Ringkasan Perjuangan Salafiyah
dari al-Imam Rabi’ bin Hadi hafizhahullah
dalam Meruntuhkan Kaidah-Kaidah Bid’ah yang Muncul dari Ali Hasan al-Halabi
(membantu anda mengenali syubhat-syubhat al-Halabi dilengkapi dengan Bantahan terhadapnya secara ringkas)
Ditulis oleh :
Abu ‘Abdil A’la Khalid bin Muhammad bin ‘Utsman al-Mishri hafizhahullah
Segala puji bagi Allah, yang kita
memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan-Nya. Dan kita berlindung
kepada Allah dari kejahatan diri dan buruknya amalan kita. Barang siapa
yang Allah memberinya hidayah maka tidak akan ada yang bisa
menyesatkannya, dan barang siapa yang Allah sesatkan maka tidak ada yang
bisa memberikan petunjuk kepadanya. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang benar selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
﴿يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُم مُّسْلِمُونَ﴾ [آل عمران: 102]
Wahai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan
janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan beragama
Islam.(ali ‘Imran : 102)
﴿يَأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا
رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا
زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ
الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ
رَقِيبًا﴾
Wahai sekalian manusia, bertaqwalah
kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kalian dari seorang diri, dan dari
padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian.(An-Nisa’ : 1)
﴿يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ
أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعِ اللهَ
وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا﴾
Wahai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kalian kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar,
niscaya Allah memperbaiki bagi kalian amalan-amalan kalian dan
mengampuni bagi kalian dosa-dosa kalian. Barangsiapa mentaati Allah dan
Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. (Al-Ahzab: 70-71)
Amma ba’d:
Sebaik-baik pembicaraan adalah Kalamullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad.
Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (dalam bidang agama),
dan semua yang diada-adakan tersebut adalah bid’ah, dan semua bid’ah
adalah sesat.
Wa ba’d :
Ini adalah sebuah ringkasan dari perjuangan-perjuangan as-Salafiyah terpenting dari Syaikhuna al-Imam Rabi’ bin Hadi hafizhahullah dalam menggugurkan prinsip-prinsip bid’ah Ali al-Halabi.
Maka aku katakan : Sungguh nasihat-nasihat Syaikhuna al-Imam Rabi’ hafizhahullah untuk Ali al-Halabi telah disampaikan terus menerus selama kurang lebih sejak 10 tahun yang lalu,
sebagaimana beliau sampaikan kepada kami. Dan as-Syaikh Rabi’ masih
terus bersabar menghadapi Ali al-Halabi, bersabar menghadapi tipu daya
dan makar buruknya selama kurun waktu tersebut, tentunya dengan berharap
agar Ali al-Halabi mau rujuk kepada manhaj yang haq. Namun sangat disayangkan hal itu tidak menambah pada diri al-Halabi kecuali kesombongan dan penentangan!!
Dari sini akan diketahui oleh seorang yang cerdik, bahwa al-Halabi mengikuti hawa nafsunya dan menolak ishlah (perbaikan). Hari demi hari ia semakin menggeluti jalan-jalan para perusak dan penentang, serta menghalangi sabilullah (jalan Allah).
Ketahuilah – semoga Allah merahmati anda
– bahwa Ali al-Halabi merupakan salah satu dari mata rantai dari sebuah
rangkaian panjang, yang masing-masingnya saling menguatkan
pondasi-pondasi kebatilan. Rangkaian tersebut mencakup: Abdurrahmah Abdul Khaliq al-Mishri, Abul Hasan Mushthafa bin Ismail al-Ma’ribi, Adnan Ar-‘ur, dan al-Mighrawi al-Maghribi.
Syaikhuna Rabi’ bin Hadi hafizhahullah telah meringkas pada makalahnya yang indah berjudul: Bayan al-Jahli wa al-Khabal fi Maqaal Hasma as-Sijaal,
yaitu sebuah bantahan atas orang bernama Mukhtar Thayyibawi (pada
halaqah pertama) dengan memaparkan pondasi-pondasi/prinsip-prinsip batil
mereka. Prinsip-prinsip yang mereka saling loyal di atasnya untuk
saling membela sesama mereka:
{وَإِنَّ الظَّالِمِينَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَاللهُ وَلِيُّ الْمُتَّقِينَ}
“dan sesungguhnya orang-orang yang
zhalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan
Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.” (al-Jatsiyyah : 19)
asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah berkata:
“Di antara asas dasar/prinsip dan manhaj mereka yang mengenakan baju
salafiyah untuk memerangi ahlus sunnah adalah:
1. Kita ini membenarkan/meluruskan, bukan mencela/men-jarh: ( نُصَحِّحُ وَلاَ نُجَرِّحُ )
Dengan prinsip/asas dasar ini mereka mengesankan di hadapan manusia bahwa mereka adalah pihak yang sangat menjaga sifat wara‘ dan sikap inshaf (adil/pertengahan). Padahal dengan membuat prinsip ini, mereka telah menyelisihi Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
serta manhaj as-Salaf ash-Shalih yang tegak di atas Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya. Dengan prinsip/asas dasar ini pula mereka telah
meninggalkan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah serta ushul (prinsip-prinsip)nya dalam bidang al-Jarh wa at-Ta’dil
semenjak dimulainya sejarah Ahlul Hadits/Ahlus Sunnah hingga hari ini.
Kitab-kitab mereka (Ahlul Hadits/Ahlus Sunnah) penuh dengan pembahasan al-Jarh wa at-Ta’dil. Juga ada kitab-kitab khusus yang membahas jarh terhadap ahli bid’ah dan selain mereka dari kalangan para pendusta dan orang-orang yang tertuduh sebagai pendusta.
Dengan prinsip ini pula mereka juga
meninggalkan kitab-kitab referensi/rujukan Ahlus Sunnah dalam mengkritik
ahli bid’ah dan menjelaskan (kebatilan) aqidahnya, baik dari kalangan
Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij, Murjiah, Shufiyah, dll. Ahlus Sunnah
mengkritik dan men-jarh sekte-sekte dan banyak para tokoh dari kalangan ahlul bid’ah, terkhusus kalangan para dainya.
2. Di antara ushul (prinsip/asas dasar) mereka adalah:
المنهج الواسع الأفيح (Manhaj yang Luas dan Longgar),
Prinsip/asas dasar ini juga merupakan prinsip yang menentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta manhaj as-Salaf ash-Shalih.
Juga menyelisihi tahdzir (peringatan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari bahaya ahli ahwa, dan hukum yang beliau tetapkan atas perkara muhdats sebagai sejelek-jelek perkara.
Menyelisihi pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ من
قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حتى لو سَلَكُوا جُحْرَ
ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ قُلْنَا يا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ
وَالنَّصَارَى قال فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti sunnah
(kebiasaan/metode) generasi sebelum kalian sejengkal demi sejengkal,
sehasta demi sehasta, hingga walaupun mereka memasuki lubang dhab
pastilah kalian akan memasukinya.” Lalu kami (para sahabat) bertanya: Wahai Rasulullah, apakah yang Anda maksud adalah Yahudi dan Nashara? Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?” [1]
Juga menyelisihi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إن أَهْلَ الْكِتَابَيْنِ
افْتَرَقُوا في دِينِهِمْ على ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وان هذه
الأُمَّةَ سَتَفْتَرِقُ على ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً يعني الأَهْوَاءَ
كُلُّهَا في النَّارِ إلا وَاحِدَةً وهي الْجَمَاعَةُ
“Sesungguhnya dua ahli kitab (Yahudi
dan Nashara) telah berpecah belah dalam agama mereka menjadi 72
golongan. Sedangkan umat ini akan berpecah menjadi 73 golongan, yaitu
(mengikuti) ahwa (hawa nafsu). Semuanya akan masuk neraka kecuali satu
golongan, yaitu al-jama’ah.” [2]
Prinsip Dasar ini, yaitu “Manhaj yang
Luas”, akan mengakomodir seluruh kelompok yang celaka dari sisi
landasannya dan dari sisi praktik nyata kelompok ini.
Sehingga kelompok Ikhwanul Muslimin (IM)
– yang tergabung padanya berbagai kejelekan kelompok-kelompok sempalan –
menurut mereka tetap sebagai ahlus sunnah.
Kelompok Jama’ah Tabligh – yang memasukkan seluruh tarekat dan sekte – menurut mereka tetap sebagai ahlus sunnah.
Sehingga (menurut mereka) mayoritas umat adalah para salafiyun.
Juga para dai penyeru persatuan antar agama, persaudaraan dan kebebasan beragama dari kalangan ahli bid’ah.
Orang yang mencela Nabiyullah Musa, menghina beliau, mencela para shahabat – yang di antaranya adalah ‘Utsman – radhiyallahum, meniadakan sifat-sifat Allah, meyakini hululiyyah (Allah berada/bertempat pada dzat makhluk) dan wihdatul wujud (dzat
Allah dan makhluk menjadi satu kesatuan), serta mengkafirkan umat Islam
dari semenjak awal sejarahnya hingga sekarang, dan berbagai kesesatan
besar lainnya, menurut mereka orang tersebut tidak boleh dibantah dan tidak boleh disebut sebagai sebagai ahli bid’ah.
Sedangkan orang-orang yang membela
Sunnah, Tauhid, membela para nabi, para shahabat, maka menurut para
pemegang prinsip di atas adalah sebagai orang-orang yang ekstrim, kacau,
kalangan rendahan, tercela, nyeleneh. Manhaj ini dinilai (oleh pemegang
manhaj yang lapang-pen) sebagai orang-orang yang memakan (bangkai
saudaranya), para pengintai, kalangan ekstrim, khawarij, taklid kepada
si fulan, dan seterusnya dari sifat-sifat yang tidak akan muncul kecuali
dari jenis golongan ini.
Jika salah seorang dari mereka (para
pemegang prinsip di atas) mengatakan bahwa shahabat sebagai kalangan
yang kacau, maka pernyataan ini tidak dianggapnya sebagai celaan. Mereka
membuat kaidah bahwa lafazh ini, yaitu “kekacauan”, apabila muncul dari
seorang sunni maka tidak dianggap sebagai celaan. Sedangkan orang yang
mengkritik dan menasihatinya (agar tidak mengucapkan kata-kata tersebut
terhadap para shahabat) ternyata tidak selamat dari celaan, cacian, dan
tuduhan-tuduhan.
Sebagian gembong mereka mempersyaratkan
adanya ijma’ agar pernyataan di atas dinilai sebagai celaan. Jika tidak
ada ijma’ maka tidak bisa dinilai sebagai celaan. Sungguh ini hanyalah
bersilat lidah dan filsafat-filsafat picisan.
3. Di antara ushul (prinsip/asas
dasar) mereka untuk menolak al-haq, hujah-hujah, dan bukti-bukti, serta
agar tetap mantap di atas kebatilan adalah prinsip : ( لا تلزمني ) “Janganlah kamu mengharuskan kepadaku (untuk menerima/mengikuti tahdzirmu)”.
Mereka menjadikan prinsip ini sebagai
tameng untuk menolak al-haq. Ketika salah seorang dari mereka
menyelisihi al-haq maka tidak akan pernah rujuk dari penyelisihan ini
meskipun besar. Meskipun sikap dan prinsip mereka sangatlah buruk,
meskipun untuk membela diri atau membela ahli bid’ah dan penyesat umat
dengan cara kebatilan. Meskipun berkonsekuensi pula mencela ahlussunnah
dengan kebatilan dan kedustaan. Juga meskipun ada seorang salafi yang
mendatangkan dalil dan bukti untuk suatu permasalahan. Maka mereka tidak
akan menerimanya, bahkan akan menolaknya dengan tameng ini, yaitu “Kamu
jangan mengharuskan kepadaku”.
4. Di antara prinsip/asas dasar mereka:
إذا حكمت حوكمت وإذا دعوت أُجرت
(jika kamu menghukumi maka kamu akan dihukumi, namun jika kamu hanya berdakwah maka kamu akan mendapat pahala):
Prinsip ini digunakan untuk melindungi prinsip mereka di atas, yaitu نصحح ولا نجرح (kami meluruskan bukan mencela/men-jarh).
5. Di antara prinsip/asas dasar mereka adalah: “membawa perkataan yang mujmal (global) kepada perkataan yang mufashshal (terperinci).” (حَمْلُ المُجْمَلِ عَلَى المُفَصَّل)
Prinsip ini dimunculkan oleh sebagian
kalangan yang sangat jahat, terutama untuk membela Sayyid Quthb. Prinsip
ini dibangun oleh Abul Hasan dan kelompoknya untuk membela Sayyid Qutub
dan orang-orang semisalnya. Mereka terus berjalan di atas prinsip ini
selama beberapa tahun lamanya, kemudian ketika terjadi fitnah yang
menghempaskan Ahlus Sunnah, ia mengatakan : Jika yang mengatakannya
adalah dari kalangan ahlussunnah dan dari para penuntut ilmu ahlus
sunnah dan pembelanya, maka perkataan yang mujmal (global) dibawa kepada perkataan yang mufashshal (terperinci).
Kami sampaikan dalil-dalil dan bukti-bukti kepadanya dan kami sampaikan pula pernyataan jumhur para ulama bahwa tidak diboleh ditakwil (dengan metode di atas-pen) kecuali sabda al-Ma’shum (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dan pernyataan para ulama ini adalah yang benar.
Asy-Syaukani menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya tidak boleh ditakwilkan (dengan metode di atas-pen) kecuali ucapan al-Ma’shum.
Namun mereka tetap saja tidak meninggalkan kebatilan mereka. Kemudian
mereka sendiri tidak menerapkan prinsip di atas kecuali kepada
pernyataan mereka yang terperinci dan gamblang (sebagai ucapan yang
batil), yang mereka anggap sebagai ucapan yang mujmal (global).
Mereka juga tidak menerapkan prinsip di
atas terhadap lawan mereka. Bahkan mereka menjadikan pernyataan lawan
mereka yang gamblang tentang al-haq sebagai kebatilan, kezhaliman, dan
ekstrim.
Tulisan-tulisan mereka sangat penuh dengan kezhaliman, mereka tidak lagi mau memperhatikan firman Allah Ta’ala:
وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
“dan janganlah sekali-kali kebencian
kalian terhadap sesuatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. (al-Maidah: 8)
Dan sungguh sangat tidak mungkin mereka
akan mau berpegang dengan ayat ini dan ayat selainnya tentang wajibnya
bersikap adil meskipun terhadap orang kafir ketika mereka sendiri
berpegang dengan prinsip “tidak harus bagiku”.
Maka aku nyatakan: Semua yang aku
tuliskan di sini maka kami memiliki dalil dan bukti, baik dari ucapan
maupun karya tulis mereka.
Para Salafiyyun telah meruntuhkan
prinsip-prinsip batil tersebut dengan menggunakan dalil dan bukti-bukti.
Meskipun demikian kelompok sesat ini masih tetap menyebarkan
prinsip-prinsip mereka yang batil.
Fitnah yang terjadi ini, maka merekalah
yang mengobarkan dan melebarkannya dengan tindakan melampau batas dan
penentang yang mereka lakukan. Ketika fitnah dari mereka padam, maka
mereka akan memunculkan fitnah lain sebagai perpanjangan dari fitnah
yang telah berlangsung sekian tahun lamanya.
Itu adalah fitnah yang memang telah
mereka rencanakan menjelang meninggalnya dua syaikh, yaitu asy-Syaikh
Ibnu Bazz dan al-Albani rahimahumallah. Rencana jahat ini, yang
disiapkan untuk mengobarkan fitnah dan menjatuhkan kredibilitas para
ulama, serta mengikat para pemuda dan dakwah salafiyah dengan
tokoh-tokoh mereka, adalah suatu perkara yang benar-benar ada. Kami
memiliki bukti yang telah kami paparkan kepada sebagian pihak yang
memiliki kepedulian terhadap Dakwah Salafiyah. Kami juga memiliki
saksi-saksi atas upaya mengikat para pemuda dan dakwah salafiyah ini.
Kenyataan yang ada pada mereka sebagai saksi terbesar atas adanya upaya
mereka menjatuhkan kredibilitas ulama dan upaya mereka mengikat para
pemuda. Juga sikap-sikap mereka, prinsip-prinsip ajaran, aktifitas
mereka, dan wala’ (loyalitas) mereka terhadap para musuh Dakwah
Salafiyah sangatlah jelas.
Di antara tipu daya dan makar mereka
adalah mereka berpura-pura menangisi keadaan dakwah (yang sedemikian
carut-marutnya-pen), dan berpura-pura menangisi (atas meninggalnya) tiga
ulama besar, yaitu Ibnu Baz, al-Albani, dan al-‘Utsaimin.
Ini adalah sikap menangis yang hanya
sekadar isapan jempol. Sejatinya mereka adalah orang-orang yang sangat
senang dengan kematian para ulama ini. Sebagai buktinya adalah
persekongkolan mereka untuk menyerang Dakwah Salafiyah, para ulama
salafiyah, dan para pemudanya menjelang wafatnya para ‘ulama di atas.
Kemudian mereka benar-benar menjalankan persekongkolan rendahan ini dengan tindakan perlawanan dan pengobaran fitnah oleh Adnan ‘Ar’ur di Eropa , dan al-Halabi, Abul Hasan, dan al-Mighrawi berdiri di sampingnya (mendukungnya).
Lalu tindakan melampaui batas yang dilakukan oleh al-Maghrawi dan kelompoknya untuk menyerang Ahlus Sunnah. Kelompok (baru) ini pun berdiri di sampingnya.
Di susul kemudian oleh tindakan melampaui batas dan penentangan yang dilakukan oleh Abul Hasan, dan kelompok (baru) ini juga berdiri di sampingnya. Berikutnya tindakan melampaui batas dan penentangan yang dilakukan oleh ‘Ali al-Halabi, lalu kelompok (baru) ini juga berdiri di sampingnya.
Semua persekongkolan ini selalu dihadapi dan diiringi dengan kesabaran dan nasihat dari Ahlus Sunnah.
Tidaklah ada seorang pun dari para tokoh
gerombolan pengobar fitnah di
atas kecuali telah aku hadapi dengan
kesabaran selama sekian tahun lamanya. Aku memberikan nasihat kepadanya
dengan lemah lembut dengan harapan ia mau kembali kepada kebenaran dan
juga dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan. Namun kesabaran yang
sekian lamanya dan harapan yang demikian besarnya itu tidak membuahkan
hasil, karena di balik itu semua ada sesuatu. Di antaranya adalah apa
yang telah disebutkan sebelumnya berupa perencanaan jahat.
Di antaranya pula sokongan dana dari
yayasan-yayasan yang serupa dengan mereka dalam rencana dan tujuan
jahatnya. Sebelum dan sesudah itu semua adalah hawa nafsu dan semangat
untuk menyimpang.” – selesai ucapan asy-Syaikh Rabi’ –
Aku (penulis) katakan : Ketika kesabaran
dan upaya nasihat untuk para pengkhianat al-haq itu tidak membuahkan
hasil, maka bantahan Syaikhuna Rabi’ (bin Hadi) yang ilmiyah
terus menerus diluncurkan untuk merobohkan benteng pertahanan mereka
yang bid’ah itu. Petir dan jilatannya yang menyala-nyala berhasil
menerangi sarang mereka yang tersembunyi dan tampak jelas di hadapan
pasukan al-haq, sehingga bisa melukai mereka dengan panah-panahnya.
Berikut ini adalah penjelasan tentang
judul-judul bantahan Salafiyyah syaikh kami yang sangat ilmiyah terhadap
‘Ali al-Halabi dan gerombolannya yang nista:
Aku (penulis) katakan :
Berikut ini adalah sebagian redaksi
syaikh kami yang ada pada sejumlah makalah yang menjelaskan kesesatan
al-Halabi dan penyimpangannya dari ash-Shirath al-Mustaqim, yaitu jalan al-Firqah an-Najiyah dan ath-Thaifah al-Manshurah.
Al-‘Allamah Rabi’ hafizhahullah dalam makalah berjudul “al-Halabi Menghancurkan Dirinya Sendiri dengan Kebodohan, Penentangan, dan Kedustaan”, mengatakan:
“Kalangan salafiyun yang jujur yang
diperangi oleh al-Halabi dan gerombolannya dengan filsafat-filsafat
murahan dan pemutarbalikan fakta, serta dengan menjadikan al-haq sebagai
perkara yang batil dan kebatilan sebagai sesuatu yang benar, maka para
salafiyun itu tidaklah mengkritik kebatilan kalian kecuali dari apa
yang mereka dengar dari suara rekaman kalian, juga berdasar apa yang
mereka saksikan dan mereka baca sendiri, serta disaksikan pula oleh
banyak orang dari makalah kalian dan pernyataan kalian yang gamblang.
Itu semua kalian rekam dengan pena-pena kalian dan kalian sebarkan di
dalam karya-karya kalian dan situs-situs kalian.
Berikut ini adalah penjelasan singkat tentang rujukan dari terbitan kalian yang kalangan salafiyun membantahnya:
1. Kaset rekaman dengan suara Ali al-Halabi yang berisi sejumlah ta’shil yang batil.
Saudara kita Sa’d az-Za’tari
al-Falisthini telah membantahnya dan menjelaskan kebodohan dan berbagai
kesesatan yang terdapat di dalam kaset rekaman ini. Ia membantahnya
dalam kitabnya berjudul: “Tanbih al-Fathin li Tahafut Ta’shilaat ‘Ali al-Halabi al-Miskin”.
Namun al-Halabi tidak bisa mengambil
faedah dari kitab ini dan apa yang dikandung oleh kitab ini, yaitu
kebenaran dan pengguguran kebatilan. Bahkan ia semakin berlaku sombong
dan menentang sebagaimana kebiasaannya yang tercela.
2. Kitab Minhaj as-Salaf ash-Shalih karya Ali al-Halabi , telah dicetak dan diterbitkan, dan telah sampai ke tangan banyak orang.
Kitab ini telah dibantah oleh Dr. Ahmad
Bazmul dengan berdasar al-haq, hujah, dan bukti-bukti. Beliau juga
menjelaskan kebatilan-kebatilan yang ada di dalamnya. (dalam kitab
berjudul Shiyanah as-Salafy … )
Namun al-Halabi berlaku sombong, menentang kebenaran, dan takabur. Si
miskin ini tidak tahu bahwa penentangan dan kesombongannya ini tidaklah
menambahnya kecuali kerendahan dan kehinaan di hadapan orang-orang yang
berakal. Dan si miskin ini juga tidak tahu bahwa rujuk (kembali) kepada
al-haq adalah suatu kemuliaan dan kejantanan.
3. Kitab Shad at-Tasyni’ bi radd maa Shadara ‘anisy Syaikh Rabi’ min al-Isqath wa at-Tabdi’ karya Ali al-Halabi.
Kitab ini berlandaskan pada permainan
kata dan pemutarbalikan fakta. Menjadikan pihak yang benar sebagai pihak
yang salah, dan pihak yang salah dan jahat sebagai pihak yang
terzhalimi. Tidaklah metode seperti ini muncul kecuali dari manhaj yang
rusak dan akal yang dungu.
4. Pujian al-Halabi untuk risalah ‘Amman
dengan mengatakan: Bahwa risalah ini adalah risalah yang menjelaskan
tentang Islam, dan mengimplemetasikan “sikap tengah” Islam. Serta pujian
kelompok (para pengikut)nya untuk risalah ini disertai dengan pembelaan
mereka terhadap risalah tersebut. Ini semua tertulis dengan pena
al-Halabi dan (para pengikut)nya, disebarkan pada situs forum diskusi
mereka.
5. Pujian al-Halabi bagi semua pihak yang mendukung Risalah ‘Amman
baik dari kalangan Rafidhah, Shufiyah, dan Sekuleris. Dan jumlah mereka
sangat banyak. Juga persaksiannya terhadap mereka – dengan persaksian
dusta – sebagai para ‘ulama yang terpercaya dan para pemimpin yang
amanah. Ia menuliskan itu dengan penanya dan mengumumkannya.
6. Engkau (wahai al-Halabi) keterlaluan dalam memerangi kalangan salafiyin, yaitu engkau menyifati mereka dengan ghuluw
(ekstrim/berlebihan). Padahal Allah Maha Mengetahui, kemudian pula para
pembela al-haq yang bersikap adil juga mengetahui, bahwa para salafiyun
sangat jauh dari sifat ghuluw. Bahkan para salafiyun adalah pihak yang benar-benar memerangi sifat ghuluw.
Bersama dengan kezhaliman di atas,
engkau membersihkan pihak-pihak ekstrimis dari sifat ghuluw, yaitu
ketika engkau membersihkan delapan sekte dari sikap ekstrim – di
antaranya delapan sekte tersebut Rafidhah, Khawarij, Shufiyah, dan
Zaidiyyah –
Kezaliman ini terdapat dalam makalahmu yang engkau sebarkan dengan judul as-Salafiyyah hiya al-Wasath asy-Syar’i al-Mudhad li ath-Tatharruf.
Θ Beliau (asy-Syaikh Rabi’ al-Madkhali) hafizhahullah dalam makalah berjudul al-Halabi Yu`asshil min Qabli Tsalatsin ‘aman Ushulan Dhidda Minhaj as-Salaf fi al-Jarh wa at-Ta’dil mengatakan:
“Apakah ada selainmu yang berkata dalam memerangi orang yang memvonis bid’ah para penyebar kesesatan,
“Kemudian sikap para
pelajar secara umum ketika para ulama bersepakat untuk membid’ahkan
seseorang maka tidak ada lagi peluang bagi mereka untuk menyelisihnya.”
Dengan ucapan ini kamu telah membuat syarat, yaitu ijma’ (kesepakatan) ahlul ilmi, agar suatu jarh bisa diterima.
Siapakah yang telah mendahuluimu dengan pemikiran ini wahai si pengada-ada?”
4. Siapakah selain engkau yang mempersyaratkan adanya kesepakatan para ulama agar kata-kata “ghutsa’iyyah” (sembrono)
bisa dinilai sebagai celaan (yakni terhadap shahabat). Sebuah kata keji
yang telah dilontarkan oleh salah seorang rekanmu untuk mencela para
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu siapakah
yang telah mendahuluimu dalam memunculkan syarat ini, yang akan
menjerumuskan dalam sikap sombong, basa-basi, dan menyia-nyiakan??
Θ Pada tempat yang lain, al-‘Allamah Rabi’ mengatakan,
“Wahai al-Halabi, tinggalkan kedustaan
dan pemutarbalikan fakta, karena kamulah dan para pengikutmu yang jahat
itu yang menjadi pihak penentang al-haq dan penentang para pembela
al-haq. Sikap melampaui batas dan penentangan kalian ini telah dimulai
semenjak dua periode waktu, dengan (kalian) memerangi ahlussunnah. Juga
memerangi manhaj dan prinsip-prinsip ahlussunnah, serta para ulama
sunnah. Kamu telah banyak menjatuhkan para ulama. Kalian telah membuat
banyak prinsip-prinsip yang batil. Sebagai pimpinan kelompok ini adalah
Adnan ‘Ar’ur, al-Ma’ribi, dan al-Halabi.
Selama dua periode waktu ini mereka
tidak mau mengakui kebenaran. Tidak pula mereka mau meninggalkan
kebatilan. Tidak pula mereka menghentikan tindakan melampaui batas,
pengobaran fitnah, kedustaan, sikap khianat, dan pemutarbalikan fakta.
Ini semua adalah perkara yang kalangan ahli bid’ah yang besar malu untuk
melakukannya.”
Θ Beliau (asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah) juga mengatakan:
“al-Halabi dan kelompoknya telah membuat
prinsip-prinsip yang akan mengakomodir seluruh kesesatan besar dan para
pendukung kesesatan itu. Juga akan melindungi kesesatan itu dari
timbangan-timbangan Islam yang adil, yang akan menilai
kesesatan-kesesatang itu sebagai bid’ah dan kesesatan.
Seperti (prinsipa mereka): “Kami menginginkan sebuah manhaj yang lapang dan longgar (manhajan wasi’an afyah), yang akan mencakup seluruh Ahlus Sunnah dan mencakup seluruh umat.”
Juga prinsip, “Kami meluruskan, bukan men-jarh,” atau “bukan meruntuhkan.”
Dan sungguh mereka benar-benar
menerapkan dua prinsip ini dan yang semisalny. Salah seorang pembesar
kelompok ini memberikan hukum untuk Ikhwanul Muslimin yang terbaur di
dalamnya berbagai keajaiban, baik dari kalangan Shufiyah beserta
tarekat-tarekatnya yang berbeda-beda, juga kalangan Rafidhah dengan
segenap sektenya, kalangan Khawarij, bahkan kalangan Nasrani. Mereka menghukumi Ikhwanul Muslimin (yang sedemikian rupa kondisinya itu) sebagai Ahlus Sunnah (!!). Meskipun mereka (IM) mengadakan kesepakatan dengan kalangan komunis, atheis, dan liberalis(!!)”
Ucapan al-Halabi: “Dan yang tampak bagiku – wallahu a’lam
– bahwa pernyataan ulama kita – yang masyhur dan sering terdengar –
yaitu, (Yang menjadi sebab dicelanya suatu hadits tidak lain adalah para
perawinya), aslinya yang dimaksud adalah: Yang terkadang keliru dalam memberitakan adalah para perawi yang tsiqah,
bukan selain mereka! Karena para perawi yang dhaif – dari sisi dhaifnya
saja – mereka sudah menjadi cela pada dasarnya baik mereka menyampaikan
berita (hadits) atau tidak. Dan meragukan berita (hadits) yang mereka
(perawi yang dhaif-pen) sampaikan adalah menjadi hukum asalnya, berbeda
halnya dengan perawi yang tsiqah, maka perhatikanlah.”
Aku katakan – yang mengatakan ini adalah asy-Syaikh Rabi’ – :
1. Pertama kali kamu menetapkan bahwa pernyataan di atas adalah pernyataan para ulama kita yang masyhur dan sering didengar.
2. Dari mana kamu tahu bahwa mereka
memaksudkan dengan pernyataan di atas adalah berita yang terkadang para
perawi tsiqah salah dalam penukilannya. Kemudian kamu mengatakan tentang
perawi yang tidak tsiqah, “Dan meragukan berita (hadits) yang mereka
sampaikan adalah menjadi hukum asalnya, berbeda halnya dengan perawi
yang tsiqah.”
Lalu mengapa mereka (para ‘ulam
tersebut) meninggalkan hukum asalnya dan senantiasa memperbincangkan
pemberitaan dari kalangan yang tsiqah sebagaimana yang dilakukan oleh
al-Halabi?
Dan mengapa pula kamu melupakan berita dari orang-orang fasik yang Allah telah memerintahkan kita untuk tatsabbut (mencari tahu kebenaran) berita mereka?
Padahal yang menjadi kewajiban bagimu
adalah kamu senantiasa menempatkan ayat yang mulia itu di hadapan
matamu, bukannya malah melupakannya dan berpaling darinya. Kemudian kamu
juga berpura-pura lupa akan pernyataan para ulama tentang makna ayat
yang mulia ini. Sungguh kamu telah berbuat lancang dalam membuat ragu
terhadap ushul (prinsip) al-jarh wa at-ta’dil dan terhadap pemberitaan orang-orang (perawi) yang tsiqah. Untuk ini ada dalil-dalil yang sangat kuat.”
Θ Asy-Syaikh Rabi’ berkata,
“Sungguh Rabi’ dan rekan-rekannya telah
bersabar menghadapimu dalam waktu yang sangat lama, yaitu bertahun-tahun
lamanya. Juga bersabar dalam menghadapi sikapmu yang senantiasa membela
kebatilan dan para penyebar kebatilan serta merendahkan al-haq dan para
pembela al-haq.
Sikap penentangan dan berkelanjutanmu itu menyeretmu untuk memulai melakukan penyerangan kepada salafiyyin dan manhaj al-jarh wa at-ta’dil. Kemudian membuka situs forum diskusi bernama Kullassalafiyyin.
Ini merupakan seruan (ajakan) darimu terhadap segenap penyuara
kebatilan dan orang-orang yang menyimpang dari manhaj Salaf untuk
menyerang as-Salafiyyah dan Salafiyyin. Juga untuk membela
kesesatan-kesesatan yang besar dan para pendukungnya. Sebenarnya jalanmu ini adalah jalan yang para penyeru kesesatan-kesesatan yang besar itu malu untuk menempuhnya.
Sungguh kami telah membantah Rafidhah,
lalu mereka pun terdiam. Kami membantah kalangan Shufiyyah lalu mereka
membantahnya dengan adab, lalu terdiam. Kami membantah tokoh-tokoh
hizbiyyin, lalu mereka terdiam karena malu dan enggan untuk berbuat
sombong dan terus menentang.
Adapun kamu dan kelompokmu tidak
berhenti dan tidak bosan untuk melakukan serangan-serangan yang jahat
itu, juga bantahan-bantahan yang batil dan tegak di atas kesombongan dan
penentang yang sangat hina. Sungguh “betapa sabarnya” diri kalian untuk
tetap berada di atas kebatilan, kesombongan, dan penentangan. Ini
semua perkara yang kalian melebihi seluruh para pengekor hawa nafsu.
Θ Asy-Syaikh Rabi’ mengatakan:
“Aku nyatakan secara ringkas: bahwasanya
perbuatanmu dan kelompok (para pengikut)mu yang berani lancang
(membuat) kaidah-kaidah batil yang sangat buruk, adalah perkara yang
lebih terkenal dibanding api di atas suatu tanda, di antaranya:
1. al-manhaj al-wasi’ al-afyah (manhaj yang longgar dan mengakomodir)
2. nushahhih wa laa nuhaddim (meluruskan tapi tanpa menghancurkan)
3. idza hakamta huukimta (jika kamu menghukumi maka kamu juga akan balas dihukumi)
4. ajakan untuk tatsabbut dalam rangka menolak kebenaran.
5. di antaranya pula (hamlu al-Mujmal ‘ala al-Mufash-shal) membawakan kalimat yang mujmal (global) kepada yang mufashshal
(yang terperinci), suatu metode yang bertabrakan dengan manhaj Ahlus
Sunnah dan penerapan mereka telah memenuhi sekian banyak jilid. Juga
telah diingkari oleh jumhur pengikut madzhab. Asy-Syaukani menyebutkan bahwasanya metode ini telah disepakati akan kebatilannya.
6. La yulzimuni (tidak harus
bagiku mengikutinya), mereka buat prinsip ini untuk menolak al-haq, dan
supaya bisa terus di atas penentangan dan kesombongan.
Kesemua ta’shilat
(pondasi-pondasi dasar) ini di antaranya ada yang dibuat oleh Abul
Hasan, dan ada pula yang dibuat oleh ‘Adnan ‘Ar’ur. Di antaranya pula
ada yang dibuat oleh al-Halabi.
Semua pondasi tersebut diletakkan untuk memerangi Manhaj Salafi dan ushul (prinsip-prinsip pokok)nya.
Θ Al-‘Allamah Rabi’ dalam makalahnya “Ali al-Halabi Yuwashil Tajannihi ‘ala al-Imam al-Bukhari” (Ali al-Halabi Melanjutkan Kelancangannya terhadap al-Imam al-Bukhari) berkata,
“Dan setiap suatu kaum memiliki pewaris.
Sehingga para nabi memiliki pewaris dalam hal kejujuran, ikhlas, cinta
kebenaran, membela kebenaran, dst…
Sedangkan musuh-musuh mereka juga
memiliki pewaris dalam kedustaan, penipuan, riya’, memerangi kebenaran,
mencoreng nama pembela kebenaran dengan berbagai kedustaan dan
tuduhan-tuduhan zhalim dan melampaui batas. Jumlah mereka adalah banyak.
Jumlah mereka mencapai bilangan 72 kelompok.
Di antara sekte yang paling berbahaya
dan paling keras dalam memerangi kebenaran dan para pembela kebenaran
adalah ‘Ali al-Halabi dan kelompoknya.
Mereka telah melebihi banyak sekali
sekte dalam hal kedustaan, pengaburan, pemutarbalikan fakta, menjadikan
yang hak sebagai kebatilan dan kebatilan sebagai yang haq. Juga
mengada-adakan prinsip-prinsip yang batil. Dan sungguh betapa banyaknya
jenis-jenis perbuatan seperti ini yang mereka lakukan dalam memerangi
al-haq dan membela kesesatan-kesesatan yang besar dan para penyebarnya.
Di antara bentuk kebatilan al-Halabi dan tindakannya memutarbalikkan
fakta serta dakwaan-dakwaan dustanya:
- Perkataannya: “Dan dia –
kenyataannya – hanyalah membela suatu kaidah yang telah terkenal! Yang
merupakan bagian dari kaidah-kaidahnya yang batil dan mungkar. Yaitu
kaidah-kaidah yang meruntuhkan perkara-perkara yang masuk akal! Juga
termasuk sebagai asas-asas syari’at yang manqul! Dan masuk dalam penegasan-penegasan para ulama yang kokoh!: Menolak haml al-mujmal ‘ala mufashshal (membawakan yang mujmal kepada yang mufasshal) selain pada Kalamullah (Firman Allah) dan sabda Rasulullah!!!”
Aku (yakni asy-Syaikh Rabi’, pen) katakan :
1. Kaidahmu dan kaidah kelompokmu itulah
sebenarnya yang batil, kaidah yang akan menghancurkan perkara-perkara
yang masuk akal dan sebagai asas-asas syari’at dan manqul, juga hasil penelitian para ulama yang kokoh.
2. Apakah kamu bisa membawakan dalil atas kaidah tersebut? Jika kamu tidak mampu untuk mendatangkannya dengan disertai nash (dalil)nya maka orang-orang akan tahu bahwa kamu adalah pendakwa dengan dakwaan yang batil (dusta).
3. Dan bantahan yang diberikan oleh Rabi’ dan selainnya terhadap kaidah batil haml al-mujmal ‘ala al-mufashshal dan selainnya dari kaidah-kaidah batil dan kesesatan-kesesatan, hanyalah semata dibangun di atas manhaj yang shahih dan nash-nash (dalil-dalil) dari Kitabullah dan as-Sunnah. Nash-nash yang memberikan motivasi untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar
serta menempuh manhaj para shahabat yang mulia dan para ulama besar.
Juga tegak di atas asas-asas syari’at, detail-detail syari’at, dan
nash-nashnya.
4. Ucapanmu itu termasuk kedustaan yang sangat dusta, kedustaan yang belum pernah ada orang yang mendahuluimu.
Membantah kaidah batil: “haml al-mujmal ‘ala al-mufashshal” tidaklah meruntuhkan perkara-perkara yang masuk akal dan tidak pula asas-asas syari’at dan manqul, juga penegasan-penegasan para ulama yang kokoh.
Bahkan bantahan itu tegak di atas perkara yang masuk akal, di atas asas-asas syari’at dan manqul. Juga sesuai praktik yang diterapkan oleh para ulama yang kokoh.
Kemudian beliau (yakni asy-Syaikh Rabi’, pen) berkata:
“Di antara kemungkaran yang paling mungkar adalah membawa yang mujmal kepada yang mufashshal,
karena metode ini berlawanan dengan nash al-Qur’an dan Sunnah
Nabawiyah. Juga bertentangan dengan jalan kaum mukminin dari kalangan
sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, yaitu
orang-orang yang Allah telah berfirman tentang mereka:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ
الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ
مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, kami biarkan Ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisa’: 115)
Dan kaidah di atas akan menjadikan
perkara batil sebagai kebenaran dan orang yang membela kebatilan
dianggap sebagai pihak yang benar serta menempatkannya pada kedudukan
seorang yang makshum.
3. Di antara penetapan para ulama yang kokoh adalah apa yang mereka tuangkan dalam kitab-kitab al-Jarh wa at-Ta’dil yang dipenuhi dengan jarh (celaan)
terhadap ahli bid’ah dan perawi-perawi yang dhaif walaupun tergolong
dari kalangan orang-orang shalih. Ini dilakukan sebagai bentuk nashihah untuk
Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan untuk kaum mukminin.
Mereka (para
‘ulama penulis kitab-kitab al-jarh wa at-ta’dil) tidak membawakan
perkataan mereka (orang-orang yang dijarh) yang mujmal kepada yang mufashshal. Lalu apakah para ‘ulama penulis kitab-kitab al-jarh wa at-ta’dil itu telah menyelisihi dan meruntuhkan perkara-perkara yang masuk akal dan asas-asas syari’at yang manqul, juga penelitian para ulama yang kokoh?!!
Asy-Syaikh Rabi’ mengatakan: “Maka
pernyataan al-Halabi yang jelek ini, dan penulikannya terhadap
pernyataan yang sangat berbahaya ini dari Syaikhul Islam tentang
kalangan ekstrim Murji’ah, maka keduanya adalah perkara yang sangat
gamblang sekali bahwasanya al-Halabi menjadikan al-Imam al-Bukhari
sebagai sasaran celaan yang sangat buruk ini. Dan bahwasanya ia meyakini
bahwa perkataan al-Bukhari termasuk dari jenis perkataan kalangan
ekstrim Murjiah. Tidak ada perbedaan antara perkataan al-Bukhari dengan
sekte Murjiah. Sehinggah sungguh amat buruknya kebodohan dan kedustaan
juga orang-orang bodoh dan pendusta itu.
Di antara kedustaan al-Halabi yang
tersingkap adalah ucapannya: “Celaan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah – pada
sejumlah tempat dari kitab-kitabnya – yang ditujukan kepada orang yang
mengatakan: “al-Ma’rifah (ilmu) adalah perbuatan hati.”
Manakah tempat-tempat ini yang di dalamnya Syaikhul Islam mencela orang yang mengatakan bahwa al-ma’rifat adalah
perbuatan hati, dan Syaikhul Islam juga menjelaskan bahwa pernyataan
ini termasuk dari perkataan ahli bid’ah kalangan sekte Murjiah”?
Dengan demikian anda telah menyaksikan
bahwa ia (al-Halabi) telah menyatakan secara tegas bahwa pernyataan
al-Imam al-Bukhari termasuk pernyataan kalangan ahli bid’ah dari sekte
Murjiah. Kemudian ia membawakan pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
tentang Murjiah dalam hal sikap esktrim mereka. Hal ini ditambah lagi
dengan perkataannya yang dusta: Bahwasanya Rabi’ mengatakan sama persis
dengan perkataannya.
Sungguh ini sebuah kedustaan yang telah
tersingkap. Dan sungguh ini adalah sebuah tindakan lancang terhadap
al-Imam al-Bukhari dan al-imam Ibnu Taimiyah rahiamahumallah.
Cobalah kamu datangkan pernyataan salah salah seorang imam Islam yang mencela pernyataan seperti di atas.
Wahai al-Halabi, al-Lajnah ad-Da’imah telah menasihatkan kepadamu agar kamu belajar karena kamu dalam pandangan mereka adalah orang yang jahil dan serampangan.
Namun ternyata tidaklah kamu bertambah
kecuali semakin merasa dirimu sebagai orang alim, dan kamu semakin
berkubang di dalam kejahilanmu hingga hari ini. Kamu tidak bisa
membedakan antara yang haq dan yang batil. Bahkan karena kejahilan dan
kebodohanmu kamu menjadi perkara yang hak sebagai kebatilan lalu kamu
memerangi para pembela al-haq.
Kamu juga menjadikan perkara batil
sebagai yang haq kemudian kamu memuji kebatilan itu dan membelanya.
Sedangkan pernyataan Ibnu ‘Utsaimin
tidaklah kamu memujinya kecuali berdasar dugaanmu yang buruk itu, yaitu
kamu menyangkanya beliau berada di atas manhajmu yang rusak dalam
membawa yang mujmal kepada yang mufashshal. Sungguh tidak
mungkin Ibnu ‘Utsaimin memahami pernyataan al-Imam al-Bukhari
sebagaimana yang kamu fahami. Andaikan beliau memahaminya sebagaimana
yang kamu fahami pastilah beliau akan menjelaskan apa saja yang senada
dengan pernyataan kalangan Murjiah ekstrim. Namun yang beliau fahami
adalah benarnya pernyataan al-Bukhari dan termasuk bagian dari inti
pokok Manhaj Ahlus Sunnah. Beliau menjabarkannya sebagaimana
penjabarannya untuk sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pernyataan para ulama yang jauh dari ucapan-ucapan yang bersifat global.
Hanya saja terkadang teks-teks yang teramat gamblangnya tidak bisa difahami oleh orang-orang jahil dan penuntut ilmu yang shighar
(pemula) yang memberanikan diri untuk menjabarkannya. Di antaranya
adalah penjabarannya untuk pernyataan al-Imam al-Bukhari ini.
Wahai Halabi, sungguh kamu telah terlalu
banyak menerjang dan menyerang al-haq dan para pembelanya. Sungguh pada
tindakanmu ini terdapat pemutarbalikan yang sangat berbahaya bagi para
imam-imam Salaf, manhaj dan ushul-ushul mereka.” selesai penukilan.
Θ Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah dalam makalah berjudul “al-Halabi Yu’ayyidu wa Yansyuru Akhthar Ushul al-Jahmiyyah” mengatakan:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنّما أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الْأَئِمَّةَ الْمُضِلِّينَ
“Hanyalah aku mengkhawatirkan pada umatku keberadaan para imam penyesat umat.”
HR. Ahmad dalam Musnad (5/278), Abu Daud
dalam Sunannya hadits no,. 4252, at-Tirmidzi dalam sunannya hadits no.
2229, dan Ibnu Majah dalam sunannya (3952).
Di antara mereka (para imam/pimpinan)
penyesat umat itu adalah al-Halabi dan orang-orang yang membantu mereka
di atas kesesatan dan landasan-landasan yang rusak seperti Adnan ‘Ar’ur
dan Abul Hasan al-Ma’ribi.
Dan sungguh al-Halabi telah memiliki
kebiasaan untuk membela kebatilan dan mengobarkan fitnah semenjak masa
yang lama. Setiap kali fitnah mendongakkan kepalanya untuk melawan
kebenaran dan para pembela kebenaran, maka ia akan bersegera membela
fitnah itu dan membela para pengusungnya.
Sehingga al-Halabi menjadi si miskin
yang membela kebatilan, baik dengan sengaja disertai pengetahuannya
bahwa kebatilan itu adalah benar-benar kebatilan, atau karena ia tidak
tahu.
Sebab dari sikap seperti ini adalah kebodohannya tentang ushul
(prinsip-prinsip) as-Salaf dan manhaj Salaf. Juga jauhnya dia dari
akhlak Salaf. Barang siapa yang tidak mengetahui al-haq maka ia akan
memusuhinya.
Sungguh aku telah memberikan bantahan
atasnya, dan banyak kalangan selainku yang juga membantah kebodohan dan
kesasatannya. Namun semua bantahan ilmiyah dan sesuai salafiyah ini
tidak menambahnya kecuali semakin terperosok dan berkubang dalam
kebatilan. Karena di antara tabiat dan manhajnya yang rusak adalah tidak
perlu kembali kepad al-haq meskipun jelas terlihat al-haq itu. Juga
tidak perlu untuk rujuk meninggalkan kebatilan meskipun telah sangat
gamblang kebatilannya dan sangat besar bahayanya.
Dan di antara kebodohan dan kesesatannya adalah dukungan dan penyebaran yang ia lakukan untuk ushul (prinsip-prinsip) Jahmiyah yang sangat berbahaya. Yaitu pada catatan kakinya terhadap kitab al-Hawadits wal Bida’ karya ath-Thurthusyi.
Demikianlah (hakikat sebenarnya). Dan perlu para pembaca ketahui bahwa kitab ath-Thurthusyi dengan tahqiq dan ta’liq
oleh al-Halabi telah tersebar semenjak 23 tahun yang lalu. Selama
rentang waktu ini telah dicetak sebanyak tiga kali sejauh yang aku
ketahui. Sehingga sudah berapa banyak pembaca yang tertipu oleh ushul Jahmiyah yang al-Halabi mendukung dan menyebarkannya.
Pertama: di antara ushul (prinsip-prinsip) yang sangat berbahaya ini adalah pengingkaran dia (al-Halabi) terhadap ta’lil (sebab) perbuatan-perbuatan Allah dan syari’at-Nya. Ta’lil itu adalah sebab/alasan yang tegak di atas hikmah Allah yang sempurna.
Pada halaman 10 al-Halabi mengkritik ath-Thurthusi dengan mengatakan, “Di antara perkara yang penulis rahimahullah dikritik karenanya ada dua:
Pertama: bahwa metode diskusi dan
bantahannya terpengaruh oleh metode Mu’tazilah. Yaitu dalam
penjelasannya tentang hikmah-hikmah pensyari’atan. Dan kiyas-kiyas
fikihnya …. Dan sungguh tidaklah bisa aman dari ketergelinciran
bersamanya.
Kedua: kelemahannya dalam bidang ilmu
hadits. Pembaca melihat sendiri ia menggunakan riwayat-riwayat yang
lemah sebagai dalil. Dan sering pula ia meriwayatkan dengan makna
sehingga terjadilah padanya kekurangan yang sangat jelas. Atau pada
penyandarannya terjadi kekeliuran.
Namun keberadaan dua hal ini tidak
mengurangi nilai kitab ini dan tidak pula mengurangi kedudukannya. Kitab
ini adalah sebuah kitab yang memiliki pembahasan ilmiyah yang bagus dan
berbeda (dari yang lain).” – selesai penukilan komentar al-Halabi –
Pada catatan kakinya di atas al-Halabi
mengkritik ath-Thurthusyi dalam penjelasannya tentang hikmah
pensyari’atan. Sehingga pensyari’atan dari Allah menurut al-Halabi
kosong dari hikmah. Pendapat seperti ini bertolak belakang dengan
puluhan nash (dalil) al-Qur’an tentang penetapan hikmah dalam syari’at Allah dan penciptaan-Nya terhadap para makhluk-Nya.
Pengingkaran yang ia berikan ini muncul
dari kebodohannya tentang manhaj Salaf atau tentang keyakinan batil yang
dibela oleh orang ini.
Pernyataannya: “Keberadaan dua hal yang dikritik ini tidak mengurangi nilai kitab dan tidak menurunkan tingkatannya.”
Maka kita katakan: Kesempurnaan ini hanyalah menurutmu saja. Adapun menurut Ahlus Sunnah kandungan kitab ini yang berupa ushul-ushul yang batil menurunkan nilai kitab ini dengan sangat jauhnya.
Kedua: Kelalaian al-Halabi tentang pembahasan yang terkait dengan takdir.
Ath-Thurthusyi rahimahullah
ketika membahas kebid’ahan empat firqah: al-Khawarij, ar-Rafidhah,
al-Qadariyah, dan al-Murjiah dan semua yang bercabang darinya. Yaitu ia
memandang bahwa semua kebid’ahan kembalinya kepada empat sekte bid’ah
ini.
Pada halaman 34 ia mengatakan: “Untuk
jelasnya dengan permisalan: bahwasanya takdir salah satu dasar dari
dasar-dasar kebid’ahan. Kemudian para pendukung masalah takdir
berselisih tentang masalah-masalah yang menjadi cabang-cabang pembahasan
takdir. Juga pada permasalahan yang tidak ada kaitannya dengan takdir.
Maka mereka semua bersepakat bahwa perbuatan hamba adalah ciptaan
mereka, bukan ciptaan Allah Ta’ala. Kemudian mereka berselisih pendapat
tentang salah satu cabang dari cabang-cabang pembahasan takdir.”
Aku (asy-Syaikh Rabi’ ) katakan,
“Bahwasanya beriman kepada takdir merupakan salah satu dari
prinsip-prinsip iman menurut Ahlus Sunnah. Sehingga pernyataan
ath-Thurthusyi: “bahwasanya takdir salah satu dasar dari dasar-dasar
kebid’ahan” terkadang akan difahami oleh sebagian orang-orang jahil,
bahkan oleh sebagian penuntut ilmu, bahwa takdir termasuk salah satu
pondasi kebid’ahan. Dengan pernyataannya ini para pengingkar takdir akan
bergelayutan padanya karena pernyataan ini muncul dari seorang ‘alim
dalam pandangan mereka.
Lalu apakah al-Halabi tidak mengetahui
kebatilan pernyataan di atas jika memang terdapat pada kitab aslinya
dengan teks seperti di atas? Lalu ia mengoreksinya dengan menjelaskan
bahwa yang benar tentang konteks ini adalah dengan dikatakan: “Bahwa pengingkaran terhadap takdir
merupakan salah satu dasar dari dasar-dasar kebid’ahan.” Karena
pengingkaran terhadap takdir menafikan sejumlah ayat al-Qur’an dan
menafikan apa yang ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
takdir, bahwa takdir termasuk prinsip iman. Di atas prinsip inilah
Ahlus Sunnah dan seluruh sekte berjalan, kecuali sekte Qadariyyah.
Ketiga:
memberikan dukungan untuk prinsip al-Jahmiyyah yang paling berbahaya.
Sebuah prinsip yang akan menyeret kepada pengingkaran terhadap nama-nama
Allah al-husna dan sifat-sifat-Nya yang tinggi.
Ath-Thurthusyi pada halaman 36 ketika membicarakan sekte-sekte sesat yang diperingatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang masyhur, ia mengatakan: “Jika yang dimaukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
berpecahnya umatnya adalah pokok-pokok kebid’ahan yang berjalan seperti
berjalannya jenis terhadap cabang, juga yang prinsip terhadap cabang,
maka jumlah mereka – dan tetap ilmunya hanya pada Allah – tidaklah
mencapai jumlah tersebut (yakni 72) hingga sekarang. Hanya saja waktu
masih terus berjalan, taklif (pembebanan) masih terus terpancang,
langkah-langkah masih terjadi. Dan setiap masa tidaklah lepas dan mesti
muncul padanya bid’ah- bid’ah.
Adapun jika yang dimaukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
golongan-golongan itu adalah semua kebid’ahan yang muncul dalam agama
Islam, yaitu kebid’ahan yang tidak selaras dengan prinsip-prinsip Islam
dan tidak pula diterima oleh kaidah-kaidah Islam tanpa menoleh kepada
pembagian yang telah kita sebutkan. Baik kebid’ahan itu sebagai macam
dari jenis-jenis yanya ada, atau berbeda landasan dan bangunannya – dan
inilah yang beliau maukan, namun ilmunya tetap di sisi Allah – maka
telah didapatkan kelompok-kelompok bid’ah tersebut jumlahnya sangat
banyak, lebih dari 72 golongan.
Sisi penshahihan hadits – ketika
mengikuti penjelasan di atas – maka kelompok-kelompok yang ekstrim dari
kalangan ahli bid’ah harus dikeluarkan dari perhitungan itu (72
golongan). Mereka tidak bisa dinilai termasuk bagian dari umat ini dan
tidak pula termasuk kalangan kaum muslimin. Seperti para pengingkar al-A’radh
dari kalangan kelompok Qadariyyah, karena tidak ada jalan untuk
menetapkan bahwa alam ini baru dan menetapkan Sang Pencipta kecuali
dengan menetapkan al-A’radh, dan juga seperti kalangan kelompok al-Hululiyyah [3], sekte al-Manshuriyyah [4], dan selain mereka dari kelompok-kelompok sesat/bid’ah yang ekstrim.”
Lalu apakah yang diperbuat oleh al-Halabi dalam menyikapi pernyataan di atas?
Al-Halabi memberikan catatan kaki terhadap pernyataan ath-Thurthusyi di atas:
“Sisi penshahihan hadits – ketika
mengikuti penjelasan di atas – maka kelompok-kelompok yang ekstrim dari
kalangan ahli bid’ah harus dikeluarkan dari perhitungan itu (72
golongan). Mereka tidak bisa dinilai termasuk bagian dari umat ini dan
tidak pula termasuk kalangan ahlul qiblat.”
Pernyataan ath-Thurthusyi tersebut diberi komentar oleh al-Halabi dalam catatan kakinya dengan mengatakan:
“Ini adalah pemisahan yang jeli dari penulis rahimahullah,
yaitu membedakan antara Ahlus Sunnah dengan ahli kiblat. Dan sangatlah
sering terjadi percampuran dari kedua makna ini dalam pikiran banyak
orang. Oleh karenanya hendaklah diperhatikan.”
Aku (asy-Syaikh Rabi’, pen) katakan:
1. Pernyataan penulis (ath-Thurthusi) tidak menujukkan kepada apa yang difahami dan dikatakan oleh al-Halabi.
Pernyataan penulis sangatlah gamblang
tentang pembedaan antara kaum muslimin, – baik yang sunni maupun yang
ahli bid’ah – dengan kelompok sesat/bid’ah yang ekstrim. Maka ia
mengatakan tentang ahli bid’ah yang ekstrim: “Tidak bisa dimasukkan
sebagai bagian dari umat Islam dan tidak pula dari kalangan ahli
kiblat.”
Sehingga pernyataan ath-Thurthusi ini
sangat jelas, bahwa dia tidak menganggap ahli bid’ah yang ekstrim
sebagai bagian umat Islam dan tidak pula sebagai bagian dari ahli
kiblat. Bukan sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Halabi.
2. al-Halabi memberikan dukungan secara mutlak untuk bantahan ath-Thurthusyi terhadap para pengingkar al-A’radh.
Pada catatan kaki al-Halabi mengatakan:
“Dan mereka adalah para pengikut Ma’mar dari kalangan Mu’tazilah karena
mereka mengatakan: Tidak boleh bagi Allah untuk menciptakan sesuatu al-aradh, dan tidak pula boleh disifati dengan mampu menciptakan al-A’radh.”
Ucapan tersebut disebabkan kejahilan
al-Halabi tentang manhaj Salaf dan lawan manhaj Salaf yaitu manhaj
Jahmiyyah dan para pengekornya seperti kalangan Asy’ariyyah dan
Kullabiyyah.
Maka aku (asy-Syaikh Rabi’, pen) katakan:
“Berdasarkan kejahilannya yang sangat ini maka ia mengakui/setuju dengan pernyataan ath-Thurthusi: “karena tidak ada jalan untuk menetapkan bahwa alam ini baru dan menetapkan Sang Pencipta kecuali dengan menetapkan al-A’radh” [5]
Pernyataan ini adalah pernyataan yang
batil dan mencapai puncak kebatilan. Karena munculnya dari sikap
mengekor kepada kalangan Jahmiyyah yang merupakan kelompok sesat yang
paling jauh sesatnya dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Juga sangat
jauh dari jalan yang para shahabat mulia berada di atasnya, serta
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, berupa keimanan terhadap
dalil-dalil yang banyak baik dalil syari’ maupun dalil kauni, dan juga
fitrah Allah yang Dia ciptakan di atas keimanan kepada Allah, nama dan
sifat-sifat-Nya serta bahwa Dia sangat mampu untuk melakukan apa Dia
kehendaki.
Prinsip yang batil ini telah menyeret
mereka (kelompok Jahmiyyah) kepada penolakan nama-nama Allah yang indah
dan sifat-sifat-Nya yang mulia serta perbuatan-perbuatan Allah yang
menunjukkan hikmah dan keadilan Allah serta menunjukkan kepada
keagungan, kemuliaan, dan kesempurnaan Allah. Sehingga mereka
menyamakan Allah Ta’ala dengan sesuatu yang tidak ada. Kelompok Jahmiyah
dalam berpegangan dengan prinsip di atas diikuti oleh sekte Asy’ariyyah
dan Kullabiyah.
Sehingga prinsip yang batil ini
menjerumuskan mereka ke dalam sikap penolakan sejumlah sifat Allah dan
perbuatan Allah yang berdasar pada ilmu dan hikmah-Nya.” Selesai
penukilan.
Aku katakan : Kondisi Ali al-Halabi yang sedemikian semrawutnya menjadikanku teringat tentang Ibnu Shayyad yang Nabi shallallahu ‘alai wa sallam telah bersabda kepadanya:
خُلِّطَ عَلَيْكَ الأَمْرُ
Permasalahan ini telah tersamarkan bagimu.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:
إِنِّي قَدْ خَبَأْتُ لَكَ خَبِيئًا
Aku telah menyembunyikan untukmu sesuatu
Ibnu Shayyad mencoba menebaknya dengan mengatakan: Dukh,dukh..
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya lagi:
اخْسَأْ، فَلَنْ تَعْدُوَ قَدْرَكَ
Menyingkirlah, tidak akan melewati kadar (kemampuan)mu. HR. Al-Bukhari (1354) dan Muslim (2924)
Kaidah-kaidah baru yang dibangun oleh
al-Halabi telah membuka keburukan besar atas umat ini. Meskipun demikian
tidak akan mampu melewati kadar kemampuannya. Dan pasti dirinya dan
kaidah-kaidahnya yang bid’ah itu akan tersingkir dan tenggelam dalam
tong sampah sejarah sebagaimana telah menimpa pada para ahli ahwa di sepanjang perjalanan sejarah. Lalu yang tersisa hanyalah perhitungan di hadapan al-Malik al-Ghallab (yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala).
Di antara kaidah-kaidah bid’ahnya pula
adalah kaidah: “Menyelisihi manhaj tidak ada pengaruhnya jika aqidah
telah benar dan kuat, dan juga tidak akan keluar dari salafiyyah.”
Sebagaimana yang ia katakan pada masalah ke-11 dalam “Bainal ‘Aqidah wal Manhaj” dari kitab Manhaj as-Salaf ash-Shalih (hl. 139). [karya Ali Hasan al-Halabi sendiri, pen]
Kaidah di atas mengikuti kaidah batil dia yang lainnya, yang telah ia bangun dalam kitabnya berjudul Manhaj as-Salaf ash-Shalih, seperti kaidah:
لاَ نَجْعَل خِلاَفَنَا فِي غَيرِْنا سببًا فِي الخِلاَفِ بَيْنَنَا
“Janganlah kita menjadikan perbedaan kita dalam menilai orang lain sebagai sebab perselisihan antara sesama kita.”
Dan kaidah:
اِشْتِرَاطِ الإِجْمَاعِ فِي الجَرْحِ
“Dipersyaratkan harus adalah ijma’ dalam hal jarh.”
Kaidah ini telah dibantah oleh kaidah “al-Jarh al-Mufassar muqaddam ‘ala at-Ta’dil.”
Dan kaidahnya yang lain:
عَدَمُ مَصْلَحَةِ هَجْرِ أَهْلِ الأَهْوَاء فِي هَذَا الزَّمَان
“Tidak ada maslahat dari menghajr (memboikot) ahli ahwa pada masa ini.”
Kaidahnya yang lain:
لاَ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ
اِنْتِسَابُ الرَّجُلِ إِلَى السَّلَفِيَّةِ خَالصًا، كَمَا أَنَّهُ لاَ
يَجِبُّ انْتِسَابُ الرَّجُلُ إِلَى الإِسْلاَمِ خَالِصاً
“Seseorang menisbatkan dirinya kepada
as-Salafiyyah tidak harus secara penuh (murni), sebagaimana seseorang
bernisbatkan kepada Islam tidak wajib secara penuh (murni).”
Kaidah-kaidah bid’ah di atas sangat
memberikan pengaruh pada sejumlah kelompok. Dan berikut ini satu contoh
dari mereka yang terpengaruh oleh al-Halabi. Yaitu ketika ia menjelaskan
tentang pembelaan dan penjabaran untuk kaidah bid’ah yang terakhir:
“Aku bertanya kepada banyak orang,
apakah seseorang wajib atasnya untuk menjadi seorang mukmin yang
sempurna imannya, ataukah bisa jadi seseorang telah menjadi seorang
mukmin namun ia terjatuh pada salah satu cabang kemunafikan, bahkan pada
salah satu cabang kekafiran.
Inilah fitnah Khawarij yang besar, yaitu
ketika mereka menjadikan iman seperti lempeng yang satu, tidak memiliki
pembagian. Sedangkan Ahlus Sunnah menjadikan iman seperti apa? Ya, kaum
Ahlus Sunnah menjadikan iman bercabang-cabang. Sehingga seseorang
terkadang telah menjadi mukmin namun ia masih terjatuh pada salah satu
cabang kekafiran sebagaimana yang terdapat pada hadits:
إنك امرؤ فيك جاهلية
Kamu ini orang yang masih ada pada dirimu perkara jahiliyah.
Berdasar penjelasan ini maka aku
katakan: Tidak wajib untuk menjadikan penisbatan seseorang kepada
keimanan dengan benar-benar murni, dengan makna ia meyakini
cabang-cabang tersebut, tidak mengingkarinya. Namun yang aku bicarakan
ini adalah dari sisi amalan. Sehingga seseorang terkadang meyakini bahwa
mencela seorang muslim termasuk perbuatan fasik, namun ia masih
melakukan hal itu. Lalu apakah akan kita katakan bahwa penisbatan orang
ini adalah murni pada keimanan? Atau penisbatannya bukan sebagai
penisbatan yang murni dan sempurna? Sekarang orang tersebut berada di
atas salah satu cabang kefasikan berupa mencela saudaranya muslim.
Demikian pula dengan penisbatan seseorang kepada as-Salafiyah, tidak harus merupakan yang penisbatan yang penuh (murni/total).”
Aku (penulis) katakan :
Dua kitabku yang berjudul
“al-Kawasyif al-Jaliyyah lil Furuq baina as-Salafiyyah wa ad-Da’awaat al-Hizbiyyah al-Bid’iyyah” dan
menjadi bantahan yang rinci dan menjelaskan kebatilan kaidah di atas.
Dan sebagai bahan renungan bagi sekalian pembaca yang cerdik aku sampaikan secara ringkas : “Bahwasanya membawakan kaidah bertambah dan berkurangnya keimanan
pada pembahasan kesalafiyyahan adalah suatu pembauran (perancuan) yang
tidak pada tempatnya. Yaitu para as-Salaf ash-Shalih tidak memahami
dengan pemahaman muhdats (baru/diada-adakan) seperti ini ketika menghukumi ahli bid’ah.
Meskipun tidak diragukan lagi bahwa
terjatuhnya seseorang ke dalam kebid’ahan akan memengaruhi iman sehingga
menguranginya. Akan tetapi orang yang terjatuh ke dalam bid’ah yang
jelas, bukan bid’ah yang samar, maka diterapkan padanya hukum mubtadi’,
yaitu ia dinilai sebagai seorang mubtadi’, meskipun ia mencocoki manhaj
salafi pada sebagian permasalahan. Sehingga yang menjadi landasan
penilaian bukan seberapa ia mencocoki (as-Salafiyyah), akan tetapi yang
dijadikan landasan penilaian adalah perkara apa yang ia selisihi.
Kaidah baru di atas akan menggugurkan manhaj tabdi’, karena tidak didapatkan seorang mubtadi’ pun kecuali padanya ada sebagian perkara yang mencocoki as-sunnah dan manhaj salafi pada sebagian perkara.
Jika yang kamu katakan: Yang dijadikan
sandaran penilaian adalah yang mayoritas pada diri seseorang. Lalu
bagaimanakah kita akan menentukan yang mayoritas ini? Dengan prosentase
atau dengan apa?
Namun yang benar, yang para ‘ulama salaf berjalan di atas adalah, landasan penilaian mengacu pada jenis penyelisihan, bukan jumlahnya. Yaitu yang menjadi acuan penilaian adalah bagaimana ia menyelisihi, bukan jumlah masalah yang ia selisihi.
Kita memiliki teladan yang sempurna pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
beliau menghukumi Khawarij dengan hukum sebagai kelompok yang telah
keluar dari agama, meskipun mereka sangat bersemangat dalam beribadah
dan membaca al-Qur’an. Bahkan beliau menghukumi mereka sebagai
anjing-anjingnya neraka dan sebagai sejelek-jelek makhluk dan perangai.
Sehingga kebaikan dan kecocokan mereka dengan as-sunnah pada sebagian
perkara, tidak bisa mengangkat mereka untuk digolongkan sebagai Ahlus
Sunnah.
Dengan demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menerapkan kaidah bid’ah di atas terhadap kaum Khawarij. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan: Khawarij menisbatkan diri mereka kepada as-sunnah dan salafiyyah dengan penisbatan yang keruh, tidak murni.
Demikian pula dengan sikap yang ditempuh oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Khawarij dan Qadariyyah. Mereka menempuh jalan as-Sunnah yang sama (dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Para imam as-Salaf ash-Shalih juga menempuh manhaj nabawi ini.
Apabila kita mau menelaah lembaran-lembaran kitab-kitab al-jarh wa at-ta’dil
maka akan kita dapati puluhan contoh tentang sebagian orang dan
kelompok yang dibid’ahkan oleh para ulama meskipun ada sebagian sifat
salafiyyah pada sebagian permasalahan.
Oleh karena itu didapatkan pada judul kitab Abu Ja’far al-‘Uqaili tentang adh-Dhu’afa’ (orang-orang
yang dhaif) : “Orang-orang yang digolongkan kepada sifat dusta dan
memalsukan hadits ….. dan pengusung bid’ah yang ghuluw dalam bid’ah dan
mendakwahkannya, meskipun keadaannya dalam bidang hadits masih lurus.”
Aku (penulis) katakan: Andaikan ada seorang muhaddits
(mumpuni dalam bidang hadits), yaitu mampu meriwayatkan hadits beserta
sanad-sanadnya, ia juga seorang yang sangat hafal dengan riwayat-riwayat
itu, hanya saja ia berada di atas bid’ah, mendakwahkan bid’ah itu dan
membela bid’ah – jenis orang seperti ini sangat banyak jumlahnya -, maka
dia tidak bisa dikatakan sebagai orang yang bisa digolongkan sebagai
ahli hadits hanya saja tidak murni karena ada bid’ah padanya. Bahkan
sebaliknya, kita menghukuminya sebagaimana para imam Salaf menghukuminya, yaitu sebagai ahli bid’ah.
Di antara jenis seperti di atas adalah pengikut al-Kullabiyah
pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab. Para ulama membid’ahkan mereka
meskipun dalam sebagian perkara prinsip mereka selaras dengan as-Sunnah.
Mereka tidak menyelisihi kecuali hanya pada masalah penetapan sifat al-Ikhtiyariyyah, yaitu sifat-sifat yang berkaitan dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Jami’ur Rasa’il (II/4):
“Kelompok al-Kullabiyyah dan yang mencocoki mereka dari kalangan kelompok as-Salimiyyah dan selainnya mengatakan: “Ada sifat pada-Nya yang tidak berhubungan dengan kehendak dan qudrah-Nya. Adapun yang berkaitan dengan kehendak dan qudrah-Nya maka tidak akan mungkin ada kecuali berupa makhluk yang berpisah dari-Nya, tidak berada pada Dzat Allah.”
Al-Imam Ahmad membid’ahkan Harits
al-Muhasibi dan Ya’qub bin Syaibah, padahal keduanya memiliki kesamaan
dengan kaum salafiyyin dalam sebagian ushul (prinsip) dan
beberapa permasalahan lainnya. Hanya saja kedua tokoh tersebut telah
mencocoki Jahm bin Sofwan dalam sebagian perkara ushul, sehingga al-Imam Ahmad menggolongkan keduanya kepada Jahmiyyah. Al-Imam Ahmad tidak menerapkan kaidah bid’ah di atas pada kedua orang ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab an-Nubuwwat (I/29) berkata,
“Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa perbuatan Allah bersifat qadim dan azali. Dan perbuatan Allah termasuk sifat yang azali
(tidak ada permulaannya). Pendapat ini adalah pendapat kalangan
kelompok al-Kullabiyyah generasi awal. Dan pendapat ini adalah pendapat
para pengikut Ibnu Khuzaimah ketika terjadi perdebatan antara Ibnu
Khuzaimah dan Kullabiyyah. Yaitu ketika terjadi perdebatan antara Ibnu
Khuzaimah dan mereka dikarenakan prinsip ini. Lalu mereka membuat
kesepakatan padanya yang di antaranya adalah penetapan perbuatan Allah
yang bersifat qadim dan azali.
Sebab terjadinya kesepakatan di atas adalah kalangan al-Kullabiyyah mengatakan: Bahwasanya Allah tidak berbicara berdasar kehendak dan qudrah-Nya. Bahkan perkataan Allah secara ta’yin (dengan kata lain satu persatu perkataan Allah-pen) juga sifat yang lazim (melekat) pada Dzat-Nya dan bersifat azali dan kekal.
Ibnu Khuzaimah dan selainnya mengatakan
sesuai dengan keyakinan yang telah dikenal oleh kaum muslimin dan Ahlus
Sunnah: bahwasanya Allah berbicara dengan berdasar kehendak dan qudrah-Nya.
Dan telah sampai kepadanya bahwa al-Imam Ahmad mencela kelompok
al-Kullabiyyah, dan bahwasanya al-Imam Ahmad memerintahkan agar Harits
al-Muhasibi dihajr (diboikot) ketika sampai kepada beliau bahwa
al-Muhasibi mengikuti pendapat Ibnu Kullab. Al-Imam Ahmad mengatakan:
Jauhilah oleh kalian Harits si Faqir karena ia seorang beraqidah
jahmiyyah. Pernyataan ini masyhur dari al-Imam Ahmad.”
Dalam Dar-u at-Ta’arudh (II/6):
“Sebelum munculnya Abu Muhammad bin
Kullab kaum muslimin terbagi menjadi dua golongan: Ahlus sunnah wal
Jama’ah menetapkan adanya sifat-sifat dan perbuatan pada Allah Ta’ala
yang berdasar kehendak-Nya dan Qudra-Nya. Sedangkan kalangan Jahmiyyah
dan Mu’tazilah serta selainnya mengingkari yang ini (sifat Allah) dan
yang itu (perbuatan Allah). Lalu Ibnu Kullab pun hanya menetapkan sifat lazimah
pada Dzat Allah dan menafikan (menolak/mengingkari) sifat yang ada pada
Allah yang berkaitan dengan kehendak dan qudrah-Nya, baik yang berupa sifat af’al (perbuatan) atau selainnya.
Pendapat di atas didukung pula oleh Abul
‘Abbas al-Qalanisi, Abul Hasan al-Asy’ari, dan selain kedua orang ini.
Adapun Harits al-Muhasibi menisbatkan dirinya kepada pendapat Ibnu
Kullab. Oleh karena itu al-Imam Ahmad memerintahkan agar dia dihajr. Dan al-Imam Ahmad juga mentahdzir Ibnu Kullab dan para pengikutnya.”
Adz-Dzahabi rahimahullah dalam Siyar A’lam an-Nubala’ (12/478) mengatakan: “Abu Bakar al-Marwadzi menyatakan: “Ya’qub bin Syaibah menampakkan sikap tawaqquf
dalam permasalahan itu (yakni masalah: Al-Qur`an kalamullah ataukah
makhluk) dari negeri Baghdad. Oleh karena itu Abu Abdillah (yakni
al-Imam Ahmad) mentahdzirnya. Al-Mutawakkil memerintahkan
Abdurrahman bin Yahya bin Khaqan agar bertanya kepada Ahmad bin Hambal
tentang orang-orang yang membahas-bahas permasalah qadha’
(takdir-pen). Abdurrahman mengatakan: Lalu aku bertanya kepada Ahmad bin
Hambal tentang Ya’qub bin Syaibah dan beliau menjawab: (Ya’qub bin Syaibah) seorang mubtadi’ dan pengekor hawa nafsu.“
Al-Khatib mengatakan: “(al-Imam Ahmad) menilai Ya’qub bin Syaibah dengan penilaian seperti ini karena dia bersikap tawaqquf.”
Aku katakan: Inilah sikap imam sunnah
terhadap Harits al-Muhasibi dan Ya’qub bin Syaibah. Padahal keduanya
“berada di atas kaidah” Ali al-Halabi, yaitu keduanya memiliki
penisbatan kepada as-Salafiyyah dan ilmu dari sisi penilaian
lahiriahnya. Namun penisbatan keduanya tidak murni.
Adapun al-Harits, maka dia memberikan
pembelaan terhadap as-Sunnah dalam sebagian permasalahan ketika
menghadapi Rafidhah dan Mu’tazilah sebagaimana yang dikatakan oleh
al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad (8/211): “al-Harits
(al-Muhasibi) memiliki karya tulis yang banyak tentang masalah zuhd,
juga tentang prinsip-prinsip agama. Juga bantahan terhadap para
penentang dari kalangan Mu’tazilah dan Rafidhah serta selain dua
kelompok ini.”
Adapun Ya’qub bin Syaibah, maka sejumlah
‘ulama ahli hadits telah memberikan pujian kepadanya karena ia memiliki
kekokohan dalam bidang ilal hadits. Dan bahwasanya ia termasuk
pembesar ulama dalam bidang ini. Sampai-sampai al-Humaidi mengatakan
sebagaimana dalam kitab Siyar an-Nubala’ (18/590): “Andaikan pernyataan
Ya’qub terdapat di depan pintu-pintu kamar mandi maka sudah seharusnya
untuk dibaca dan ditulis. Bagaimana tidak, sedangkan ia adalah seorang musnid (ahli hadits) yang tidak ada bandingnya?”
Andaikan kita menerapkan kaidah ‘Ali
al-Halabi terhadap Harits dan Ya’qub bin Syaibah maka kita tidak bisa
membid’ahkan keduanya sebagaimana para imam telah membid’ahkannya.
Bahkan keduanya puluhan kali lipat lebih baik dibanding ruwaibidhah
(para bodoh yang berani bicara tentang urusan besar pada umat, pen)
pada masa sekarang ini, yang Ali al-Halabi telah menerapkan pada mereka
kaidahnya yang bid’ah itu.
Sebagian orang-orang jahil menerapkan
kaidah di atas terhadap Sayyid Quthub, Hasan al-Banna, dan al-Maududi.
Sehingga mereka tidak membid’ahkan orang-orang ini sebagaimana para imam
Dakwah Salafiyyah pada masa sekarang telah membid’ahkan mereka. Dan
kaidah bid’ah inilah hujjah para Quthbiyyin dan orang-orang yang serupa dengan mereka.
Kemudian contoh lain yang sangat banyak jumlahnya, yang tidak mungkin untuk dirinci pada kesempatan yang terbatas ini.
Seorang yang mau merenungi dan
memperhatikan tentang kaidah bid’ah yang al-Halabi, kroni-kroninya, para
pengikutnya sepakat di atasnya, akan mengetahui dengan tanpa sedikit keraguan pun bahwa mereka telah menjadi satu kelompok bid’ah tersendiri.
Karena mereka telah menyelisihi al-firqah an-najiyah dalam makna yang
menyeluruh, dan mereka telah membuat-buat kaidah bid’ah yang bertabrakan
dengan kaidah-kaidah syari’yyah yang telah disepakati oleh para
as-Salaf ash-Shalih.
Asy-Syathibi dalam kitab al-I’thisham (hlm. 415) mengatakan: “Yang demikian itu, bahwa firqah-firqah tersebut menjadi sebuah kelompok karena menyelisihi al-firqah an-najiyah dalam makna yang bersifat menyeluruh dalam agama ini dan kaidah-kaidah syari’at. Bukan sekadar menyelisihi dalam permasalahan juz’i (parsial). Karena permasalahan juz’i dan
permasalahan cabang yang aneh tidak akan muncul darinya perselisihan
yang akan menyeret kepada perpecahan sekte-sekte. Munculnya perselisihan
seperti ini hanyalah terjadi ketika adanya perselisihan dalam perkara
yang bersifat kulli (menyeluruh). Karena perkara yang kulliyaat akan
menuntut sejumlah permasalahan yang tidak sedikit. Dan yang asingnya
pada galibnya tidak hanya khusus pada satu tempat tanpa yang lain, dan
tidak hanya pada satu bab tanpa bab yang lain.”
Aku (penulis) katakan: Dan sungguh Ali
al-Halabi, Abul Hasan, Adnan ‘Ar’ur, al-Mighrawi, Abdurrahman Abdul
Khaliq, dan yang semisal mereka dari kalangan ahli ahwa pada masa
sekarang, betapa miripnya dengan para ahlul kalam terdahulu. Yaitu
orang-orang yang meninggalkan hadits dan atsar lalu menekuni
kaidah-kaidah ilmu kalam dan filsafat sehingga mereka menjadi sesat dan
menyesatkan.
Ibnu Abdul Barr dalam Jami’ Bayan al-Ilmi (2/96) telah mengatakan: “Para ahli fikih dan atsar dari seluruh negeri telah berijma’ bahwa ahli kalam adalah ahli bid’ah dan orang-orang yang menyimpang.
Menurut seluruh ahli fikih dan ahli atsar di seluruh negeri bahwa ahli
kalam tidak termasuk dalam jajaran ulama. Hanyalah yang dikatakan
sebagai ulama adalah ahli atsar dan ahli fikih. Mereka (ahli fikih dan
ahli atsar) saling memiliki kelebihan dalam bidangnya berupa kemapanan
ilmu, keistimewaan tertentu, dan pemahaman yang mendalam.”
Dan sungguh betapa tepatnya pernyataan Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in
(IV/131) ketika menjelaskan keadaan ahli bid’ah itu, Ibnul Qayyim
mengatakan: “Meskipun engkau berusaha bersikap adil terhadap mereka
(ahlul bid’ah) maka tabiat mereka tidak akan menerima sikap adil ini.
Dan meskipun kamu juga meminta mereka bersikap adil. Maka adakah sang
bintang di langit akan bisa dipegang oleh orang yang mencarinya? Hati
mereka telah terbalik, apa yang mereka cari telah tersamarkan bagi
mereka. Mereka rela hanya dengan mendapatkan angan-angan, mereka diuji
dengan bagian yang mereka dapatkan, dan yang mereka dapatkan hanyalah
kekosongan.
Mereka menyelami lautan ilmu namun hanya
dengan dakwaan-dakwaan kosong belaka dan angan-angan yang telah mabuk.
Demi Allah kaki-kaki mereka tidak basah sama sekali oleh air pegunungan
yang mentes setetes demi setetes. Tidak pula akal dan fikiran mereka
menjadi bersih. Malam-malam mereka tidak pula menjadi putih dan tidak
pula siang harinya terlihat cerah dengan cahayanya.
Lembaran-lembaran sejarah tidak menjadi
tertawa riang karena mendapatkan petunjuk dan al-haq karena telah basah
oleh pena-pena mereka. Mereka telah mencurahkan nafas mereka yang paling
berharga dalam perkara yang tidak ada kenyataannya. Mereka hanya
memayahkan diri mereka dan membuat bingung orang yang berada di belakang
mereka.
Mereka menyia-nyiakan perkara ushul sehingga mereka tidak akan bisa sampai tujuan. Mereka juga berpaling dari risalah sehingga mereka terjerembab dalam kubungan kebingungan dan lahan kesesatan.
Maksud dari untaian kalimat di atas adalah bahwa ishmah (keselamatan) terkandung dalam teks-teks nash (dalil). Makna-makna nash itu dalam puncak kejelasan dan penafsiran yang paling bagus. Barang siapa yang hendak melangkah untuk menggapai al-huda (jalan petunjuk, yaitu ilmu yang bermanfaat, pen) dan dinul haq (amal shalih) namun tidak mengambil dari lenteranya maka akan sulit baginya dan tidak mudah.”
Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala
(10/547) mengatakan: “Inilah puncak dari apa yang ada pada mereka yang
mengaku mendalam ilmunya. Hanyalah ungkapan kata yang Allah tidak
memperhatikannya. Dengannya mereka mengubah firman Allah dari
kedudukannya baik yang dahulu maupun yang sekarang. Sehingga kita
berlindung kepada Allah dari ilmu kalam dan para pendukungnya.”
Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam an-Nubala,
(120/12) tentang biografi al-A’yun Abu Bakar Muhammad bin al-Hasan bin
Tharif: ‘Abdullah bin Ahma mengatakan: Maka ayahku mendoakan rahmat
baginya dan mengatakan: Sungguh aku sangat iri kepadanya, ia meninggal dalam keadaan tidak mengetahui kecuali ilmu hadits, ia tidak pernah menjadi orang yang menguasai ilmu kalam.”
Adz-Dzahabi mengatakan: “Demikianlah para imam Salaf. Mereka berpendapat tidak boleh memasuki ilmu kalam dan tidak pula jidal
(perdebatan). Bahkan sebaliknya mereka mencurahkan segenap kemampuan
mereka untuk mempelajari Kitabullah, as-Sunnah, dan mendalami ilmu
tentang keduanya. Mereka berusaha ittiba’ dan tidak memberat-beratkan diri.”
Adz-Dzahabi dalam biografi Abu Dzar
al-Harawi ‘Abd bin Ahmad bin Muhammad (wafat 343 H) – perawi kitab
Shahih al-Bukhari dari tiga orang, yaitu al-Mustamli, al-Hamawi, dan
al-Kusymihuni - dalam kitab Siyar A’lam an-Nubala’ (17/557) mengatakan:
“Ia (al-Harawi) menekuni ilmu kalam dan pandangan akal Abul Hasan dari
al-Qadhi Abu Bakr bin ath-Thayyib. Ia menyebarkannya di Makkah. Kemudian
orang-orang Maghrib (Maroko) membawa pemikirannya ke negeri Maghrib dan
Andalus.
Sebelum itu para ulama di Maghrib tidak
pernah memasuki ilmu kalam. Bahkan mereka berusaha mapan dalam fikih,
hadits, atau ilmu bahasa arab. Mereka tidak pernah sama sekali menerjuni
pembahasan ma’qul (akal). Di atas manhaj inilah al-Ashili, Abul
Walid bin al-Faradhi, Abu ‘Umar ath—Thalmanki, Makkai bin Qaisy, Abu
‘Amr ad-Dani, abu ‘Umar bin ‘Abdil Barr, dan para ulama.”
Ibnul Qayyim dalam Badai’ al-Fawaid (IV/150) mengatakan: “Inilah hujjah-hujjah ar-Rabb tabaraka wa ta’ala
untuk menjelaskan kebatilan apa yang disematkan kepada-Nya oleh para
musuh-Nya dan para pendusta. Maka timbanglah antara hujjah-hujjah
tersebut dengan hujjah ahli kalam yang terlalu panjang dan
bertele-tele, yang hanya seperti pohon berduri yang tidak menggemukkan
dan tidak mengenyangkan. Jika kamu mau menimbang antara keduanya maka
akan terlihat di hadapanmu perbedaannya jika memang kamu seorang yang
memiliki bashirah. Maka barang siapa yang buta (tidak mau melihat
keutamaan dan kelebihan ayat-ayat dan agama Allah-pen) di dunia ini
maka di akhirat ia juga akan buta dan menjadi orang yang paling sesat
jalannya.
Dengan demikian segala puji bagi Allah
yang telah memberikan kekayaan bagi hamba-hamba-Nya kaum mukminin,
yaitu dengan memberikan Kitab-Nya dan semua yang Dia tuangkan dari
hujah-hujah dan penjelasan-Nya. Sehingga mereka tidak lagi butuh kepada
bualan-bualan ahli kalam dan igauan-igauan orang-orang dungu.
Sungguh betapa besar karunia Allah
ta’ala yang Ia berikan kepada hamba-Nya. Yaitu Allah menjadikannya kaya
dengan pemahaman kitab-Nya dan tidak butuh kepada selainnya:
أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا
أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ
لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan apakah tidak cukup bagi mereka
bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (al-Quran) sedang dia
dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (al-Quran) itu terdapat
rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman. (QS. al-’Ankabut: 51)
Wallahul musta’an wa ‘alaihi tuklaan.
Ditulis oleh
Abu Abdul A’la Khalid bin Muhammad bin Utsman al-Mishri
sore hari Rabu 10 Dzulqa’dah 1434 H
(diterjemahkan oleh Ust. Fathul Mujib hafizhahullah)
teks aslinya bisa didapat di sini
atau unduh PDF-nya di :
[3] Sekte al-Hululiyyah. Dari kata al-Hulul yang arti tinggal atau menetap. Sekte al-Hululiyyah ini meyakini bahwa Allah bertempat/berada pada makhluk-makhluk. Subhanahu wa Ta’ala ‘amma yaqulun!
Ada pula kelompok lain yang disebut dengan al-Ittihadiyyah atau wihdatul wujud, yaitu meyakini bahwa semua wujud yang ada di alam ini merupakan wujud Allah itu sendiri, bukan wujud selain-Nya, tidak ada kecuali hanya wujud-Nya saja.
Perbedaan antara al-Hululiyyah dengan al-Ittihadiyyah adalah,
- Bahwa al-Ittihadiyyah meyakini bahwa alam semesta ini semuanya adalah wujud Allah. Tidak ada perbedaan antara wujud alam dengan wujud Allah. Jadi semua yang ada di alam ini tidak lain merupakan wujud Allah itu sendiri.
- Adapun al-Hululiyyah, masih membedakan antara dua wujud, yaitu : (1) wujud Allah, (2) wujud makhluk. namun Allah bertempat di dalam makhluk.
Tidak diragukan dua kelompok tersebut sama-sama kafir. Namun al-Ittihadiyyah lebih para kekufurannya daripada al-Hululiyyah. (ed)
[4] Salah satu sekte kelompok Syi’ah, pengikut Abu Manshur al-’Ijli. Di antara keyakinan sesatnya, dia meyakini bahwa ‘Ali adalah bagian dari langit yang jatuh. Dan bahwa Abu Manshur dimi’rajkan ke langit, sehingga ia pun melihat Allah kemudian diusap kepala, seraya Allah berfirman kepadanya, “Wahai anakku, turunlah, sampaikanlah dari-Ku.” Dan masih banyak lagi. (ed)
[5] Al-A’radh ( الأَعْرَاض ) adalah bentuk jamak dari kata al-’Aradh ( العَرَض ). Maknanya adalah sesuatu yang ada pada benda yang lainnya, misalnya warna. Kata ini lawan dari kata al-Jauhar,
yaitu Sesuatu yang berdiri sendiri. Dua kata ini termasuk di antara
kata-kata yang tidak dikenal di kalangan para shahabat dan tabi’in.
Kelompok Jahmiyyah, Mu’tazilah,
Asy’ariyyah, dan lainnya, dalam membuktikan keberadaan Allah berdalil
dengan keberadaan alam yang baru, yaitu itu dibuktikan dengan barunya al-’Ardh.
Asy-Syaikh Muhammad Khalil Harras rahimahullah berkata,
“Ketahuilah, ahlul kalam dari kalangan Jahmiyyah dan Mu’tazilah, serta
para pengikutnya dalam menetapkan bahwa alam semesta ini baru dan
menetapkan keberadaan Sang Pencipta, mereka menempuh suatu cara yang
bid’ah dalam syari’at dan goncang dalam tinjauan akal. Namun demikian,
mereka mewajibkan cara bid’ah tersebut dan meyakini bahwa tidak mungkin
untuk bisa mengenal Sang Pencipta kecuali dengan cara bid’ah tersebut. …
yaitu mereka mengatakan, tidak mungkin mengenal Sang Pencipta
kecuali dengan menetapkan bahwa alam semesta ini baru, dan tidak mungkin
menetapkan bahwa alam ini baru kecuali dengan menetapkan bahwa
fisik-fisik yang ada baru. Cara untuk itu adalah berdalil dengan barunya al-A’radh untuk membuktikan barunya sesuatu yang al-A’radh itu ada padanya. …. . (Syarh an-Nuniyyah) (ed)
sumber: http://dammajhabibah.net/2013/10/29/meruntuh-kaidah-kaidah-bidah-al-halabi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar