Wasilah dan Uslub (Metode) Manhaj Salaf Dalam Berdakwah
(Bagian 2)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Asy Syaikh Fawwaz bin Hulayil bin Rabah As
Suhaimi
Pembahasan Kedua
USLUB AL MAU'IZHAH Siapa yang Berhak Diajak Dengan Uslub Ini
Pengertian mau'izhah secara bahasa dan
istilah
Al 'Izhah, Al Mau'izhah, dan Al Wa'zhu,
juga dalam bentuk susunan Ar Rajulu yatta'izh jika dia menerima nasihat
ketika diingatkan kepada kebaikan dan hal-hal lain yang melunakkan
hatinya.
Jadi, kalimat ini artinya adalah nasihat, peringatan
dengan (menerangkan) akibat (perbuatannya), dan hal-hal yang dapat menjadikan
hati seseorang menjadi lembut, apakah dengan menyebutkan adanya pahala atau
hukuman yang diterimanya akibat perbuatan atau sikapnya.
Maka jelaslah melalui pengertian secara bahasa, bahwa
makna istilah kalimat ini ialah bimbingan dan nasihat serta pengarahan dengan
segala sesuatu yang dapat membuat lembut hati seseorang, misalnya dengan
mengingatkannya kepada hukuman atau pahala yang akan diterimanya akibat sikap
dan perbuatannya.
Dan pengertian menurut istilah ini jelas berkaitan erat
dengan pengertian secara bahasa, dari sisi dalalah yang pertama (pengertian
bahasa) kepada yang kedua (istilah).
Siapa yang Berhak Diajak Dengan Uslub
Ini
Dasar pembahasan ini ialah ayat yang sering kita
paparkan, yaitu firman Alla
h Subhanahu wata'ala,
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
"Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik." (An Nahl: 125)
Ibnu Qayyim dalam menerangkan pengertian mau'izhah ini
mengatakan, "yaitu semua perintah dan larangan di dalam Al Quran melalui
targhiib dan tarhiib."
Semakna dengan ini pula keterangan Syaikh As Sa'di
Rahimahullah dalam tafsr beliau. Siapapun yang memperhatikan ayat ini akan
melihat urutan-utuan metode dakwah yang diterapkan kepada mad'u (obyek dakwah).
Sebab ada di antara mad'u itu yang jahil tidak mengenal al haq (kebenaran), dan
ni seperti yang telah diuraikan, diajak dengan hikmah, yaitu menjelaskan al haq
kepadanya dari Al Quran dan As Sunnah.
Adapun orang yang sudah menbetahui al haq dengan jelas,
namun tidak mau mengamalkannya, atau tidak berbuat dengan (dasar) al haq
tersebut, mungkin karena kelalaiannya, maka haknya untuk diajak dengan mau'izhah
dan peringatan melalui upaya mengingatkan dia akan pahala dan hukuman yang akan
diterimanya akibat sikap dan perbuatannya itu, sampai hatinya lembut dan tunduk
untuk senantiasa mengamalkan al haq yang diketahuinya.
Al Allamah Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah menerangkan,
"apabila seorang mad'u mempunyai sikap kaku dan berpaling (menolak), maka dia
diajak dengan mau'izhah yang baik, dengan menyebutkan ayat-ayat Al Quran dan
hadits-hadits yang di dalamnya terkandung pelajaran atau nasihat dan
targhiib."
Mau'izhah dapat dilakukan dengan menyebutkan ayat-ayat
Al Quran dan hadits- nadkts, atau perumpamaan (tamtsil) yang ada di dalam Al
Quran. Atau dengan menerangkan pahala dan hukuman yang akan diterimanya, atau
akibat dari sikap dan perbuatannya. Di mana semua itu diharapkan melunakkan
hatinya sehingga dia tidak lalai dalam mengingat Allah Subhanahu
wata'ala.
Siapapun yang mempelajari Al Quranul Karim dan Sunnah
nabi Shallallahu'alaihi wasallam akan melihat pada keduanya berbagai pelajaran
untuk mengingatkan hati manusia yang lalai. Di antaranya berupa kisah umat-umat
terdahulu, atau hal-hal yang dapat disaksikan dalam kehidupan sehari-hari
seperti makhluk-makhluk ciptaan Allah ini, di langit dan di
bumi.
Perhatikan keadaan Abu Bakar As Shiddiq Radhiallahu'anhu
yang memiliki hati yang jujur dan selamat, bersih; bersumpah tidak akan memberi
nafkah lagi kepada Misthoh bin utsatsah karena ucapannya terhadap 'Aisyah dalam
peristiwa Haditsul Ifk (berita dusta), yaitu ketika turun ayat yang mulia, di
mana Allah Subhanahu wata'ala berfirman,
وَلا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ
يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَى وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ
وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
"Dan janganlah
orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah
bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya),
orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan
hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa
Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (An
Nuur: 22)
Abu Bakar Radhiallahu'anhu menangis sambil mengatakan,
"Tentu, demi Allah, saya sangat suka kalau Allah mengampuniku." (HR. Bukhari
dari 'Aisyah)
Jelaslah bahwa mau'izhah itu sangat berpengaruh ke dalam
jiwa seseorang yang beriman dan tenang. Yaitu jiwa yang telah mengenal al haq
dan siap beramal dengannya atau siap mengamalkan al haq tersebut. Dari sini,
tampak bahwa mau'izhah itu hanya diperlukan oleh mereka yang telah mengenal al
haq, namun ditimpa oleh berbagai hal yang menyebabkan dia tidak mengamalkannya
seperti kelalaian dan sejenisnya.
Di antara kekeliruan yang terjadi ialah adanya
penempatan mau'izhah ini sebagai uslub atau cara yang tidak pernah ada di masa
Salafus Shalih. Seperti adanya sekelompok orang yang tidak pernah dikenal
mempunyai ilmu ataupun pemahamaan untuk masuk ke dalam masalah mau'izhah ini
atau menekuninya. Hal itu berdasarkan anggapan akan meruntuhkan rambu-rambu atau
petunjuk yang lainnya, maka wajib dijadikan sebagai jalan atau cara yang
pertama. Akan engkau lihat salah seorang di antara mereka lebih memperhatikan
hal-hal seperti Fadha'ilul A'mal sebagai bahasan dakwah dan bimbingannya; tetapi
tidak di atas sunnah dan kebenaran, bahkan justru di atas bid'ah dan pemalsuan.
Maka seorang da'i harus tetap di atas ilmu tentang petunjuk yang ada di dalam Al
Quran dan As Sunnah, memahami agama ini sesuai dengan apa yang dipahami oleh
pemberi nasihat atau pelajaran yang terdahulu (yakni Salafus
Shalih).
Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Jauzi, "Para pemberi
pelajaran atau nasihat pada masa lalu terdiri dari para ulama dan ahli
fiqih."
Adanya sekelompok orang yang menekuni jalan para
Qushshash (tukang cerita) bulan (jalan) para ulama dan penuntut ilmu,
menjadikannya sebagai tanda terhadap orang-orang tertentu, sama sekali tidak
pernah ada pada jaman Salafus Shalih, sebagaimana dikatakan oleh Ath Thurthusi,
"Para ulama kami (maliki) mengatakan: Tidak pernah ada orang yang menyampaikan
kisah pada jaman nabi Shallallahu'alaihi wasallam, Abu Bakr, apalagi Umar
Radhiallahu'anhum ajma'in."
Kenyataan ini cukup membuktikan bathilnya metode yang
ditempuh oleh tukang- tukang cerita dalam memberikan pelajaran atau nasihat
mereka, lantas, bagaimana kalau untuk itu harus dikumpulkan manusia dari
berbagai penjuru, tentunya menambah jelas kebathilan perkara
ini.
Jadi jelaslah, menuntun manusia dan membimbing mereka
harus berdasarkan cahaya Al Quran dan As Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah
karena kaduanya sangat lengkap dan mencukupi.
[Dinukil dari kitab Asas Manhajus Salaf fii Da’wati
Ilallah Edisi Indonesia Manhaj Dakwah Salafiyyah, Penulis Asy Syaikh Fawwaz bin
Hulayil bin Rabah As Suhaimi, Penerbit Pustaka Al Haura, hal
214-218]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar