Wasilah dan Uslub (Metode) Manhaj Salaf Dalam Berdakwah
(Bagian 6)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Asy Syaikh Fawwaz bin Hulayil bin Rabah As
Suhaimi
Pembahasan Keenam
USLUB HAJR Siapa
yang Berhak Diajak Dengan Uslub Ini
Maksud dan Tujuan Hajr
Adapun yang menjadi tujuan hajr ini ialah meninggalkan
orang-orang yang durhaka (maksiat) dan ahli bid'ah. Tidak bergaul dengan mereka,
duduk bermajelis dengan mereka, sebagai peringatan keras bagi mereka agar jangan
sampai tersebar kesesatan dan kepalsuan mereka di tengah-tengah kaum
muslimin.
Dasar penerapan uslub hajr ialah firman Allah Subhanahu
wata'ala,
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا
فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ
الشَّيْطَانُ فَلا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ
الظَّالِمِينَ
"Dan apabila
kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah
mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan
menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersa
ma
orang-orang yang lalim itu sesudah teringat (akan larangan itu)." (Al An'am:
68)
dan firman Allah Subhanhu wata'ala,
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا
سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا
مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ
اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ
جَمِيعًا
"Dan sungguh
Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur'an bahwa apabila kamu
mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang
kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki
pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian),
tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua
orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahanam," (An Nisaa':
140)
Al Imam Asy Syaukani Rahimahullah dalam fathul Qadir
(2/122) menerangkan, "Di dalam ayat ini terkandung pelajaran yang sangat
berharga bagi mereka yang selalu bermajelis dengan ahlul bid'ah yang suka
merubah-rubah kalamullah, mempermainkan kitab-Nya (Al Quran) dan sunnah
Rasul-Nya Shallallahu'alaihi wasallam kemudian mereka kembalikan interpretasinya
kepada hawa nafsu dan kebid'ahan mereka. Maka kalau seperti ini tidak dapat
diingkari atau dirubah keyakinan sesat yang ada padanya paling tidak harus
dijauhi majelisnya. Dan tentunya yang terakhir ini jauh lebih
mudah."
Jadi, hajr (memboikot, menjauhi) adalah perkara yang
disyari'atkan untuk peringatan dan pendidikan. Tentang hal ini Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah menerangkan,
"Ahlul bid'ah yang jelas kebid'ahannya wajib diingkari.
Di antara bentuk pengingkaran yang disyari'atkan ialah meng-hajr-nya
sampai dia bertaubat. Di antara bentuk hajr ini misalnya mencegah atau
menghalangi kaum muslimin untuk mensholatkannya (kalau dia mati) agar
orang-orang yang meniru perbuatannya atau pemikirannya dan mendakwahkannya
meninggalkan sikap dan pemikiran sesat tersebut."
Hajr adalah salah satu uslub nabawi yang bertujuan
memperingatkan orang-orang yang menyimpang dan para pengikutnya agar jangan
sampai ada lagi kaum Muslimin yang tertipu. Perbuatan ini disyari'atkan demi
kemashlahatan agama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Tidak
sepantasnya Ahlus Sunnah wal Jama'ah bergaul dengan ahlul bid'ah sampai menjadi
sahabat dan orang yang istimewa. Karena dikhawatirkan ahlul bid'ah itu akan
menyeret dia atau orang lain karena persahabatannya dengan ahlul bid'ah
tersebut."
Inilah uslub nabawi yang datang untuk menjaga individu
dan masyarakat dari semua yang membahayakan mereka dalam urusan dunia dan
akhirat mereka. Sekaligus sebagai upaya menutup jalan yang akan membawa kaum
Muslimin kepada perangkap syaithan. Juga karena mengutamakan keselamatan kaum
Muslimin jangan sampai berubah atau menyimpang dari agama mereka. Jangan merasa
aman dari menyusup atau menularnya penyakit ini di antara individu dan
masyarakat muslim, jika menggampangkan pergaulan dengan orang-orang yang
menyimpang dan sesat.
Hal ini ditunjukkan dalam sabda nabi Shallallahu'alaihi
wasallam, ketika beliau Shallallahu'alaihi wasallam
mengatakan,
مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيْسِ السُّوْءِ
كَمَثَلِ صَاحِبِ المِسْكِ وَكِيْرِ الْحَدَّادِ: لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ
المِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيْهِ أَوْ تَجِدَ رِيْحَهُ، وَكِيْرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ
بَيْتَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيْحًا خَبِيْثَةً
“Perumpamaan
teman duduk yang baik dan teman duduk yang jelek seperti penjual misik (sejenis
minyak wangi, red.) dan pandai besi. Tidak lepas dirimu dari penjual misik, bisa
jadi engkau membeli darinya atau pun engkau mendapati bau harumnya. Sementara
pandai besi, bisa jadi dia membakar rumah atau bajumu atau engkau dapati bau
yang tidak sedap darinya.” (HR. Al-Bukhari no. 2101 dan Muslim no.
2628)
Imam Al Baghawi ketika menjelaskan uslub hajr ini
mengatakan, "Nabi Shallallahu'alaihi wasallam telah menerangkan akan adanya
perpecahan umat ini dan munculnya orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan
bid'ah di tengah-tengah mereka. Dan beliau Shallallahu'alaihi wasallam
mengeraskan keselamatan itu hanya pada mereka yang mengikuti sunnahnya dan
sunnah para shahabatnya. Maka wajib atas setiap Muslim jka melihat seseorang
menjadikan hawa nafsu dan bid'ah sebagai keyakinan atau meremehkan sebagian
sunnah, agar menjauhinya dan berlepas diri daripadanya. Dan hal itu telah
dilalui para shahabat Ridhwanullah'alaihim ajma'in, tabiin, dan
pengikut-pengikut mereka serta para ulama sunnah, di mana mereka sepakat dan
meyakini perlunya memusuhi dan menjauhi ahlul bid'ah."
Sebagai dalil pendukung uslub ini ialah kisah Ka'ab bin
Malik Radhiallahu'anhu yang masyhur bersama kedua sahabatnya ketika mereka tidak
ikut serta dalam perang Tabuk. Maka nabi Shallallahu'alaihi wasallam
memboikotnya dan kedua sahabatnya (Murarah bin Rabi'ah Al Amiri dan Hilal bin
Umayyah Al Waqifi), dalam hadits,
"Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam melarang kaum
Muslimin untuk bercakap- cakap dengan ketiga orang di antara orang-orang yang
tidak mengikuti perjalanan beliau itu. Ka'ab berkata: "Orang-orang menjauhi
kami," dalam riwayat lain ia berkata: "Orang-orang berubah sikap terhadap kami
bertiga, sehingga dalam jiwaku seolah-olah bumi ini tidak mengenal lagi akan
diriku, maka seolah-olah bumi ini adalah bukan bumi yang saya kenal sebelumnya.
Kami bertiga mengalami hal demikian selama lima puluh malam." (HR. Muslim dari
Ka'ab)
Para shahabat Radhiallahu'anhum juga menjadikan cara ini
sebagai salah satu uslub dalam dakwah mereka dan peringatan bagi orang-orang
yang sesat. Ibnu Abbas Radhiallahu'anhu mengatakan, "Jangan bermajelis dengan
ahlul bid'ah karena duduk bermajelis dengan mereka membuat hati menjadi
sakit."
Inilah Abdullah bin Mughaffal ketika memerintahkan
kerabatnya untuk tidak memanah dengan ketapel, dan dia menerangkan sunnah
Rasulullah dalam hal ini namun kerabatnya tidak mau berhenti. Maka dia berkata
kepadanya, "Saya sampaikan hadits dari Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam
kepadamu dan kamu masih menggunakan ketapel itu?? Saya tidak akan mengajakmu
berbicara selama- lamanya !!"
Dari uraian sebelumnya jelaslah bahwa uslub hajr telah
dijalani oleh para shahabat Radhiallahu'anhum dan tabiin dengan meneladani
Syaikhul Anbiya Shallallahu'alaihi wasallam. Bahkan akhirnya menjadi salah satu
ushul dalam buku-buku Ahlus Sunnah wal Jama'ah. tidak ada satu kitab yang
ditulis Ahlus Sunnah wal Jama'ah melainkan di dalamnya terdapat kaidah dan ushul
uslub ini berikut contoh dan penegasannya dari salaful ummah.
Ada baiknya untuk dipahami tentang bab ini, bahwa uslub
ini selalu dikaitkan dengan ketentuan syari'at dan tujuan-tujuan yang jelas,
sehingga musti diperhatikan ketika seorang da'i ingin menerapkan uslub ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan,
"Hajr ini berbeda sesuai dengan perbedaan orang-orang
yang menjalankannya, dalam hal kekuatan dan jumlah mereka. Karena yang dimaksud
dengan hajr ini adalah sebagai peringatan dan pelajaran bagi yang dijauhi
(diboikot), serta rujuknya kaum Muslimin dari sikap dan pemikiran sesat
tersebut. Sehingaa jika kemashlahatannya lebih kuat di mana akan menyebabkan
berkurangnya kejahatan maka hal itu disyari'atkan. Dan kalau orang yang dijauhi
atau yang lainnya tidak berhenti dari kesesatannya bahkan semakin bertambah
berani, dan yang memboikot sendiri kedudukannya lemah, atau dalam kata lain
kerusakan akibat hajr itu jauh lebih besar daripada kemashlahatannya maka hajr
tidak disyari'atkan."
Uraian beliau ini sangat tepat dan jelas bahwa hajr itu
akan disyari'atkan jika mendorong tercapainya tujuan yang diharapkan. Dan tujuan
tersebut tidak mungkin terwujud kalau orang yang memboikot lebih lemah
kedudukannya atau tidak ada pengaruhnya. Atau jumlah yang memboikot sedikit
sehngga tidak ada daya dan upaya bagi mereka berbuat demikian. Maka wajib atas
setiap da'i memahami hal ini dalam menjalankan uslub hajr ini. Karena semua
urusan itu tergantung pada ada tidaknya kemashlahatan di dalamnya. Sehingga
apabila uslub ini tidak bermanfaat maka hendaklah da'i beralih kepada uslub yang
lain dalam dakwahnya.
Demikian pula jika mad'u memungkinkan untuk diterangkan
kepadanya hakikat kebenaran dan merasa puas menerimanya, juga tidak pernah
mengajak orang lain kepada kebid'ahan dan menyebarkannya. Di sini ada perbedaan
antara da'i yang mengajak kepada kebid'ahan dan yang bukan da'i. Dan suatu
ketika hajr itu tidak sesuai bagi mereka yang tidak mengajak kepada kebid'ahan
karena merasa mendapat manfaat dari al haq yang disampaikan dengan uslub yang
lain.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan pula, "Adapun
seseorang yang bersembunyi dalam melakukan kemaksiatan dan kebid'ahan yang tidak
sampai kepada kekufuran maka dia tidak di-hajr. Dan yang di-hajr
ialah da'i yang mengajak kepada kebid'ahan karena hajr itu termasuk
hukuman."
Inilah keterangan yang kokoh dalam masalah hukum hajr
ini. Tidak berlaku bagi orang awam dan penuntut ilmu yang masih baru belajar
(shighor). Atau orang-orang yang tidak berguna di-hajr dan tidak
menghasilkan tujuan yang diharapkan atau tidak berpengaruh pada diri orang yang
diboikot. Sedangkan pada waktu itu pula duduk bersama ahlul bid'ah menimbulkan
mudharat bagi mereka karena tadlis (penipuan) dan penyesatan. Maka mereka harus
menjauh dari ahlul bid'ah dan orang-orang yang jahat agar tidak tercampur aduk
perkara agama mereka sebagimana telah dijelaskan.
Adapun yang menerapkan uslub hajr ini adalah ahli ilmu
dan agama. Yaitu orang- orang yang apabila salah seorang dari mereka melihat
adanya kemashlahatan dengan tidak melakukan hajr, maka ketika itu dia
menjalankannya, memberikan pengaruh dengan tindakannya bukan sebaliknya. Dengan
demikian wajib setiap da'i mengenal kaidah yang bijaksana dalam bab ini tanpa
adanya ifrath (berlebihan dalam masalah hajr) dan tafrith (meremehkan masalah
hajr) dan sesuai dengan petunjuk nabi Shallallahu'alaihi
wasallam.
[Dinukil dari kitab Asas Manhajus Salaf fii Da’wati
Ilallah Edisi Indonesia Manhaj Dakwah Salafiyyah, Penulis Asy Syaikh Fawwaz bin
Hulayil bin Rabah As Suhaimi, Penerbit Pustaka Al Haura, hal
238-244]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar