Kekalahan demi kekalahan
tak juga menyurutkan upaya makar Yahudi terhadap kaum muslimin.
Kebencian mereka pun meletupkan peperangan baru, Perang Khaibar.
Dendam kesumat yang berurat
berakar dalam dada orang-orang Yahudi di Madinah, semakin memuncak.
Terlebih melihat semakin berkembangnya Islam di jazirah ‘Arab. Dendam
dan kedengkian ini membuat mereka gelap mata. Lupa bahwa mereka pernah
mengikat perjanjian dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
kaum muslimin. Terbujuk pula oleh janji palsu yang dilontarkan setan
dari kalangan jin dan manusia sehingga merekapun sepakat untuk menahan
laju perkembangan Islam dengan berbagai cara.
Sebab-sebab Peperangan
Selesai sudah gangguan dan
ancaman musyrikin Quraisy melalui kesepakatan-kesepakatan perjanjian
Hudaibiyah yang lalu. Penyampaian risalah mulai berjalan lancar dan
kehidupan kaum muslimin mulai tenang. Tapi belum sempurna. Bagaimanapun
juga masih ada ancaman yang cukup berbahaya bagi kelangsungan dakwah dan
kehidupan kaum muslimin. Yahudi. Dendam kesumat serta kedengkian yang
bersemayam di dada-dada mereka begitu bernyala-nyala untuk menumpas
Islam dan kaum muslimin. Mereka tidak rela sampai kaum muslimin mau
mengikuti agama dan keyakinan mereka yang rusak. Allah Subhanahuwata’ala
berfirman:
وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (Al-Baqarah: 120)
Kita tidak lupa, bagaimana
pengkhianatan mereka terhadap kesepakatan yang mereka buat bersama
Rasulullah n beberapa saat setelah beliau tiba di Madinah. Juga kekejian
dan kebusukan ucapan serta makar mereka terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin. Beberapa tokoh mereka yang sangat hebat gangguannya terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mati terbunuh. Tapi itu tidak membuat mereka jera. Dendam mereka semakin memuncak.
Lebih kurang 20 hari sepulangnya dari Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mulai memobilisasi kaum muslimin untuk menyerang Khaibar. Allah
Subhanahuwata’ala pun telah menjanjikannya kepada beliau saat beliau
masih di Hudaibiyah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Miswar bin Makhramah
dan Marwan bin Al-Hakam, bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih di Hudaibiyah dan mulai bertolak menuju ke Madinah, turunlah firman Allah Subhanahuwata’ala:
وَعَدَكُمُ اللَّهُ مَغَانِمَ كَثِيرَةً تَأْخُذُونَهَا فَعَجَّلَ لَكُمْ هَٰذِهِ
“Allah menjanjikan kepada
kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, maka
disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu.” (Al-Fath: 20)
Yang dimaksud yaitu Khaibar.
Semua itu sebagai sebuah ayat (tanda) bagi hal-hal yang terjadi
sesudahnya, sekaligus pahala atas kesabaran para sahabat dan keridhaan
mereka menerima semua keputusan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
di Hudaibiyah serta kesiapan mereka untuk tidak lari meninggalkan
beliau n. Oleh sebab itulah, ghanimah yang ada dari Khaibar itu
dikhususkan bagi mereka yang ikut serta dalam peristiwa Hudaibiyah.
Khaibar, adalah sebuah kota besar sekitar delapan barid
(sekitar 80 mil) dari Madinah ke arah Syam (utara). Kota ini memiliki
benteng-benteng pertahanan cukup kuat, yang merupakan markas besar semua
siasat keji yang diarahkan kepada Islam dan kaum muslimin. Dari sinilah
upaya mendatangkan pasukan gabungan (Al-Ahzab) untuk menumpas kaum
muslimin. Mereka menghasut Bani Quraizhah, mengkhianati perjanjian
mereka, selalu berhubungan dengan munafikin Madinah dan beberapa kabilah
‘Arab lainnya yang benci kepada Islam dan muslimin. Akibatnya, kaum
muslimin selalu mengalami berbagai ujian dan cobaan silih berganti.
Akhirnya, setelah berhasil
menahan bahkan menghentikan gangguan dan ancaman serangan dari musyrikin
Quraisy, mulailah diupayakan menghentikan gangguan dan ancaman dari
orang-orang Yahudi tersebut.
Menyiapkan Pasukan
Ketika orang-orang yang lemah
iman dan kaum munafikin mendengar banyaknya ghanimah (rampasan perang)
yang dijanjikan oleh Allah Subhanahuwata’ala, mereka berusaha untuk ikut
serta dalam perang ini. Padahal sebelumnya mereka tidak mau menyertai
beliau di Hudaibiyah. Maka Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
menerangkan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal ini:
سَيَقُولُ
الْمُخَلَّفُونَ إِذَا انطَلَقْتُمْ إِلَىٰ مَغَانِمَ لِتَأْخُذُوهَا
ذَرُونَا نَتَّبِعْكُمْ ۖ يُرِيدُونَ أَن يُبَدِّلُوا كَلَامَ اللَّهِ ۚ
قُل لَّن تَتَّبِعُونَا كَذَٰلِكُمْ قَالَ اللَّهُ مِن قَبْلُ ۖ
فَسَيَقُولُونَ بَلْ تَحْسُدُونَنَا ۚ بَلْ كَانُوا لَا يَفْقَهُونَ إِلَّا
قَلِيلًا
“Orang-orang Badui yang
tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil
barang rampasan: ‘Biarkanlah kami, niscaya kami mengikuti kamu; mereka
hendak merubah janji Allah.’ Katakanlah: ‘Kamu sekali-kali tidak (boleh)
mengikuti kami: demikian Allah telah menetapkan sebelumnya’; mereka
akan mengatakan: ‘Sebenarnya kamu dengki kepada kami.’ Bahkan mereka
tidak mengerti melainkan sedikit sekali.” (Al-Fath: 15)
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengumumkan agar tidak ada yang ikut kecuali yang betul-betul ingin
berjihad, bukan mengharap ghanimah. Akhirnya, di awal tahun ke tujuh
hijriyah, berangkatlah sekitar 1.400 orang pasukan, semuanya adalah yang
dahulu ikut dalam Bai’atur Ridlwan di Hudaibiyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Siba’ bin ‘Urfuthah sebagai pengganti beliau di Madinah.
Setelah beliau berangkat, datanglah Abu Hurairah z masuk Islam. Beliau ikut shalat shubuh bersama Siba’ dan mendengarnya membaca surat Al-Muthaffifin. Dalam hati, Abu Hurairah z
berkata: “Celaka Abu Fulan, dia punya dua takaran. Kalau membeli, dia
minta disempurnakan takarannya, tapi kalau dia menjual (menakar buat
orang lain) dia menguranginya.” Selesai shalat, Abu Hurairah Raadhiyallahu’anhu menemui Siba’ dan beliaupun memberinya bekal untuk berangkat menemui Rasulullah n.
Keberangkatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabat ini menurut sebagian ahli sejarah telah sampai kepada
Yahudi Khaibar. Tak pelak lagi, kaum munafikinlah yang berulah.
Diceritakan, bahwa ‘Abdullah bin Ubai dan Salul –gembong munafikin
Madinah– menyampaikan berita ini kepada para pemimpin Yahudi Khaibar.
Mereka pun mengutus beberapa orang Yahudi, di antaranya Kinanah bin Abil
Huqaiq dan Haudzah bin Qais, ke Ghathafan meminta bantuan, karena
mereka adalah sekutu Yahudi Khaibar. Tapi mereka meminta syarat, kalau
berhasil maka separuh hasil kurma Khaibar buat mereka.
Sebagian orang Yahudi di
Madinah meremehkan kaum muslimin. Bagaimana mungkin mereka menembus
Khaibar, karena wilayah itu dikelilingi benteng-benteng kokoh di
puncak-puncak bukit. Juga jumlah pasukan dan perlengkapan mereka sangat
banyak, demikian juga perbekalan mereka. Seandainyapun mereka bertahan
di dalam benteng itu selama setahun, masih cukup.
Tapi keyakinan para sahabat akan janji Allah dalam ayat yang sudah disebutkan tidak luntur. Mereka tetap menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Keimanan sejati, karena kemenangan bukan dinilai dari kekuatan dan
perlengkapan pasukan. Kemenangan adalah karunia dan pertolongan Allah
Subhanahuwata’ala. Sedangkan karunia Allah tidak akan diperoleh dengan
kemaksiatan.
Sementara orang-orang Yahudi Khaibar sendiri yakin, tidak mungkin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mampu menaklukkan mereka. Karena mereka berada dalam benteng yang kokoh
dan perlengkapan yang cukup. Setiap hari ribuan orang prajurit keluar
dari benteng itu dalam keadaan berbaris.
Menuju Khaibar
Salamah bin Al-Akwa’
bercerita: Kami berangkat bersama Rasulullah n menuju Khaibar, berjalan
di malam hari. Lalu ada yang berkata kepada ‘Amir: “Mengapa engkau tidak
perdengarkan kepada kami dendangmu?” Dahulu, ‘Amir dikenal sebagai
penyair. Diapun turun lalu bersyair:
Demi Allah, kalau tidak karena Allah, niscaya kami tidak mendapat petunjuk
Tidak bersedekah, tidak pula shalat
Kami tidak merasa cukup dari karunia-Mu
Maka teguhkan kaki kami jika bertemu (dengan musuh)
Dan turunkanlah ketenangan kepada kami
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya:
مَنْ هَذَا السَّائِقُ؟
“Siapa penggiring ini?“
“Amir,” kata para sahabat. Beliaupun berkata:
يَرْحَمُهُ اللهُ
“Semoga Allah merahmatinya.” Berkatalah seseorang: “Pasti, wahai Rasulullah, mengapakah tidak engkau biarkan kami bersenang-senang dengan dia?”
Menurut mereka, kalau
Rasulullah n sudah menyatakan demikian, tentulah orang yang didoakan itu
mati syahid. Kenyataannya memang demikian. ‘Amir gugur sebagai syahid
terkena pedangnya sendiri ketika menghadapi Marhab, pemuka Yahudi yang
menantang adu tanding (duel satu lawan satu).[1]
Rasulullah n dan rombongan
tetap berjalan hingga tiba di Ar-Raji’, sebuah lembah antara Khaibar dan
Ghathafan. Beliau sengaja melintasi wilayah ini, khawatir kalau-kalau
Ghathafan akan memberi bala bantuan kepada Khaibar sehingga beliau
mendahului untuk memutus jalur hubungan mereka.
Ketika Ghathafan mendengar keberangkatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ini, segera pula mereka mempersiapkan diri untuk memberi bantuan kepada
Khaibar. Tetapi, belum jauh mereka berjalan meninggalkan perkampungan
mereka, ketakutan mulai merayapi hati mereka: jangan-jangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersama pasukannya akan menyerang harta dan keluarga mereka. Akhirnya,
mereka mengurungkan niatnya membantu Khaibar dan membiarkan mereka
sendiri menghadapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tiba di Khaibar
Setelah berjalan beberapa malam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Khaibar. Beliaupun shalat subuh di sana, dan kaum muslimin mulai bertolak. Kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
apabila hendak menyerang satu kaum, beliau menunggu sampai shubuh tiba.
Kalau beliau mendengar adzan dikumandangkan, beliau menahan diri. Kalau
tidak, beliau mulai menyerang.Ketika subuh itu tidak terdengar suara
adzan, beliau mulai naik kendaraan, kamipun menaiki kendaraan.
Anas bin Malik
Radhiyallahu’anhhu menceritakan, ketika itu dia berboncengan dengan Abu
Thalhah (suami ibunya), dan kaki beliau menyentuh kaki Rasulullah n
bahkan sampai tersingkap sarung Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
hingga kelihatan putih sebagian paha beliau. Sementara itu, penduduk
Khaibar seperti biasa berangkat ke tempat kerja mereka, tanpa menyadari
kehadiran pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika mereka melihat pasukan tersebut, mereka berteriak: “(Itu)
Muhammad, demi Allah. Muhammad dan pasukannya.” Merekapun berlari
ketakutan masuk ke benteng mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اللهُ
أَكْبَرُ خَرِبَتْ خَيْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ خَرِبَتْ خَيْبَرُ، اللهُ
أَكْبَرُ خَرِبَتْ خَيْبَرُ. إِنَّا إِذَا نَزَلْنَا بِسَاحَةِ قَوْمٍ
فَسَاءَ صَبَاحُ الْمُنْذَرِينَ
“Allahu Akbar (Allah Maha
Besar). Hancurlah Khaibar. Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Hancurlah
Khaibar. Sesungguhnya bila kami tiba di pelataran satu kaum, maka amat
buruklah pagi hari yang dialami oleh orang-orang yang diperingatkan
itu.” (HR. Al Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik Radhiyallahi’anhu)
Setelah Nabi n mendekati dan melihat perkampungan mereka, beliau berkata:
“Berhentilah.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berdoa:
اللَّهُمَّ
رَبَّ السَّمَاوَاتِ وَمَا أَظْلَلْنَ وَرَبَّ الْأَرَضِينَ وَمَا
أَقْلَلْنَ وَرَبَّ الشَّيَاطِينِ وَمَا أَضْلَلْنَ وَرَبَّ الرِّيَاحِ
وَمَا أَذْرَيْنَ فَإِنَّا نَسْأَلُكَ خَيْرَ هَذِهِ الْقَرْيَةِ وَخَيْرَ
أَهْلِهَا وَخَيْرَ مَا فِيهَا، وَنَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ
أَهْلِهَا وَشَرِّ مَا فِيهَا، أَقْدِمُوا بِسْمِ اللهِ
“Ya Allah, Rabb (Pencipta,
Penguasa, dan Pengatur) langit-langit dan semua yang dinaunginya. Rabb
bumi dan semua yang ditopangnya. Rabb para setan dan semua yang
disesatkannya, dan Rabb angin serta semua yang diterbangkannya.
Sesungguhnya kami mohon kepada engkau, kebaikan negeri ini dan kebaikan
penduduknya, serta kebaikan yang ada padanya. Kami berlindung dengan-Mu
dari kejahatannya, dan kejahatan penduduknya serta kejahatan yang ada
padanya. Majulah dengan nama Allah.”
Doa ini sering diucapkan
beliau setiap kali tiba di suatu wilayah. Wilayah Khaibar terbagi
menjadi dua. Yang pertama mempunyai lima benteng:
1- Benteng Na’im
2- Benteng Ash-Sha’b bin Mu’adz
3- Qal’atu Az-Zubair
4- Benteng Ubai
5- Benteng An-Nizar
Tiga benteng pertama di daerah
An-Nithah, sedangkan dua lainnya di daerah Syaq. Wilayah kedua, dikenal
dengan Katibah, terdapat tiga benteng yang kokoh, yaitu:
1- Benteng Qamush (benteng anak cucu Abul Huqaiq dari Bani Nadhir)
2- Benteng Wathih, dan
3- As-Sullam
Masih banyak benteng lain,
tetapi kecil-kecil dan tidak sekuat delapan benteng ini. Adapun
pertempuran terjadi di wilayah pertama.
Peperangan Dimulai
Ketika penduduk Khaibar mulai menyadari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin sudah tiba di dekat benteng mereka, mereka pun berlari ketakutan, masuk kembali ke dalam benteng tersebut.
Benteng pertama yang diserang oleh kaum muslimin adalah Na’im.
Dari benteng ini keluarlah raja mereka Marhab, yang kekuatannya setanding dengan seribu prajurit.
Khaibar tahu aku adalah Marhab Senjata ampuh pahlawan kawakan
Jika perang telah mulai, diapun berkobar
Mendengar ini, ‘Amir paman Salamah bin Al-Akwa’ turun ke gelanggang menyambut tantangan Marhab perang tanding.
Khaibar tahu aku adalah ‘Amir Senjata ampuh pahlawan di medan laga
Kemudian keduanya saling
serang beberapa kali. Suatu ketika pedang Marhab menebas tapi mengenai
perisai di tangan ‘Amir dan terjepit. ‘Amir menunduk menebas ke arah
kaki Marhab, namun sayang pedang pendeknya tidak mengenai sasaran dan
berbalik mengenai urat nadi di lengannya. ‘Amir terluka dan gugur ketika
itu juga. Ternyata sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengomentari bahwa ‘Amir telah gugur amalannya karena bunuh diri.
Kata Salamah bin Al-Akwa’: Aku menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menangis sambil berkata: “Wahai Rasulullah, amalan ‘Amir telah gugur.”
Beliau bersabda:
مَنْ قَالَ ذَلِكَ؟
“Siapa yang mengatakan begitu?”
“Sebagian sahabat anda,” kataku. Beliau bersabda pula:
كَذَبَ مَنْ قَالَ ذَلِكَ بَلْ لَهُ أَجْرُهُ مَرَّتَيْنِ
“Salah, orang yang mengatakan begitu. Bahkan dia memperoleh dua pahala.” Demikian diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam hadits yang panjang dalam Shahih-nya, Kitab Al-Jihad was Siyar dari Salamah bin Al-Akwa’.
[1] Lihat Shahih Muslim Kitabul Jihad was Siyar dari Salamah bin Al-Akwa’.
sumber www.asysyariah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar