Radio Muwahiddin

Jumat, 22 Februari 2013

Masjid vs Kuburan




Sebuah realita yang amat menyedihkan kita semua, banyaknya masjid yang dibangun oleh kaum muslimin, lalu dijadikan tempat untuk menguburkan mayat. Bila anda berjalan-jalan di sulawesi dan lainnya, maka mata anda akan banyak menyaksikan kubur di dalam lokasi masjid atau masjid di dalam kuburan. Dengan kata lain, entah masjid lebih dahulu, lalu kubur berikutnya, atau kubur lebih dulu, lalu dibuat masjid setelahnya. Padahal perkara seperti ini adalah perkara yang terlarang, karena di dalam Islam, tak boleh menyatukan kubur dan masjid dalam sebuah lokasi.

Terjadinya penyatuan masjid dan kubur nanti terjadi setelah zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabat. Perkara seperti ini bukanlah kebiasaan kaum muslimin, bahkan kebiasaan ahlul Kitab dan kaum penyembah makhluk. Karenanya, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
“Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nashara yang menjadikan kubur-kubur nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah)“.[HR. Al-Bukhari (435) dan Muslim (531)]



Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata, “Tujuan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- adalah mencela kaum Yahudi dan Nashoro, karena mereka menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai tempat-tempat ibadah”. [Lihat Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy (6/607) karya Ibnu Hajar Al-Asqolaniy, dengan tahqiq Asy-Syibl, cet. Dar As-Salam, 1421 H]

Hadits ini berisi ancaman keras bagi orang yang menjadikan kubur sebagai tempat ibadah, apakah kubur itu dalam masjid, ataukah masjid dalam kuburan. Karenanya, kami mengingatkan kepada seluruh kaum muslimin (khususnya kepada seluruh pengurus atau panitia masjid) agar mereka takut kepada Allah dan jangan sampai membangun masjid di kuburan atau memasukkan kubur dalam lokasi masjid sampai kalian pun terkena laknat Allah sebagaimana yang menimpa ahli Kitab. Adapun jika ada yang berwasiat (baik itu imam masjid, pemilik masjid atau yang lainnya) agar ia dikuburkan di lokasi masjid, maka wajib hukumnya menolak wasiat itu dan haram mentaati atau melaksanakan isi wasiat itu. Sebab tak ada ketaatan kepada makhluk dalam mendurhakai Allah. Jadi, tidak semua wasiat wajib ditunaikan, bahkan sebagiannya haram ditunaikan bila ia adalah perkara yang menyelisihi syariat. [Baca: Buletin At-Tauhid dengan judul “Sholat di sisi Kuburan”, (edisi 93)]

Para pembaca yang budiman, apa yang kami nyatakan berupa haramnya dan dibencinya membangun masjid di kubur, atau mengubur dalam lokasi masjid, semua ini bukanlah pendapat kami semata, bahkan ia adalah pernyataan dan fatwa para ulama dari zaman ke zaman sebagaimana paparannya berikut ini:

ÿ Fatwa Mufti Al-Azhar Mesir, Syaikh Athiyyah Shoqr (1997 M)
Penanya berkata, “Apa pandangan agama tentang masjid-masjid yang di dalam ada kubur?”

Syaikh Athiyyah Shoqr -rahimahullah- menjawab setelah membawakan hadits-hadits yang menyebutkan laknat Allah kepada ahli Kitab seperti hadits di atas, “Diambil kesimpulan dari perkara ini bahwa Islam tidaklah menyepakati sesuatu yang dilakukan oleh Yahudi dan Nasrani berupa pembangunan masjid di atas kubur dan menjadikannya sebagai tempat ibadah”. [Lihat Fataawa Al-Azhar (9/31)- Syamilah]

ÿ Fatwa Guru Besar Al-Azhar dan Anggota Ulama Besar Mesir, Syaikh Ali Mahfuzh

Syaikh Ali Mahfuzh -rahimahullah- salah satu diantara ulama besar Mesir yang mengharamkan pembangunan masjid di atas kubur atau memasukkan kubur dalam lokasi masjid. Kali ini kami akan membawakan fatwa beliau secara ringkas dalam sebuah kitabnya yang mengulas tentang bid’ah, beliau berkata, “Diantara bid’ah, menjadikan kubur sebagai tempat ibadah dengan cara melaksanakan sholat kepadanya. Rahasia tentang perkara itu, bahwa mengkhususkan kubur dengan sholat di sisi kubur adalah menyerupai pengagungan terhadap berhala-berhala dengan melakukan sujud menghadap kepadanya dan mendekatkan diri kepadanya. Diantara bid’ah, membangun masjid di atas kubur”. [Lihat Al-Ibdaa’ fi Madhoorril Ibtidaa’ (hal. 183-184), karya Ali Mahfuzh, dengan tahqiq Sa’id bin Nashr bin Muhammad, cet. Maktabah Ar-Rusyd, Riyadh, 1421 H]

ÿ Fatwa Syaikh Muhammad Ath-Thohir Ibnu Asyur Al-Malikiy, Pimpinan para Mufti di Negeri Tunisia (wafat 1393 H)

Ulama dari negeri Tunisia, Al-Imam Muhammad Ath-Thohir Ibnu Asyur Al-Malikiy -rahimahullah- telah mengeluarkan pernyataan dalam sebuah kitabnya yang berjudul “At-Tahrir wa At-Tanwir” (8/353), “Membuat masjid di atas kubur dan sholat di atasnya adalah perkara yang terlarang, karena hal itu merupakan jalan yang akan mengantarkan kepada peribadatan kepada penghuni kubur atau ia menyerupai perbuatan kaum yang menyembah orang-orang sholih yang ada dalam agama mereka. Jalan pengantar (menuju peribadatan tersebut) khusus pada orang-orang mati, karena sesuatu yang melanda umatnya berupa kesedihan atas kepergiannya adalah perkara yang akan mendorong mereka untuk berlebihan dalam perbuatan mereka yang mereka anggap sebagai pemuliaan bagi penghuni kubur sepeninggalnya. Kemudian perkara seperti ini pun mulai dilupakan dan manusia pun akhirnya menyangka bahwa perbuatan (dilakukan berupa pemuliaan dan pengkultusan) karena keistimewaan yang ada pada diri si mayat. Pembangunan masjid di atas kubur adalah jalan hidupnya kaum nasrani (kristen). Kalau itu adalah syariat mereka, maka sungguh Islam telah menghapusnya. Bila kebiasaan itu adalah bid’ah, maka itu memang pantas bagi mereka”.

ÿ Pernyataan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy, Seorang Ulama Syafi’iyyah (wafat 852 H) dan Komentar Syaikh Abdul Aziz bin Baaz

A’isyah -radhiyallahu ‘anha- berkata, “Pada suatu hari Ummu Salamah menceritakan pengalamannya kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- tentang sebuah gereja bernama Gereja Mariyah yang pernah ia saksikan di Habasyah (Ethiopia) yang penuh dengan gambar makhluk (manusia). Lalu Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
أُوْلَئِكَ إِذَا مَاتَ مِنْهُمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا ثُمَّ صَوَّرُوْا فِيْهِ تِلْكَ الصُّوْرَةَ أُوْلَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللهِ
“Mereka adalah kaum yang apabila ada seorang yang shalih atau yang baik diantara mereka meninggal dunia, mereka membangungkan masjid di atas kuburannya dan membuat patung-patung di dalamnya. patung-patung itu. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah”. [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (434 & 1341), Muslim dalam Shohih-nya (568)]

Ketika mengomentar hadits ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata, “Sungguh orang yang memandang harusnya menutup jalan (menuju kesyirikan) akan menyatakan larangan (dari melaksanakan sholat di kubur). Pendapat ini disini tepat lagi kuat”. [Lihat Fathul Bari (3/266)]

Syaikh bin Baaz -rahimahullah- berkata saat memberikan ta’liq (komentar) bagi ucapan Al-Hafizh di atas, “Inilah pendapat yang benar berdasarkan keumuman hadits-hadits yang datang dalam melarang menjadikan kubur sebagai tempat ibadah dan adanya laknat bagi orang yang melakukannya, dan karena pembangunan masjid di atas kubur termasuk sarana terbesar bagi kesyirikan (menyekutukan Allah) dengan orang (mayat) yang dikubur disitu”. [Lihat Fathul Bari Syarah Shohih Al-Bukhoriy (3/266), cet. Darus Salam, 1421 H]

Terlarangnya pembangunan masjid di atas kubur atau melakukan penguburan dalam lokasi masjid adalah perkara yang jelas keharamannya, karena ia adalah dzari’ah (jalan) dan wasilah (sarana) yang mengantarkan kepada kemusyrikan dan penyembahan mayat. Walaupun yang dikubur disitu bukan orang sholih, maka itu juga tetap dilarang, demi menutup pintu kesyirikan dan penyembahan kepada makhluk. Sebab manusia bila melihat mayat dikuburkan dalam masjid, maka suatu saat (cepat atau lambat) akan ada orang yang menyatakan bahwa mayat itu dikubur di masjid karena punya keistimewaan, berupa kesholihan, ketaqwaan, kebaikan, atau ia dianggap wali. Sehingga lambat laun manusia pun melakukan ziarah dan ritual ibadah di sisinya sebagaimana yang terjadi pada kaum Nabi Nuh yang menyembah kubur orang-orang sholih mereka.
Semua jalan yang mengantarkan kepada kerusakan, baik itu syirik, kekafiran, dosa dan maksiat, maka pasti syariat akan menutup dan melarangnya. Karenanya, sholat di masjid yang ada kuburnya sama dengan sholat di kuburan, sebab keduanya merupakan perkara yang akan mengantarkan kepada pengkultusan kepada penghuni kubur, cepat atau lamban!!

Imam Asy-Syafi’iy -rahimahullah- berkata, “Aku tidak senang ada makhluk yang dikultuskan sehingga kuburnya dijadikan sebagai masjid (tempat ibadah). Hal ini sangat dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah (musibah) sepeniggal Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-”. [Lihat Al-Umm (1/246)]

Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi -rahimahullah- berkata, “Sungguh kami telah meriwayatkan (hadits) bahwa permulaan penyembahan arca adalah pengagungan terhadap orang mati dengan cara membuat gambar mereka dan sholat di sisinya. Demikianlah yang dilakukan oleh manusia (pada hari ini) pada kuburan orang-orang sholih mereka”. [Lihat Al-Mughniy (2/508)]

Disinilah hikmahnya, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melarang sholat di sekitar kuburan. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
لا تُصَلُّوا إِلَى قَبْرٍ، وَلا تُصَلُّوا عَلَى قَبْرٍ
“Janganlah kalian sholat menghadap kubur dan jangan pula sholat di atasnya”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (10/68)-Syamilah. Syaikh Al-Albaniy men-shohih-kannya dalam Ash-Shohihah (no. 1016)]

ÿ Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin
Syaikh Al-Utsaimin -rahimahullah- pernah ditanya tentang jawaban bagi syubhat orang-orang yang menyamakan masjid yang ada kuburnya dengan Masjid Nabawi, Madinah. Mereka menyatakan bahwa andaikan haram, maka pasti kubur Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tak akan dimasukkan ke masjid.

Syaikh Al-Utsaimin -rahimahullah- berkata dalam menjawab syubhat ini, “Jawaban bagi hal itu dari beberapa sisi. Pertama, bahwa Masjid Nabawi tidaklah dibangun di atas kubur Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, bahkan ia dibangun saat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- masih hidup. Kedua, bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tidaklah dikubur dalam Masjid Nabawi sehingga dikatakan, “Ini termasuk penguburan orang sholih dalam masjid”, bahkan beliau -Shallallahu alaihi wa sallam- dikubur di rumahnya.  

Ketiga, bahwa dimasukkannya rumah-rumah Rasul -Shallallahu alaihi wa sallam- (diantaranya, rumah A’isyah) ke dalam masjid, bukanlah kesepakatan para sahabat. Bahkan setelah meninggalnya mayoritas sahabat, yaitu pada sekitar tahun 94 H. Itu bukanlah termasuk perkara yang dibolehkan oleh para sahabat, bahkan sebagian mereka menyelisihi dalam perkara itu. Diantara orang yang menyelisihi hal itu, Sa’id bin Al-Musayyib. Keempat, bahwa kubur Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bukanlah di masjid sampaipun setelah dimasukkan, sebab kubur beliau di sebuah ruangan (rumah) yang terpisah dari masjid. Jadi, masjid Nabawi tidaklah di bangun di atas kubur Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Oleh karenanya, tempat ini (yakni, kubur Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-) jadi terjaga dan diliputi oleh tiga dinding. Lalu dinding itu dibuat dalam sebuah sudut yang menyerong dari kiblat, yakni dindingnya berbentuk segi tiga, dan juga tiangnya di sebelah utara sehingga tidak dihadapi oleh manusia, bila ia sholat, karena ia menyerong. Dengan ini, hancurlah hujjah pengagung kuburan dengan menggunakan syubhat ini”. [Lihat Fataawa Arkaan Al-Islaam (hal. 165-166)]

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- bahkan menyatakan bahwa di zaman itu tak ada lagi seorang sahabat pun di negeri Madinah yang hidup dan menyaksikan masuknya rumah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- ke dalam masjid sehingga syubhat di atas tak bisa dijadikan hujjah, sebab hujjah hanyalah terambil dari Al-Kitab dan Sunnah menurut pemahaman para sahabat. Selain itu, Syaikh Al-Albaniy (Ahli Hadits Negeri Syam) juga menegaskan (setelah mengutarakan sebagian alasan-alasan di atas) bahwa keutamaan Masjid Nabawi akan hilang bila terlarang sholat di dalamnya. Berbeda dengan masjid selainnya yang ada kuburnya, bila ditinggalkan, maka seseorang masih memiliki kesempatan meraih pahala di masjid lain, seperti pahala yang ia dapatkan di masjid yang ada kuburnya tersebut, bahkan mungkin pahalanya lebih besar lagi!! [Lihat Tahdzir As-Sajid (hal. 178)]

Selain itu, para nabi –alaihimush sholatu was salam- bila meninggal dunia, maka mereka dikuburkan ditempat mereka meninggal, tak boleh dipindahkan. Adapun selain nabi (misalnya, orang-orang yang dikuburkan di dalam masjid), maka ia berbeda dengan para nabi, bahkan haram mengubur mereka dalam masjid, dan wajib dipindahkan atau kuburnya dibongkar bila sudah terlanjur dikuburkan di masjid. [Lihat Fataawa Al-Azhar (9/31)-Syamilah, dan Tahdzir As-Sajid (hal. 61) oleh Al-Albaniy, cet. Maktabah Al-Ma’aarif, 1422 H]

Intinya, bahwa rumah A’isyah yang berisi kubur Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- masuk dalam perluasan masjid, bukanlah perintah dan izin dari para sahabat. Itu hanyalah tindakan Kholifah Al-Walid bin Abdil Malik bin Marwan Al-Umawiy, setelah meninggalnya para sahabat di Madinah. Jadi,meng-qiyas-kan (menyamakan) Masjid Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dengan masjid lain yang ada kuburnya adalah qiyas (analogi) batil!!!

Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel.  Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"Dipersilakan untuk menyebarluaskan isi dari blog ini untuk kepentingan da'wah, tanpa tujuan komersil dengan menyertakan URL sumber. Jazakumullohu khairan."