Mujaddid adalah seorang yang menjadi
sebab kembalinya kaum muslimin kepada al-haq dan meninggikan bendera
Islam. Seorang dianggap mujaddid disyaratkan seorang Ahlus Sunnah yang
shalih dan berilmu.
Rasulullah telah mengabarkan akan adanya para mujaddid dalam Islam. Beliau bersabda:
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
“Allah mengutus untuk umat ini di
setiap pengujung seratus tahun seorang yang memperbarui agamanya.” (HR.
Abu Dawud no. 4291, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani)
Di antara mujaddid dalam Islam adalah Al-Imam Asy-Syafi’i Al-Imam Ahmad berkata, “Allah
menetapkan bagi manusia,setiap seratus tahunnya ada seorang yang
mengajari mereka As-Sunnah dan menafikan kedustaan atas nama Rasul. Kami
pun menelaah, ternyata di pengujung seratus tahun adalah Umar bin Abdul
Aziz ,dan di pengujung tahun dua ratus adalah Asy-Syafi’i.”
Al-Imam Ahmad juga berkata, “Sejak 30 tahun lalu, tidaklah aku tidur
malam kecuali aku mendoakan kebaikan bagi Asy-Syafi’i dan memohonkan ampunan untuknya.” (Lihat Mukhalafat Ash-Shufiyah hal. 10-11)
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata,
“Seorang mujaddid yang hakiki adalah seorang yang berilmu tentang
syariat Allah ,istiqamah di atas Sunnah Rasulullah dan mengembalikan
manusia kepada petunjuk. Berita yang dikabarkan Rasulullah dalam hadits
ini telah terbukti. Terus-menerus –walhamdulillah– Allah mengaruniakan
kepada umat ini dengan kemunculan para mujaddid ketika umat sangat
membutuhkan keberadaan mereka. Di antara para mujaddid adalah Al-Imam
Ahmad bin Hanbal di abad ketiga, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di akhir
abad ketujuh dan awal abad kedelapan, serta Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahab di abad kedua belas.” (Min A’lamil Mujaddidin)
Aqidah dua imam
Dalam tulisan ini, penulis ingin
mengetengahkan kepada para pembaca beberapa perkara aqidah dan dakwah
dua orang mujaddid dalam Islam, yaitu Al-Imam Asy-Syafi’i Muhammad bin
Idris t serta Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.Kita akan dapati
ternyata aqidah dan dakwah yang dibawa keduanya sama. Dakwah dan aqidah
Ahlus Sunnah wal Jamaah, yaitu dakwah kepada tauhid dan As-Sunnah
berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafush shalih.
Sebagai bukti kesamaan aqidah dan dakwah
kedua imam tersebut, penulis akan membawakan beberapa masalah dan
prinsip kedua imam dalam beberapa masalah. Perlu diketahui, apa yang
kami paparkan hanyalah sebagian kecil dari sekian persamaan prinsip
kedua imam ini. Di antara masalah tersebut:
1. Mentauhidkan Allah dalam ibadah
Allah menciptakan kita hanyalah untuk kita beribadah kepadaNya. Allah berfirman:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Ibnu Katsir tberkata, “Allah mengabarkan bahwa Dia menciptakan jin dan manusia hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Dan itu adalah tujuan diciptakannya jin dan manusia. Ibadah tidak akan diterima kecuali dengan dua syarat: Ikhlas hanya mengharap wajah Allah l dan mutaba’ah (sesuai tuntunan Rasulullah).” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir dalam tafsir surat Al Kahfi: 110)
Oleh karena itu, ulama Ahlus Sunnah di antaranya Al-Imam Asy-Syafi’i t sangat mementingkan masalah ini. Ibnul Qayyim tmeriwayatkan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i t dengan sanadnya, kata beliau, “Ucapan tentang sunnah yang aku di atasnya dan aku lihat para sahabatku dari ahlul hadits di atasnya dan aku telah mengambil ilmu dari mereka, seperti Sufyan dan Malik serta selain keduanya adalah: Berikrar bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah l dan Muhammad n adalah utusan-Nya. Bahwasanya Allah ada di atas Arsy-Nya, dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya dan Allah l turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya. (Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyah)
Masalah inilah yang banyak dibahas oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t. Bukti akan hal ini adalah buku-buku yang beliau tulis, seperti Kitabut Tauhid, Kasyfu Asy-Syubuhat, Qawa’idul Arba’, dan lainnya.
Larangan membangun kuburan
Membangun kuburan adalah perkara yang diharamkan dalam Islam.
Dari Jabir bin Abdillah:
نَهَى رَسُولُ اللهِ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah melarang mengapur
(mengecat) kuburan, duduk di atas kuburan, juga melarang membangun
sesuatu di atas kuburan.” (HR. Muslim no. 970)Membangun masjid di atas kuburan adalah perbuatan ahlul kitab. Rasulullah pernah berkata:
أُولَئِكِ إِذَا مَاتَ مِنْهُمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا
“Mereka itu, jika ada seorang yang
shalih di antara mereka mati, mereka bangun di atas kuburannya sebuah
masjid.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)Al-Imam Asy-Syaukani berkata, “Ketahuilah, kaum muslimin yang terdahulu dan akan datang, yang awal dan akhir mereka sejak zaman sahabat sampai waktu kita ini, telah sepakat bahwa meninggikan kuburan dan membangun di atasnya adalah perkara bid’ah yang telah ada larangan dan ancaman keras dari Rasulullah atas para pelakunya.”
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Aku menginginkan kuburan itu tidak dibangun dan tidak dikapur (dicat), karena perbuatan seperti itu menyerupai hiasan atau kesombongan, padahal orang mati bukanlah tempat satu pun di antara dua hal tersebut. Aku tidak pernah melihat kuburan Muhajirin dan Anshar dicat.” Perawi dari Thawus berkata: “Nabi melarang kuburan dibangun atau dicat.”
Beliau juga berkata: “Aku membenci dibangunnya masjid di atas kuburan.”
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata pula: “Aku membenci ini karena Sunnah Rasulullah dan atsar…” (Lihat Al-Umm)
Asy-Syaikh Sulaiman Alu Asy-Syaikh
menerangkan: “Al-Imam Nawawi menegaskan dalam Majmu’ Al-Muhadzdzab
tentang haramnya membangun kuburan secara mutlak. Beliau juga
menyebutkan yang semisalnya dalam Syarah Shahih Muslim.” (Lihat Taisir
‘Azizil Hamid)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab juga
banyak membahas masalah ini di dalam karya-karya beliau. Di antaranya
dalam Kitabut Tauhid beliau bawakan Bab Ghuluw terhadap kuburan orang
shalih akan menjadikannya berhala yang disembah selain Allah. Beliau
bawakan beberapa dalil, di antaranya hadits Abu Sa’id , Rasulullah
bersabda:
اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا
يُعْبَدُ، اشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ
أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
”Ya Allah, jangan kau jadikan
kuburanku menjadi berhala yang disembah, sangat keras murka Allah kepada
orang-orang yang menjadikan kuburan nabi mereka sebagai masjid.”
Asy-Syaikh Sulaiman berkata: “Penulis
(yakni Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) ingin menerangkan dengan bab
ini empat perkara: Pertama: Peringatan agar tidak bersikap ghuluw
(berlebih-lebihan) terhadap kuburan orang shalih. Kedua: Ghuluw terhadap
kuburan orang shalih akan mengatarkan kepada menyembah kuburan
tersebut. Ketiga: Kuburan yang disembah akan menjadi berhala, walaupun
itu kuburan orang shalih. Keempat: Mengingatkan sebab larangan membangun
kuburan dan menjadikannya sebagai masjid. (Lihat Taisir ‘Azizil Hamid)
Dalam nama dan sifat Allah
Al-Imam Asy-Syafi’i seperti para imam
Ahlus Sunnah yang lainnya, sangatlah jelas prinsip mereka dalam
menetapkan sifat-sifat Allah yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Beliau berkata, “Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat sebagaimana
datang dalam kitab-Nya dan telah dikabarkan oleh Nabi-Nya kepada
umatnya. Dia Maha mendengar dan Maha melihat, dan memiliki dua tangan
seperti dalam firman-Nya:
“Bahkan kedua tangan Allah terbuka.” (Al-Maidah: 64)Allah memiliki tangan kanan sebagaimana dalam firman-Nya:
h)
“Dan
mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya
padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit
digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Rabb dan Maha Tinggi Dia
dari apa yang mereka persekutukan.” (Az-Zumar: 67)
Allah juga memiliki wajah sebagaimana firman-Nya:
“Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah Allah.” (Al-Qashash: 88)
“Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 27)
Dia tidak buta sebelah (picak) sebagaimana Nabi ketika berbicara tentang Dajjal:
“Sesungguhnya Dajjal itu picak dan Rabb kalian tidaklah picak.”
Dia tertawa terhadap hamba-Nya yang
beriman. Nabi berkata tentang seorang yang terbunuh di medan perang dia
berjumpa dengan Allah dalam keadaan Allah tertawa kepadanya…”
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata:
“Termasuk
dalam permasalahan iman kepada Allah: Mengimani apa yang Allah sifati
diri-Nya dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya. Tidak mentahrif
ataupun menta’thilnya. Bahkan aku meyakini tidak ada satu pun yang
serupa dengan Allah l dan Dia Maha mendengar dan Maha melihat…” (Dinukil
dari A’lamul Mujaddidin hal. 95)
Masalah al-‘uluw (ketinggian Allah di atas)
Di antara keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah meyakini Allah l ada di atas Arsy-Nya. Allah berfirman:
“Sesungguhnya
Rabbmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, lalu dia beristiwa di atas ‘Arsy.” (Al-A’raf: 54)
Dalam hadits Mu’awiyah bin Hakam
As-Sulami,ketika beliau hendak membebaskan budaknya,Rasulullah menguji
hamba sahaya tersebut dengan menanyakan, “Di
mana Allah ?” Hamba sahaya tadi menjawab, “Allah l di atas.” Beliau
berkata, “Siapa aku?” Budak tadi berkata, “Engkau utusan Allah.”
Rasulullah berkata, “Bebaskanlah dia, karena dia adalah seorang wanita
mukminah.” (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim meriwayatkan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i dengan sanadnya, Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Ucapan tentang sunnah yang aku di atasnya dan aku lihat para sahabatku dari ahlul hadits di atasnya, dan aku telah mengambil ilmu dari mereka seperti Sufyan dan Malik serta keduanya adalah: Berikrar bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah utusanNya. Bahwasanya Allah ada di atas Arsy-Nya, dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya dan Allah turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” (Ijtima’ul Juyus Islamiya
Yang lebih jelas dari itu adalah ketika
beliau meriwayatkan dalam bab membebaskan budak mukminah dalam bab
zhihar. Beliau berkata:
“Yang lebih aku senangi, tidaklah
dibebaskan kecuali yang telah baligh dan beriman, jika dia wanita ‘ajam
yang telah disifati dengan keislaman maka cukup. Malik telah mengabarkan
kepadaku, dari Hilal bin Usamah, dari ‘Atha bin Yasar, dari Umar bin
Al-Hakam, beliau berkata: ‘Aku pernah datang kepada Rasulullah. Aku
katakan: ‘Wahai Rasulullah, aku punya seorang jariyah (hamba sahaya
wanita) yang menggembala kambing. Ketika aku mendatanginya, ternyata
telah hilang seekor kambing. Ketika aku bertanya kepadanya, dia jawab
bahwa kambingnya telah dimakan serigala. Akupun marah kepadanya. Aku
adalah seorang bani Adam, hingga menempeleng wajahnya. Sekarang aku
punya kewajiban membebaskan budak. Apakah aku boleh bebaskan dia?’
Rasulullah berkata kepada hamba sahaya tersebut: ‘Di mana Allah?’ Dia
menjawab: ‘Di atas.’ Rasulullah berkata: ‘Siapa aku?’ Budak tadi
menjawab: ‘Engkau Rasulullah.’ Maka Rasulullah berkata: ‘Bebaskanlah
dia.’
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Nama orang tersebut Mu’awiyah bin Al-Hakam. Demikianlah diriwayatkan oleh Az-Zuhri dan Yahya bin Abi Katsir.” (Lihat Al-Umm)
Lihatlah! Al-Imam Asy-Syafi’i
mensyaratkan dalam membebaskan budak harus yang mukmin, dan beliau
menganggap pengakuan hamba sahaya tadi bahwa Allah l ada di atas sebagai
tanda keimanan.
Sikap terhadap Sufi (Shufiyah)
Telah kami sampaikan di edisi
sebelumnya[1] tentang siapa Sufi (shufiyah) serta pemikiran dan aqidah
mereka. Telah kami paparkan juga ucapan-ucapan keras Al-Imam Asy-Syafi’i
tentang shufiyah. Di antara ucapan beliau tentang shufiyah diriwayatkan
oleh Al-Imam Al-Baihaqi dengan sanadnya: “Jika seorang belajar tasawuf
di pagi hari, niscaya akan engkau akan dapati dia menjadi orang dungu
sebelum datang waktu dhuhur.”
Al-Imam Asy-Syafi’i juga berkata: “Aku
tidak pernah melihat seorang Sufi yang berakal. Seorang yang telah
bersama kaum Sufiyah selama empat puluh hari, tidak mungkin kembali
akalnya.”
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Asas (dasar) Sufiyah adalah malas.”
Demikian pula Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahab sangatlah keras pengingkaran beliau terhadap shufiyah, dan
ini merupakan perkara yang masyhur. Di antara buktinya adalah berbagai
fitnah dan tuduhan zalim Sufiyah terhadap beliau.
Sihir
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Jika
ada seseorang belajar sihir, kami katakan padanya: ‘Terangkan bagaimana
cara sihirmu.’ Jika dia menceritakan cara yang menyebabkan kekufuran
seperti yang diyakini penduduk Babil yang mendekatkan diri mereka kepada
bintang-bintang yang tujuh, meyakini bahwa bintang-bintang itu bisa
melakukan apa yang diminta, maka ini menyebabkan dia kafir. Jika dia
meyakini bolehnya hal tersebut maka dia kafir juga.” (dinukil dari
Tafsir Ibnu Katsir)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
banyak membahas permasalahan sihir dalam kitab-kitabnya. Beliau bawakan
dalam Kitabut Tauhid beberapa bab berkaitan dengan sihir. Beliau bahkan
memasukkannya dalam kitab Nawaqidhul Islam (Pembatal-pembatal
keislaman). Beliau berkata:
“Pembatal keislaman yang ketujuh adalah
sihir. Termasuk sihir adalah ‘athaf dan sharaf (sihir untuk membuat
orang cinta atau benci). Barangsiapa melakukan sihir atau ridha
kepadanya maka telah kafir. Dalilnya adalah firman Allah:
Keduanya
tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan:
“Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu
kafir.” (Al Baqarah: 102)
Taklid
Taklid adalah perbuatan tercela,
perbuatan kaum musyrikin. Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’
menunjukkan rusaknya taklid. Allah berfirman:
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah
apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi
kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek
moyang kami.” “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek
moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat
petunjuk?” (Al-Baqarah: 170)
Ibnu Abdil Bar berkata: “Tidak ada perselisihan di antara para imam di seluruh negeri tentang rusaknya taklid.”
Al-Imam Asy-Syafi’i sangat mencerca taklid. Beliau berkata:
“Kaum muslimin telah ijma’ bahwa barangsiapa yang jelas baginya Sunnah
Rasulullah maka tidak halal baginya meninggalkannya karena ucapan
seseorang.”
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata juga: “Semua
yang aku ucapkan dan menyelisihi ucapan Nabi maka Nabi lebih utama.
Janganlah kalian taklid kepadaku.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyebutkan bahwa taklid termasuk perbuatan jahiliyah. Beliau berkata:
“Sesungguhnya keyakinan agama orang-orang jahiliyah dibangun di atas
beberapa landasan. Dan landasan utama mereka adalah taklid …” (Masa’il
Jahiliyah)
Menggagungkan Sunnah Rasulullah
Mengagungkan Sunnah Rasulullah adalah kewajiban setiap mukmin. Allah berfirman:
“Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. sesungguhnya
Allah amat keras hukumannya.” (Al-Hasyr: 7)
Allah juga berfirman:
“Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah
dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)
Al-Imam Asy-Syafi’i adalah seorang
berpegang teguh dengan As-Sunnah. Beliau pernah berkata: “Semua hadits
Rasulullah yang shahih maka aku berpendapat dengannya, walaupun hadits
tersebut belum sampai kepadaku.”
Al-Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dengan
sanadnya, bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i pernah ditanya tentang satu masalah.
Kemudian beliau berkata: “Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau berkata
begini dan begini.” Penanya berkata: “Apakah engkau berpendapat
dengannya?” Al-Imam Asy-Syafi’i gemetar dan memerah wajahnya, lalu
berkata: “Celaka engkau. Bumi mana yang akan menampungku, dan langit
mana yang akan menaungiku, jika aku riwayatkan dari Nabi n kemudian aku
malah tidak berpendapat dengannya?!”
Asy-Syaikh Muhamad bin Abdul Wahab
menyebutkan dalam Nawaqidhul Islam termasuk pembatal keislaman adalah
mengolok-olok apa yang dibawa oleh Rasulullah n. Beliau n berkata:
“Keenam: Barangsiapa memperolok-olok
sesuatu dari perkara agama yang dibawa oleh Rasulullah atau memperolok
pahala dan siksa (yang diberitakan Rasulullah n) maka dia telah kafir.
Dalilnya adalah firman Allah:
Dan jika
kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu),
tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda
gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah,
ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu
meminta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman. Jika Kami
memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan
mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang
selalu berbuat dosa.” (At-Taubah: 65-66)
Dalam Kitabut Tauhid, beliau membawakan
ucapan Al-Imam Ahmad: “Aku heran dengan suatu kaum yang telah mengetahui
sanad hadits dan keshahihannya tapi malah mengambil pendapat Sufyan.
Padahal Allah berfirman:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63)
Bid’ah
Di antara perkara yang harus dijauhi
seorang muslim adalah perkara-perkara bid’ah, karena bid’ah banyak
mudharatnya bagi seseorang. Di antara kerusakan bid’ah:
Bid’ah semuanya sesat
Bid’ah menjadi sebab tertolaknya amal
Bid’ah merupakan pintu kesyirikan
Bid’ah sebab terjadinya perpecahan
Bid’ah menjadi sebab tertolaknya amal
Bid’ah merupakan pintu kesyirikan
Bid’ah sebab terjadinya perpecahan
Oleh karena besarnya bahaya bid’ah, para
ulama memperingatkan umat dari bahayanya, di antara mereka adalah
Al-Imam Asy-Syafi’i .Beliau berkata: “Barangsiapa
menganggap baik (satu perkara baru yang tidak disyariatkan) maka dia
telah membuat syariat, sebagaimana Allah berfirman mengingkari orang
yang melakukan kebid’ahan dalam agama Allah:
“Apakah
mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk
mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura: 21)
Makna membuat syariat yakni membuat kebidahan.
Demikian juga Asy-Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahab,beliau banyak menerangkan prinsip ini dalam kitab-kitab
beliau. Di akhir kitab Fadhlul Islam, beliau membuat bab: Tahdzir minal
bida’ (peringatan agar menjauhi bid’ah-bid’ah). Dalam risalahnya yang
lain beliau berkata: “Aku meyakini bahwa semua perkara baru yang
diada-adakan dalam agama adalah bid’ah.” (Lihat A’lamul Mujaddidin hal.
101)
Kesimpulan
Dari pembahasan ini kita dapat simpulkan
bahwa dakwah yang dibawa oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t
adalah dakwah para ulama Ahlus Sunnah yang mendahului beliau. Asy-Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab t tidaklah membawa sesuatu yang baru. Perkara
yang beliau dakwahkan sama dengan dakwah Al-Imam Asy-Syafi’i dan ulama
Ahlus Sunnah lainnya. Sehingga orang yang melecehkan dakwah dan aqidah
Asy-Syaikh Muhamad bin Abdul Wahab pada hakikatnya menghina dan
melecehkan imam Ahlus Sunnah, Al-Imam Asy-Syafi’i t. Mudah-mudahan Allah
l merahmati kedua imam tersebut karena jasa-jasa mereka bagi kaum
muslimin. Amin.
sumber:http://asysyariah.com/aqidah-dua-mujaddid-dalam-islam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar