :

“Untuk apa umurmu dihabiskan?”

Siapkan saja jawabanmu, Kawan!”

Ibnul Qayyim (dalam Al Jawab Al Kafi hal.167) menjelaskan :
“Hakikat umur manusia adalah waktunya. Waktu adalah sumber kehidupan kekal di dalam kenikmatan yang tiada berujung. Atau sebaliknya, waktu adalah sebab kesempitan hidupnya di dalam siksa yang pedih. Waktu begitu cepat berlalu. Lebih cepat dari pergerakan awan. Waktu yang dihabiskan untuk Allah dan karena Allah, itulah hakikat hidup dan umurnya.

Selain itu, tidak terhitung sebagai bagian dari hidupnya. Walaupun ia berusaha panjang, hidupnya hanyalah seperti kehidupan binatang ternak.
Jika ia menghabiskan waktunya dalam kelalaian, syahwat, angan-angan kosong atau kegiatan terbaiknya tidur atau diam, maka orang semacam ini lebih baik mati daripada tetap hidup.”

Andai saja, Akhi fillah.

Andai saja sederet tahun panjang yang telah kita lalui di bangku sekolah dan kuliah digunakan untuk Thalabul Ilmi, hm … hm … hhmm, Ana  tidak mampu melanjutkan kata-kata lagi.

Alhamdulillah, Allah ‘Azza wa Jalla telah memberikan jalan terang dengan mengenalkan keindahan Thalabul ilmi. Sungguh, alangkah banyak waktu yang terbuang sia-sia! Padahal, di hari Perhitungan Amal kelak, sekolah dan kuliah kita tidak akan membantu. Hanya amalan shalih yang dibangun di atas pondasi ilmu lah yang akan bermanfaat.

“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakan, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya.” (QS. Al-Baqarah [2] : 281 )

“Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat) dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: “Mengapa bumi (jadi begini)?”, pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Rabbmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya. Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Al-Zalzalah [99] : 1-8 ) 

Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami selama ini. Kami telah lelap dalam tidur panjang yang melalaikan. Sungguh banyak waktu yang terbuang begitu saja. Ya Allah, kami mohon agar Engkau memberkahi sisa-sisa umur yang masih kami punya.

Amin ya Rabbal ‘Alamin.

Akhi fillah, baarakallahu fiik.

Satu-satunya alasan yang sering digunakan oleh kita untuk sekolah atau kuliah adalah “dipaksa orangtua.” Benarkah orangtua memaksa?

Benarkah kita “terpaksa”?

Benarkah orang tua memaksa? Barangkali Antum belum pernah berkomunikasi dan menyampaikan niatan Antum untuk Thalabul Ilmi. Bisa jadi orangtua Antum memberi kesempatan untuk memilih jalan hidup, wallahu a’lam. Jika memang ada masalah, cobalah membaca kembali bab Kiat Menaklukan Hati Orangtua.

Benarkah kita “terpaksa” sekolah dan kuliah?

Jangan sampai, Ana tidak ingin berprasangka buruk, jangan sampaiAntum malah menikmati hari-hari kuliah dengan hati riang dan senang. Asyik, bukan? Pagi-pagi sudah mandi dan berhias rapi-rapi. Awas jangan sampai telat masuk kuliah!

Sampai di kampus, wah … ketemu dan bercanda dengan teman-teman.

Cerita ini cerita itu. Lengkap! Sambil nunggu dosen atau jam kuliah berikutnya, nongkrong dulu di warung sana, yuk! Masya Allah, sungguh-sungguh terpaksa!

Benarkah kita “terpaksa” sekolah dan kuliah?

Pertanyaan ini hanya Antum yang bisa menjawab, baarakallahu fiik.
Sampai bertemu kembali dalam jalur Thalabul Ilmi!

[disalin dari buku : “Duri Kelabu”  karya Abu Nasim Mukhtar hal. 185-196, Penerbit : Toobagus Publishing]

Kawan Engkau Pasti Bisa

 Kawan…

Engkau begitu cerdas. Daripada menghafal rumus dan aksioma dalam ilmu matematika, apakah tidak sebaiknya engkau menghafal ayat-ayat suci Al Qur’an? Aku yakin engkau pasti mampu menjadi seorang penghafal Al Qur’an.

Engkau sungguh pintar. Daripada menghafal nama-nama latin tumbuhan lengkap dengan ordo dan familianya, apakah tidak sebaiknya engkau menghafal hadits-hadits Nabi lengkap dengan sanadnya? Aku yakin engkau pasti bisa menjadi seorang penghafal hadits.

Engkau benar-benar pandai. Daripada engkau menghafal vocabulary dan rumus-rumus tense dalam bahasa inggris, apakah tidak sebaiknya engkau menghafal mufradat bahasa arab dan menguasai tata bahasa arab? Aku yakin engkau dapat menjadi seorang ahli nahwu dan sharaf.

Engkau memiliki kekuatan mengingat yang tinggi. Daripada engkau meghafal tahun dan peristiwa yang terjadi dalam lintasan sejarah romawi dan daratan eropa, apakah tidak sebaiknya engkau menghafal tahun dan peristiwa yang terjadi dalam sejarah kehidupan Nabi? Aku yakin engkau mampu menjadi seorang ahli tentang sejarah islam.

Kawan..

Dengan kemampuan, kecerdasan dan kemauan juga tentu dengan pertolongan dari Allah, aku yakin engkau bisa menjadi seorang pembimbing agama.

[PEMUDA DI WARNA WARNI THALABUL 'ILMI, Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar "Iben" Rifai La Firlaz]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Dipersilakan untuk menyebarluaskan isi dari blog ini untuk kepentingan da'wah, tanpa tujuan komersil dengan menyertakan URL sumber. Jazakumullohu khairan."