سم الله الرحمن الرحيم
Pengantar
Mengenal ‘ulama kibar dan
keilmuan mereka merupakan salah satu pembahasan penting yang mesti
diketahui. Karena kita diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengembalikan berbagai urusan agama kita kepada mereka, terkhusus Nawazilil Umur (permasalahan kontemporer) yang menimpa umat. Sebagaimana firman Allah,
{وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ
الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ
وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ
يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا (83)} [النساء:
83]
Dan apabila datang kepada
mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu
menyiarkannya. Kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri
di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil
Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu,
tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di
antaramu). (an-Nisa: 83)
Sehingga dengan tulisan ini
diharapkan para pembaca mengenal siapa ‘ulama kibar di masa ini. Yang
di antara tugas dan misi para ‘ulama kibar tersebut, sebagaimana dalam
sebuah hadits,
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ
كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الغَالِيْنَ
وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنِ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ
Ilmu agama ini akan terus
dibawa oleh orang-orang adil (terpercaya) dari tiap-tiap generasi, yang
selalu berjuang membersihkan agama ini dari : Tahriful Ghalin (pemutarbalikan pengertian agama yang dilakukan oleh orang-orang yang menyimpang), Intihalul Mubthilin (Kedustaan orang-orang sesat yang mengatasnamakan agama), dan Ta’wilul Jahilin (Penta’wilan agama yang salah yang dilakukan oleh orang-orang jahil) (asy-Syari’ah karya al-Ajurri, Al-Ibanah Ibnu Baththah, dishahihkan oleh al-Albani dalam Misyakah al-Mashabih no. 248)
Ketika umat telah mengenal keberadaan para ‘ulama kibar yang berjalan di atas
manhaj yang lurus dan keilmuan yang luas, maka mereka akan terhindar
dari salah satu sikap tercela yang membahayakan, yaitu mengembalikan
urusan umat kepada al-ashaghir atau ar-ruwaibidhah.
Untuk yang pertama, yaitu bahaya mengambil ilmu dari al-asaghir, berkata tentangnya ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu :
لا يزال الناس في خير ما أخذوا العلم عن أكابرهم ، وإذا أخذوه عن أصاغرهم وشرارهم هلكوا
“Umat manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan
selama mereka mengambil ilmu dari tokoh-tokoh besar mereka (yakni para
‘ulama kibar ahlus sunnah). Namun apabila mereka mengambilnya dari
orang-orang kecil dan orang jelek mereka (para ahlul bid’ah dan pengekor
hawa nafsu) pasti umat akan binasa.” (Jami’ Bayinil ‘ilmi wa Fadhlihi, 1057)
Untuk yang kedua, yaitu bahaya mengambil ilmu dari ar-ruwaibidhah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ
سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ، يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ، وَيُكَذَّبُ فِيهَا
الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا
الْأَمِينُ، وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ» ، قِيلَ: وَمَا
الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ: «الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ»
Akan tiba nanti kepada umat
manusia masa-masa yang penuh tipu daya. Para pendusta dianggap orang
jujur sebaliknya orang jujur dicap pendusta. Orang yang khianat dianggap
amanah dan orang yang amanah dicap pengkhianat. Dan para Ruwaibidhah mulai angkat bicara!
Ada yang bertanya : “Siapa itu Ruwaibidhah?”
beliau menjawab : “Orang dungu sok berbicara tentang urusan orang banyak (umat).” [1])
Demikian juga bahaya mengambil ilmu atau fatwa dari para juhala‘ (orang-orang bodoh) yang telah diposisikan oleh umat sebagai ‘ulama tempat mendapatkan fatwa, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ
الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَ لَكِنْ يَقْبِضُ
الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتىَّ إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا،
اِتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهًّالاً، فَسُئِلُوا، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ
عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allah tidak
mencabut ilmu dengan serta merta dicabut dari qalbu-qalbu hati manusia.
Akan tetapi Allah mencabutnya dengan mewafatkan para ‘ulama. Sehingga
kalau Allah tidak lagi menyisakan seorang ‘ulama pun, maka manusia akan
menjadikan pimpinan-pimpinan yang bodoh, sehingga para pimpinan bodoh
tersebut akan ditanya sehingga mereka berfatwa tanpa ilmu, akhirnya
mereka sesat dan menyesatkan. [Muttafaqun ‘alaihi][2])
Tidak dapat dipungkiri bahwa
salah satu ‘ulama kibar di masa ini, yang dikenal dengan keilmuannya
yang luas, dan kelurusan manhajnya, serta kegigihannya dalam membela
sunnah dan membantah berbagai bid’ah dan kesesatan, adalah asy-Syaikh al-’Allamah DR. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah
Agar umat dapat mengenal
beliau lebih dekat, maka kami sajikan dalam situs tercinta ini resensi
kitab-kitab karya beliau dalam berbagai disiplin ilmu, insya Allah. Selamat mengikuti.
__ * * * __
أضواء إسلامية على عقيدة سيد قطب وفكره
Adhwa’ Islamiyyah ‘ala aqidati Sayyid Quthub wa fikrihi
Segala puji syukur
hanyalah milik Allah Ta’ala yang senantiasa menjaga agama ini dari
berbagai penyimpangan dan kedustaan dengan adanya para ulama yang
membimbing umat, Rasulullah bersabda:
يَحْمِلُ هَذَا الْعِلْمَ مِنْ
كُلِّ خَلَفٍ عُدُوْلُهُ يَنْفُوْنَ عَنْهُ تَحْرِيْفَ الْغَالِيْنَ
وَانْتِحَالَ الْمُبْطِلِيْنَ وَتَأْوِيْلَ الْجَاهِلِيْنَ
“Ilmu agama ini akan terus
dibawa oleh orang-orang adil (terpercaya) dari tiap-tiap generasi yang
selalu berjuang membersihkan agama ini dari pemutarbalikan pemahaman
agama yang dilakukan orang-orang yang menyimpang, kedustaan orang-orang
sesat yang mengatasnamakan agama, dan dari pentakwilan agama yang salah
yang dilakukan orang-orang jahil.” (HR. Al Khathib Al Baghdadi
dalam Syaraf Ash habil Hadits hal. 11. Asy Syaikh Al Albani menukilkan
penshahihan dari Al Imam Ahmad dan Al ’Ala`i dalam Misykatul Mashabih)
Diantara para ulama tersebut adalah Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullahu
seorang alim yang telah diakui keilmuannya dan dikenal dengan kelurusan
manhajnya serta kegigihannya di dalam membela Tauhid dan Sunnah serta
memerangi bid’ah dan Ahli bid’ah, sebagai upaya menjaga kaum muslimin
dari bahaya penyimpangan dan kerusakan akidah yang tersebar.
Banyak pujian para ulama yang ditujukan kepada asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullahu, diantaranya yang disampaikan oleh Asy Syaikh Al Muhaddits Nashiruddin Al Albani rahimahullahu ketika
mengomentari Sayyid Quthub selesai membaca kitab ‘Al Awaashim mimma fi
kutubi Sayyid Quthub minal Qawaashim (salah satu kitab karya Asy Syaikh
Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullahu di dalam membantah Sayyid Quthub):
‘Seluruh yang kau bantahkan
kepada Sayyid Quthb adalah benar dan tepat, dan darinya akan menjadi
jelas bagi setiap pembaca muslim yang memiliki pengetahuan tentang Islam
bahwa Sayyid Quthb tidak berada di atas pengetahuan Islam, baik
pokok-pokok dasar Islam maupun cabang-cabangnya. Semoga Allah membalas
anda dengan kebaikan wahai al-Akh Rabi’ atas upayamu melakukan kewajiban
penjelasan dan membongkar kebodohan dia (Sayyid Quthb) serta
penyimpangannya dari agama Islam.’ – (tertanda) Nashir – [3] “
Berbicara tentang Sayyid
Quthub, maka nama tersebut sudah tidak lagi asing bagi para aktivis
pergerakan tertentu di Indonesia, ia bak cendekiawan besar yang
pemikirannya senantiasa dinanti, dielukan, diikuti serta cepat mendapat
tempat di ruang hati para pemujanya. Demikian dipuja dan ditokohkan,
membuat sosok tersebut seakan ma’shum dari kesalahan dan kekurangan,
ketika didapati ada kritikan serta merta para pemujanya tampil sebagai
pembela.
Kitab-kitab hasil karyanya
mendapat sambutan hangat dari para aktivis pergerakan, dalam keadaan
kitab-kitab tersebut penuh dengan kebidahan, kesesatan, pemikiran yang
rusak dan berbagai fatwa yang berseberangan dengan syariat.
Berbagai pemikiran batil
tersebut telah dibantah oleh asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali
dengan ilmiah dalam empat kitab yang sangat berharga, yaitu:
- Adhwa` Islamiyah ‘Ala ‘Aqidati Sayyid Quthub wa Fikrihi,
- Matha’in Sayyid Quthub Fi Ash-habi Rasulillah radhiyallahu ‘anhu,
- Al-‘Awaashim Mimma Fi Kutubi Sayyid Quthub Min al-Qawaashim,
- dan al-Haddul Fashil Baina a- Haqqi wa al-Bathil.
Kitab yang pertama adalah Adhwa’ Islamiyyah ‘ala aqidati Sayyid Quthub wa fikrihi,
menyingkap kerusakan akidah, dan bantahan terhadap orang-orang yang
berlebihan kepada Sayyid Quthub. Kitab ini selesai penulisannya pada
bulan Dzulqa’dah tahun 1413 Hijriah.
Pada kitab ini asy-Syaikh
Rabi’ mengawali dengan Mukaddimah yang berisi latar belakang penulisan
kitab dan disusul dengan sekilas tentang perjalanan hidup Sayyid Quthub,
kemudian beliau mulai menjelaskan poin-poin kesalahan Sayyid pada
bab-bab selanjutnya dengan metode menyebutkan nukilan
kebatilan-kebatilan Sayyid Quthb dari kitab-kitabnya, kemudian diikuti
dengan bantahan terhadapnya secara ilmiah dari Al Quran, as-Sunnah, dan
penjelasan-penjelasan para ‘ulama pada permasalahan tersebut.
Asy-Syaikh Rabi’ menyebutkan
bahwa Sayyid Quthub telah terjatuh dalam kebid’ahan yang sangat besar
dan sangat banyak, melebihi dari apa yang telah tercatat dalam kitab
ini. Beberapa poin tersebut diantaranya adalah;
1. Mencela terhadap kredibilitas khalifah Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Sebagaimana pernyataannya: “Kami
cenderung menganggap khilafah ‘Ali sebagai kepanjangan yang alami bagi
khilafah syaikhani sebelumnya (Abu Bakr dan Umar) dan sesungguhnya masa
Utsman adalah celah di antara keduanya”. (Adhwa’ Islamiyyah hal.26, nukilan dari kitab Sayyid yang berjudul al-‘Adalah al-Ijtima’iyyah)
Kemudian pernyataannya, bahwa
hukum Islam telah berubah pada masa pemerintahan ‘Utsman, tidak baik di
dalam pengaturan harta kaum muslimin, mengutamakan keluarga, serta
berbagai tuduhan keji yang lain. (Adhwa’ Islamiyyah hal 26-27 dengan
ringkasan dari penyusun)
2. Mengenal Kitab-Kitab al-’Allamah
Rabi’ al-Madkhali (3)Menyelisihi pemahaman ahlus sunnah dalam
menafsirkan kalimat tauhid. Sayyid menyatakan bahwa makna Laa ilaha illallah adalah La hakimiyyah illallah dan bukan dengan laa ma’buda bihaqqin illallah.
Selain itu Sayyid Quthb juga tidak mempunyai kejelasan di dalam masalah
perbedaan antara tauhid rububiyyah dengan tauhid uluhiyyah, dan menukar
makna rububiyyah dengan uluhiyyah sehingga hilanglah fungsi tauhid
(uluhiyyah) yang Allah mengutus para rasul-Nya dengan membawa tauhid
uluhiyyah tersebut.
3. mengkafirkan masyarakat kaum
muslimin dan mengatakan bahwa masjid-masjid mereka adalah tempat
peribadahan jahiliyyah, Sayyid Quthub juga beranggapan bahwa masyarakat
muslimin telah murtad, ia katakan: “…Sesungguhnya manusia telah kembali kepada jahiliyyah dan murtad dari la ilaha illallah. Sehingga
mereka memberikan kekhususan ketuhanan kepada manusia, dan (mereka)
belum kembali mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla dan memurnikan loyalitas
kepada-Nya… Manusia secara keseluruhan, termasuk di dalamnya adalah
mereka yang mengulang-ulang di atas tempat adzan di belahan bumi timur
maupun barat kalimat laa ilaha illallah tanpa ada makna dan realita…
Mereka itu lebih berat dosa dan adzabnya di hari kiamat, karena mereka
murtad menuju peribadatan kepada para hamba setelah jelas baginya
petunjuk, dan setelah sebelumnya mereka dalam agama Allah ‘Azza wa
Jalla”. (Fi Zhilalil Qur`an, 2/1057 dinukil dari Adhwa` Islamiyyah, hal. 75)
Demikian ia memvonis murtad
masyarakat muslim di belahan timur bumi maupun barat, hanya karena
anggapannya bahwa mereka tidak berhukum dengan hukum Allah ‘Azza wa
Jalla. Sungguh batil apa yang ia ucapkan. Ucapannya itu timbul karena
dia melenceng dari akidah Ahlus Sunnah dalam masalah ini.
4. Berlebihan di dalam meniadakan sifat-sifat Allah sebagaimana Jahmiyyah. Di antaranya Sayyid Quthb meniadakan sifat Istiwa’, Nuzul, al-Yad. Poin ini banyak ditemui di kitab Fi Zhilalil Qur’an. Dalam hal ini, dia mempunyai kaidah yang menunjukkan bahwasanya dia mengetahui khilaf antara ahlus sunnah dan ahlul bidah, akan tetapi ternyata kecondongan kepada pendapat ahlul bid’ah-lah yang dia pilih.
5. Ragu dan membuat keraguan tentang permasalahan akidah yang wajib untuk diyakini, seperti masalah al-Jannah
(Surga) yang ditempati pertama kali oleh Nabi Adam, keberadaan malaikat
dan iblis, serta keraguan bahwa Allah mengajak bicara Adam, malaikat
dan iblis, bahkan mengingkari permasalahan yang telah mutawatir tentang ru’yatullah di Hari Kiamat.
6. Meremehkan syirik dalam
hal peribadahan, dan banyak membesar-besarkan syirik dalam hal hukum
kepada selain hukum Allah. Mengatakan bahwa kesyirikan bangsa Arab yang
pokok dan mendasar bukan pada permasalahan akidah, akan tetapi pada permasalahan hakimiyyah,
sehingga berangkat dari pemikirannya ini dia tidak mengingkari syirik
kubur, bahkan tidak menganggapnya sebagai kesyirikan dan kerusakan dalam
akidah.
7. Pernyataan dan keyakinannya tentang Al-Hulul dan Al-Ittihad atau Wihdatul Wujud. [4]
Sayyid berpendapat bahwa wihdatul wujud dan al-hulul adalah bentuk
kesempurnaan yang tidak didapati oleh kebanyakan manusia sehingga
barangsiapa yang tidak sampai pada tingkatan ini mustahil bisa
mentadabburi ayat-ayat Allah.
8. Meruntuhkan prinsip al wala wal
bara, diantara pernyataan Sayyid bahwa agama Islam tidaklah merasa
sempit dengan adanya perbedaan manusia di dalam manhaj dan akidah,
bahkan menganggapnya sebagai salah satu kebutuhan dari berbagai
kebutuhan fitrah manusia.
beberapa point yang tersebut
di atas hanyalah sedikit diantara sekian banyak kesesatan dalam
permasalahan akidah yang memenuhi kitab-kitab Sayyid Quthb.
Kemudian asy-Syaikh
al-’Allamah Rabi’ al-Madkhali memberikan kesimpulan di akhir kitabnya
dengan menyebutkan point-point kesalahan Sayyid Quthb secara ringkas,
beserta bukti bahwa dia tidaklah terjatuh pada berbagai kesalahan
disebabkan kejahilannya, hal itu terbukti dengan 2 hal:
- Sayyid mengisyaratkan adanya khilaf (perbedaan) antara ahlus sunnah dan ahlul bid’ah di dalam menyikapi sebuah permasalahan, namun ternyata dia condong kepada pendapat ahlul bidah, kemudian menggiring pembaca untuk mengikuti pendapat ahlul bidah bahkan berusaha menganggap remeh dan ringan permasalahan khilaf di bidang akidah tersebut, dengan tujuan pembaca yang semula seorang ahlus sunnah bisa bergabung dengan ahlul bidah atau minimalnya menganggap ringan permasalahan khilaf di bidang akidah dan menghormati ahlul bidah.
- tidak ruju’ kepada al-haq setelah diperingatkan asy-Syaikh Mahmud Syakir tentang celaan dia terhadap khalifah Utsman bin ‘Affan dan para shahabat, bahkan dia terus di atas kesesatannya dengan mengijinkan untuk dicetak kembali buku-bukunya dan menambahkan pembahasan baru di dalam kitabnya al-’Adalah al-Ijtima’iyyah bahwa masyarakat muslimin telah murtad.
Sehingga bisa disimpulkan,
bahwa anggapan Sayyid Quthb telah ruju’ atau tidak mengetahui hakekat
permasalahan adalah anggapan yang batil dan salah, bahkan berbagai
tindakan Sayyid Quthb di dalam menukilkan pemikirannya dari satu kitab
ke kitab yang lain, atau menyandarkan kitab-kitab karyanya yang terbaru
kepada kitab-kitab karyanya yang terdahulu, semakin menguatkan bahwa dia
masih terus-menerus dan tenggelam di dalam pemikiran yang sesat dan
tidak berupaya menyelamatkan diri dengan cara menuruti nasehat para
ulama.
Akhir kata, kitab ini Adhwa’ Islamiyyah ini
menjadi pembuka cakrawala dan pencerah bagi para pencari kebenaran
tentang hakikat Sayyid Quthub dan pemikirannya. Semoga Allah senantiasa
menjaga dan melindungi kita dari fitnah yang tampak maupun yang
tersembunyi, dan semoga Allah senantiasa menjaga para pewaris nabi yaitu
para ulama sunnah di setiap zaman, amin Ya Rabbal ‘Alamin.
[1] HR. Ibnu Majah 4042; Al Hakim IV/465, 512; Ahmad II/291, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah no. 4108. dan Ash Shahihah no. 1887.
[2] HR. Al Bukhari no. 100; Muslim 2673.
[3] Maksudnya adalah : “Tertanda Muhammad Nashiruddin al-Albani”
[4] Sekte al-Hululiyyah. Dari kata al-Hulul yang arti tinggal atau menetap. Sekte al-Hululiyyah ini meyakini bahwa Allah bertempat/berada pada makhluk-makhluk. Subhanahu wa Ta’ala ‘amma yaqulun!
Ada pula kelompok lain yang disebut dengan al-Ittihadiyyah atau wihdatul wujud,
yaitu meyakini bahwa semua wujud yang ada di alam ini merupakan wujud
Allah itu sendiri, bukan wujud selain-Nya, tidak ada kecuali hanya
wujud-Nya saja.
Perbedaan antara al-Hululiyyah dengan al-Ittihadiyyah adalah,
- Bahwa al-Ittihadiyyah meyakini bahwa alam semesta
ini semuanya adalah wujud Allah. Tidak ada perbedaan antara wujud alam
dengan wujud Allah. Jadi semua yang ada di alam ini tidak lain merupakan
wujud Allah itu sendiri.
- Adapun al-Hululiyyah, masih membedakan antara dua wujud, yaitu : (1) wujud Allah, (2) wujud makhluk. namun Allah bertempat di dalam makhluk.
Tidak diragukan dua kelompok tersebut sama-sama kafir. Namun al-Ittihadiyyah lebih para kekufurannya daripada al-Hululiyyah.
sumber: http://dammajhabibah.net/2013/11/07/mengenal-kitab-kitab-al-allamah-rabi-al-madkhali-3/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar