Ghuluw terhadap Orang-orang Sholih
oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah-
[Pengasuh Ponpes Al-Ihsan Gowa, Sulsel]
Sikap ghuluw (berlebihan) terhadap orang-orang sholih, banyak kita temukan pemandangannya di negeri kita, dari sabang sampai Merauke. Ghuluw (ekstrim) kepada mereka adalah melampaui batas dalam mengagungkan orang-orang sholih sampai terjerumus dalam kesyirikan.
Orang-orang sholih yang dikultuskan terkadang dari kalangan nabi, orang
yang dianggap wali, kiyai, guru, pemimpin, dan lainnya. Bahkan parahnya
lagi, ada yang mengkultuskan hewan dan berlebihan padanya (semisal,
kiyai Slamet di Solo). [Lihat At-Tamhid (hal. 331)]
Sikap ghuluw terhadap orang-orang yang dianggap sholih bisa berupa ucapan, perbuatan atau keyakinan hati. Ghuluw dalam ucapan, seperti ghuluw-nya
orang-orang Yahudi yang mengatakan bahwa Uzair adalah anak Allah, atau
orang-orang Nasrani yang mengatakan bahwa Nabi Isa bin Maryam adalah
anak Allah. Ghuluw dalam perbuatan,
seperti melakukan thowaf pada kuburan, ber-i’tikaf (berdiam diri alias
tirakatan) di kuburan, atau beribadah padanya karena meyakini ibadah
disana lebih khusyu’ dan syahdu. Diantara ghuluw dalam perbuatan,
berdo’a menghadap kubur Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- atau kubur
siapa saja!!
Adapun ghuluw dalam keyakinan,
seperti keyakinan kaum shufi (tarekat) bahwa
Semua ini adalah bentuk ghuluw dan kultus individu yang akan menyeret umat manusia menuju kubang kesyirikan yang telah diharamkan oleh Allah -Azza wa Jalla- di dalam seluruh kitab-kitab-Nya, dan para nabi atau rasul dalam syari’at mereka.
Pembaca yang budiman, tahukah anda tentang sebab manusia jatuh dalam lembah kesyirikan
sehingga mereka mengangkat sekutu dan tandingan bagi Allah.
Sekutu-sekutu itu mereka jadikan tempat bermohon, tawakkal, takut, dan
mengharapkan sesuatu atau hajatnya kepada mereka?! Jawabnya, semua itu bermula dari sikap ghuluw (berlebihan)nya manusia kepada orang-orang sholih.
Inilah yang pernah disinyalir oleh Allah -Azza wa Jalla- dalam firman-Nya,وَقَالُوا لاَ تَذَرُنَّ آَلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا [نوح/23]“Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr”. (QS. Nuh : 23)
Wadd, Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr adalah nama-nama orang sholih yang dikultuskan oleh kaum Nabi Nuh -Shallallahu alaihi wa sallam- sehingga berubah menjadi berhala-berhala dan arca yang disembah oleh mereka dan selainnya.
Abdullah bin Abbas -radhiyallahu anhu- berkata,
صَارَتْ الْأَوْثَانُ
الَّتِي كَانَتْ فِي قَوْمِ نُوحٍ فِي الْعَرَبِ بَعْدُ أَمَّا وَدٌّ
كَانَتْ لِكَلْبٍ بِدُوْمَةِ الْجَنْدَلِ وَأَمَّا سُوَاعٌ كَانَتْ
لِهُذَيْلٍ وَأَمَّا يَغُوثُ فَكَانَتْ لِمُرَادٍ ثُمَّ لِبَنِي غُطَيْفٍ
بِالْجَوْفِ عِنْدَ سَبَإٍ وَأَمَّا يَعُوقُ فَكَانَتْ لِهَمْدَانَ
وَأَمَّا نَسْرٌ فَكَانَتْ لِحِمْيَرَ لِآلِ ذِي الْكَلَاعِ أَسْمَاءُ
رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى
الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ أَنْ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمْ الَّتِي
كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ فَفَعَلُوا
فَلَمْ تُعْبَدْ حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ الْعِلْمُ
عُبِدَتْ
“Berhala-berhala yang dahulu ada pada kaumnya Nuh, setelah itu ada pada orang-orang Arab. Adapun Wadd, maka ia adalah berhala suku Kalb di daerah Dumatul Jandal. Adapun Suwaa’, maka ia adalah berhala milik suku Hudzail. Adapun Yaghuts, maka ia adalah berhala milik suku Murod, lalu Suku Bani Ghuthoif di daerah Al-Jauf, di sisi negeri Saba’. Adapun Ya’uuq, maka ia adalah berhala bagi suku Hamdan. Adapun Nasr,
maka ia adalah berhala milik suku Himyar, yaitu keluarga Dzul Kala’.
(Semua nama berhala-berhala itu) adalah nama orang-orang sholih dari
kaumnya Nuh. Tatkala mereka meninggal, maka setan mewahyukan kepada kaum
mereka, “Bangunlah pada majelis-majelis mereka arca-arca, dan namailah
dengan nama-nama mereka”. Akhirnya, mereka melakukan hal itu, tapi
berhala-berhala itu belum disembah sampai kaum (yang membangun
berhala-berhala itu) telah binasa, ilmu telah hilang, maka
berhala-berhala itu akhirnya disembah”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab At-Tafsir (no. 4920)]
Para ahli tafsir menjelaskan
awal penyimpangan kaum Nuh sampai mereka menyembah berhala bahwa mereka
membuat tugu kenangan dalam rupa orang-orang sholih itu di
majelis-majelis mereka agar mereka memiliki semangat untuk beramal
sholih saat melihat gambar atau tugu mereka. Kemudian setan membisikkan
kepada mereka agar mencari berkah dengan cara mengusap tugu atau arca
tersebut. Ritual ini berlangsung lama sampai terus berkembang dengan
diikuti dengan ritual-ritual lainnya, berupa penyembelihan hewan di
sisinya, bersujud di hadapannya, berdoa kepadanya, dan berbagai macam
penyembahan lainnya. Ketika paham PAGANISME
(penyembahan berhala) masuk ke negeri Arab melalui usaha buruk dari Amer
bin Luhaiy. Akhirnya, tersebarlah penyembahan berhala di Makkah dan
Jazirah Arab saat itu. [Lihat Fath Al-Bari (14/53) karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy]
Orang-orang sholih itu adalah
makhluk yang lemah yang tak layak disembah. Ketika ia disembah dan
diibadahi, maka para penyembahnya telah mengangkat derajat orang-orang
sholih itu sebagai seorang makhluk atau hamba menjadi tuhan yang
disembah. Inilah yang dimaksud dengan ghuluw (berlebihan dan melampaui batas).
Di zaman dahulu paham paganisme
amat tersebar di penjuru dunia, sampai pengikut agama-agama samawi
(seperti, orang-orang Yahudi dan Nasrani) pun terjangkiti penyakit
pengkultusan dan penyembahan kepada selain Allah. Karenanya, mereka
menyembah nabi-nabi dan orang sholih mereka.
Inilah sebabnya mereka mendapat teguran dari Allah -Azza wa Jalla- dalam firman-Nya,
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ
لاَ تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلاَّ الْحَقَّ
إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ
أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ فَآَمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ
وَلاَ تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ إِنَّمَا اللَّهُ
إِلَهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَهُ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَفَى بِاللَّهِ وَكِيلاً
[النساء/171]
“Wahai ahli kitab,
janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu
mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa
putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan)
kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh
dari-Nya. Maka berimanlah kalian kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan
janganlah kalian mengatakan: “(Tuhan itu) tiga”. Berhentilah (dari
Ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan yang Maha
Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di
bumi adalah kepunyaan-Nya. cukuplah Allah menjadi Pemelihara”. (QS. An-Nisaa’ : 141)
Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata, “Allah
-Ta’ala- melarang ahli Kitab dari bersikap ghuluw, dan berlebihan dalam
memuji. Perkara seperti ini banyak pada orang-orang Nasrani, karena
mereka telah melampaui batas dalam membenarkan Nabi Isa sampai mereka
mengangkat beliau lebih dari derajat yang Allah berikan kepadanya.
Akhirnya, mereka memindahkan beliau dari posisi kenabian menjadi
sembahan selain Allah, yang mereka sembah sebagaimana halnya mereka
menyembah Allah. Bahkan mereka sungguh telah ghuluw kepada murid-murid
dan pengikut beliau dari kalangan orang-orang yang mereka sangka di atas
agama Isa. Akhirnya, mereka mengakui adanya sifat ma’shum (tak pernah
salah) pada diri orang-orang tersebut. Kemudian kaum Nasrani pun
mengikuti orang-orang itu (para pendeta) dalam semua yang ia katakan,
baik itu benar atau batil, baik itu kesesatan atau petunjuk, baik itu
berupa kejujuran atau kedustaan”. [Lihat Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim (2/477)]
Fenomena ghuluw yang terdapat pada kaum Nasrani, juga terjadi pada umat Islam. Lihatlah pada sebagian kaum muslimin yang mengkultuskan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-
dengan meyakini adanya sifat-sifat ketuhanan pada diri beliau, seperti
mengetahui perkara gaib, mampu menyelamatkan orang yang tertimpa bala’,
memenuhi hajat umatnya. Lantaran itu, tak usah heran jika ada yang ber-istighotsah, meminta pertolongan, mengharap berkah, dan berdoa kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Subhanallah, sungguh ini adalah kemusyrikan yang diakibatkan oleh sikap ghuluw (ekstrim) dalam berkeyakinan. Ghuluw inipun timbul karena berawal dari ghuluw-nya kaum muslimin dalam memuji Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Itulah hikmahnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah bersabda,لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ“Janganlah kalian memujiku secara berlebihan sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nasrani pada Isa bin Maryam. Aku ini hanyalah seorang hamba. Lantaran itu, katakalah, “(Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-) hamba Allah dan rasul-Nya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3445), dan Muslim dalam Shohih-nya (1691)]
Sikap ghuluw bukan hanya dilakukan oleh sebagian kaum muslimin pada diri Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, bahkan juga mereka berbuat ghuluw
pada para ulama’, kiyai, dan orang-orang sholih atau orang-orang yang
dianggap wali. Disinilah muncul kebiasaan buruk melakukan tour atau
safar ke kubur para manusia yang dianggap wali, semisal Wali Songo, Syaikh Yusuf (Makassar-SULSEL), Imam Lapeo (Polman, SULBAR), dan lainnya.
Disana mereka melakukan ritual ibadah yang tak pernah diizinkan oleh Allah -Azza wa Jalla-,
seperti bernadzar, menyembelih hewan ternak, tirakatan di kubur, tawaf,
berdoa kepada “wali-wali”, dan mengharap berkah atau kesembuhan
darinya. Ibadah yang harusnya dilakukan di hadapan Allah, malah mereka persembahkan kepada makhluk. Inilah yang dimaksud dengan “GHULUW” (melampaui batas).
Diantara penyebab kehancuran agama, dunia dan akhirat umat-umat terdahulu, mereka bersikap ghuluw
dalam beragama; sesuatu yang tak pernah digariskan oleh Allah dan
Rasul-Nya, lalu mereka menetapkannya tanpa hujjah. Allah menetapkan
wajibnya bertauhid kepada Allah, tapi mereka malah melakukan
amalan-amalan yang mengantarkan kepada kesyirikan, bahkan melakukan
kesyirikan!! Sungguh ini adalah kehancuran agama!!!
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ“Wahai manusia, waspadalah kalian terhadap ghuluw (melampaui batas) dalam beragama, karena ghuluw dalam beragama telah membinasakan orang-orang sebelum kalian”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (1/215 & 347), An-Nasa'iy dalam As-Sunan (no. ), dan Ibnu Majah dalam As-Sunan (no. 3064). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (1283)]
Ketahuilah –wahai pembaca yang
budiman-, kesyirikan muncul karena berawal dari adanya bid’ah (ajaran
baru) yang diciptakan dan dilakukan oleh sebagian manusia saat mereka
beribadah. Sebagai contoh, kaumnya Nabi Nuh -Shallallahu alaihi wa sallam-
dahulu menciptakan bid’ah (tuntunan baru) dalam beribadah kepada Allah.
Mereka membuat gambar dan arca orang-orang sholih mereka yang telah
lama wafat, dengan maksud yang baik, yakni agar mereka lebih bersemangat
beribadah kepada Allah dengan sekedar melihat gambar-gambar atau arca
tersebut yang mereka pasang di majelis dan tempat mereka beribadah. Tapi
suatu ibadah jika dilakukan dengan cara yang tidak digariskan oleh
Allah dan Rasulnya, maka ibadah itu akan dijadikan wasilah (sarana) oleh
setan dalam menggelincirkan manusia kepada kesyirikan dan kekafiran.
Olehnya, sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa bid’ah adalah pos yang mengantarkan kepada kesyirikan.
Perhatikan, kaumnya Nuh
awalnya masih menyembah Allah –tapi dengan cara bid’ah-, namun setelah
itu setan menggelincirkan mereka. Sebab, setan membisikkan kepada
generasi setelahnya bahwa pendahulu kalian tidaklah meletakkan gambar
atau arca-arca ini, kecuali karena orang-orang yang digambar itu
memiliki kelebihan dan kemampuan dalam mengabulkan doa, menyampaikan
hajat manusia kepada Allah, mampu menolong orang yang susah, dan sederet
bisikan lainnya. Akhirnya, manusia pun menyembah gambar dan arca itu.
Inilah sikap keterlaluan dan melampaui batas yang dikecam oleh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sabdanya,
هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ قَالَهَا ثَلاَثًا
“Binasalah orang-orang yang ghuluw (keterlaluan)”. [HR. Muslim dalam Kitab Al-Ilm (no. 2670)]
Keterlaluan dan melampaui
batas dalam beragama sehingga melakukan perkara-perkara yang yang tak
pernah Allah perintahkan, akan menjadi sebab seorang terseret kepada
kekafiran atau kesyirikan. Sedang inilah kebinasaan hakiki, di saat
hancurnya agama dan akhirat seseorang!!
Nas’alullahal afiyah was salamah min dzalik bi aunih wa taufiqih.
sumber: http://pesantren-alihsan.org/ghuluw-terhadap-orang-orang-sholih.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar