Nasehat
Untuk Para Muslimah (Bagian 1)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Syaikh Jamal Al Haritsi Hafizhahullah
(Bagian 1)
Mukaddimah
Segala puji hanya bagi Allah, shalawat dan salam kepada
Nabi Muhammad yang tiada lagi nabi sesudahnya. Amma ba’du.
Ini adalah beberapa patah kata ringkas yang aku
alamatkan kepada akhwat muslimah di setiap tempat –melalui jaringan internet–
apalagi jaringan internet seperti ini sudah menjadi sarana yang paling cepat dan
bermanfaat untuk menyebarkan dakwah yang bersumber dari Al Kitab dan As Sunnah
sesuai dengan manhaj As Salafush Shalih semoga Allah Subhanahu wata'ala
merahmati mereka. Dan aku telah menyusunnya dalam beberapa poin dan beberapa
potongan ringkas. Sebaik-baik perkataan adalah perkataan Allah Subhanahu
wata'ala dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad
Shallallahu'alaihi wasallam. Ini adalah isyarat dariku bahwa di beberapa bagian,
aku akan mencukupkan diri dengan menyebutkan beberapa ayat yang menjelaskan
suatu perkara.
Dari risalah Nasehat untuk Setiap
MuslimahAku katakan wa billaahit tawfiiq:
Bertakwalah kepada Allah Subhanahu
wata'ala
Aku nasehatkan setiap wanita muslimah, baik yang telah
menikah atau masih sendiri, yang kecil atau yang besar, yang tua atau yang muda,
agar ia bertakwa kepada Allah Subhanahu wata'ala terhadap dirinya karena Allah
Subhanahu wata'ala telah berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu'alaihi
wasallam:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ اتَّقِ
اللَّهَ
“Hai Nabi,
bertakwalah kepada Allah..” (Al Ahzab: 1)
Maka orang-orang selain Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi
wasallam lebih pantas mendapatkan arahan dan nasehat ini.
Menahan pandangan
Maka janganlah engkau memandangi pria-pria asing, baik
di jalan atau di pasar, atau di televisi, atau di foto-foto dan majalah-majalah
serta koran-koran, atau di jaringan internet. Karena pandangan itu adalah pintu
masuk kepada perkara yang lebih besar lagi. Allah Subhanahu wata'ala
berfirman:
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ
إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ
أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء وَلَا
يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا
إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
“Katakanlah
kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera
suami mereka, atau saudara-saudara laki- laki mereka, atau putera-putera saudara
lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita
islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang
tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An Nuur:
31)
Tidak melembutkan suara kepada lelaki yang bukan
mahram
Dan janganlah seorang wanita melembut-lembutkan suaranya
di depan para pria asing –non mahram– sama saja baik perkataannya itu secara
langsung seperti ketika berjual-beli di pasar, atau seperti yang berbicara
kepada saudara-saudara suaminya atau salah satu kerabatnya atau suaminya yang
bukan mahram –sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian masyarakat-, atau juga
ketika perkataannya itu dari balik hijab, atau melalui telpon atau Paltalk atau
Messenger. Allah Subhanahu wata'ala berfirman:
يَا نِسَاء النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاء
إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ
مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفاً
“Hai
isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu
bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah
orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik,” (Al
Ahzab: 32)
Firman ini ditujukan kepada ummahaatul mu`miniin yang
bersih dan selalu menjauhkan diri dari perkara-perkara tidak baik, di dalam
suatu masyarakat yang suci murni, yang dipilih oleh Allah Subhanahu wata'ala
untuk mendampingi Nabi-Nya Shallallahu'alaihi wasallam, maka wanita-wanita di
masa kita sekarang ini lebih pantas untuk mendapatkan arahan dan nasehat ilahi
ini.
Menetap di dalam rumah dan selalu
berhijab
Dan seorang wanita muslimah hendaknya tetap di rumahnya
dan tidak keluar ke pasar kecuali untuk keperluan yang benar-benar darurat dan
dengan keadaan tidak mutabarrijah. Kalau ada orang yang memenuhi keperluannya di
pasar maka hendaknya berhamdalah. Dan hendaknya ia juga waspada untuk tidak
keluar ke taman-taman dan tempat-tempat rekreasi serta tempat-tempat yang
bercampur baur dengan laki-laki, baik anak-anak muda atau yang lain. Allah
Subhanahu wata'ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ
الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً
“Dan hendaklah
kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
taatilah Allah Subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah Subhanahu
wata'ala bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Al Ahzab: 33)
Dan wajib atas seorang muslimah yang sungguh-sungguh
mencintai Allah Subhanahu wata'ala dan Rasul-Nya -tidak sekedar mengaku-ngaku-
untuk mengenakan hijab syar’i yaitu dengan menutup wajahnya dan memakai pakaian
yang longgar dan panjang, bukan yang sempit, pendek atau tembus pandang, kalau
ia ingin keluar dari rumah untuk suatu keperluan. Allah Subhanahu wata'ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ
وَنِسَاء الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى
أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً
رَّحِيماً
“Hai Nabi,
katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri- isteri
orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.”
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak di ganggu. Dan Allah Subhanahu wata'ala adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Al Ahzab: 59)
Umar Radhiallahu'anhu berkata: “Tidak ada sesuatu pun
yang menghalangi seorang muslimah, ketika ia mempunyai suatu keperluan, untuk
keluar dengan mengenakan kain penutup miliknya atau milik tetangganya sambil
bersembunyi-sembunyi sehingga tidak ada seorangpun yang mengetahuinya, sampai
kemudian ia kembali lagi ke rumahnya”.
Semua ini, yaitu menetap di dalam rumah dan selalu
berhijab, muncul dari buah ilmu syar’i yang bersumber dari Al Kitab dan As
Sunnah. Allah Subhanahu wata'ala berfirman:
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ
اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفاً خَبِيراً
“Dan ingatlah
apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah Subhanahu wata'ala dan hikmah
(sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah Subhanahu wata'ala adalah Maha Lembut lagi
Maha Mengetahui.” (Al Ahzab: 34)
Meskipun perkataan ini ditujukan kepada ummahaatul
mu`miniin, namun yang dijadikan ibroh adalah keumuman lafal bukan kekhususan
sebab, dan para wanita selain ummahaatul mu`miniin lebih memerlukan ilmu dan
lebih perlu mempelajari hal-hal yang meluruskan agamanya.
Mentauhidkan Allah Ta'ala
Dan yang paling harus diketahui oleh setiap muslim dan
muslimah adalah mentauhidkan Allah Subhanahu wata'ala dan mengesakan-Nya dalam
ibadah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun agar ibadahnya diterima. Dan
seorang muslimah hendaknya menjaga dirinya dan kehormatannya. Allah Subhanahu
wata'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءكَ الْمُؤْمِنَاتُ
يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَن لَّا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئاً وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا
يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ
يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي
مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ
رَّحِيمٌ
“Hai Nabi,
apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji
setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak
akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang
mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu
dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah
ampunan kepada Allah Subhanahu wata'ala untuk mereka. Sesungguhnya Allah
Subhanahu wata'ala maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Mumtahanah:
12)
Dan ketahuilah wahai akhwat muslimat, bahwa ayat berikut
ini begitu mencakup, padat, sarat muatan, menghimpun dan mencukupi, bagi orang
yang mentadabburi, memahami dan mengamalkannya. Yaitu firman
Allah:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ
وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ
وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ
وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيراً
وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْراً
عَظِيماً
“Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan
yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Subhanahu wata'ala telah
menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al Ahzab:
35)
Memiliki perhatian terhadap ilmu
syar'i
Aku nasehatkan para akhwat muslimat untuk memiliki
perhatian terhadap ilmu syar’iy yang berasaskan dalil dari Al Kitab dan As
Sunnah, yang tanpanya suatu ibadah wajib tidak akan dapat dilakukan. Dan aku
tidak bermaksud bahwa seorang muslimah mendalami masalah-masalah sekunder dengan
mengorbankan perbuatan- perbuatan wajib yang harus ia kerjakan seperti mengurus
suami dan anak-anak, mengatur rumah. Hal-hal ini lebih wajib untuknya daripada
mendalami masalah- masalah sekunder dalam agama.
Hendaknya ia memulai dengan yang pokok. Dengan memahami
tauhid dan segala hal yang bertentangan dengannya dari perkara syirik yang
termasuk pembatal agama. Kemudian dengan masalah-masalah yang dapat membetulkan
shalatnya, demikian juga masalah-masalah thaharah untuk wanita, dan dia harus
mengetahui kapan harus shalat dan puasa dan kapan harus berhenti shalat dan
puasa misalnya, dan seterusnya. Dia juga perlu mempelajari hal-hal yang
membuatnya mengerti soal pendidikan anak-anaknya, demikian juga kiat-kiat
mengurus suami dengan baik. Intinya, seorang wanita muslimah harus mempelajari
hal yang paling wajib terlebih dahulu, kemudian hal yang wajib di bawahnya,
berkaitan dengan segala sesuatu yang membetulkan ibadahnya dan yang tanpanya
suatu perkara wajib tidak dapat dilaksanakan. Dan dia menjauh dari
masalah-masalah khilafiyyah sebisa mungkin, bahkan hendaknya dia berusaha keras
untuk itu.
Meninggalkan perdebatan dalam
agama
Sebagaimana aku juga menasehatkan para muslimah untuk
meninggalkan perdebatan dalam masalah agama dan memberikan bantahan-bantahan
yang menjadi kesibukan sebagian mereka yang mengklaim diri sebagai penuntut
ilmu. Mereka ikut-ikutan para thullaabul ilmi dan masyayikh dalam masalah
memberi bantahan kepada orang yang menyelisih. Si fulanah ini menulis bantahan
untuk fulanah ini. Yang ini menulis bantahan untuk fulanah itu. Sampai-sampai
seorang dari muslimah itu menulis bantahan kepada si fulan yang itu. Maka mereka
sibuk dan disibukkan dari perkara wajib yang tentangnya mereka akan dimintai
pertanggungjawaban.
Wahb bin Munabbih Rahimahullahu berkata: “Tinggalkan
perbuatan berbantah- bantahan dan saling mendebat dari urusanmu. Karena
sesungguhnya engkau tidak akan dapat melemahkan salah satu dari dua orang ini:
orang yang lebih berilmu darimu. Bagaimana engkau akan mendebat dan berbantahan
dengan orang yang lebih berilmu darimu? Kemudian orang yang kamu lebih berilmu
darinya. Bagaimana kamu akan mendebat dan berbantahan dengan orang yang kamu
lebih berilmu darinya dan dia tidak mau menurutimu. Maka putuslah hal itu dari
dirimu.”
Abdullah Al Basriy Rahimahullahu berkata: “Sunnah
menurut kami itu bukanlah dengan engkau membantah para pengikut hawa nafsu, akan
tetapi sunnah menurut kami adalah dengan engkau tidak mengajak bicara seorangpun
dari mereka.”
Al Abbas bin Gholib al Warraaq Rahimahullahu berkata:
“Aku berkata kepada Ahmad bin Hanbal Rahimahullahu: “Wahai Abu Abdillah ketika
aku berada di suatu majlis yang tidak ada seorangpun yang mengetahui sunnah
kecuali aku, kemudian ada seorang mubtadi’ yang berbicara, apakah aku
membantahnya?”. Imam Ahmad berkata: “Jangan kamu pasang dirimu untuk orang ini.
Beritahukan yang sunnah dan jangan kamu mendebat”. Maka aku ulangi lagi
perkataanku itu kepadanya. Lalu ia berkata: “Aku memandangmu tidak lain hanyalah
seorang pendebat”.
Jangan tergesa-gesa dalam memberi
fatwa
Dan tinggalkanlah perbuatan memberitahu orang tentang
sesuatu yang masih “katanya” di antara kalian, wahai para akhwat. Dan janganlah
engkau menghukumi seseorang dari kalian dengan suatu pelanggaran sampai engkau
mendapatkan kepastian dan engkau tanyakan kepada salah seorang ulama atau
masyayikh atau kepada para tholabatul ilmi yang dikenal dengan keistiqomahannya
di atas manhaj salaf dan termasuk orang yang memiliki keteguhan dan pertimbangan
sehat. Bukan termasuk orang-orang yang tergesa-gesa dan tertipu oleh dirinya
sendiri dengan membangga-banggakannya meskipun mereka itu adalah salafiyyin.
Kamu tanyakan kepada mereka tentang hal yang diyakini oleh seorang dari kalian
sebagai pelanggaran menurut pandangannya. Agar tidak sampai terjadi perpecahan
pendapat, keberselisihan hati dan ke-saling-menjauh-an
perasaan.
Dan hendaknya seorang yang menjadikan dirinya sebagai
da’i dari kalian, untuk bertaqwa kepada Allah Subhanahu wata'ala di dalam
dakwahnya. Maka dia menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak seorang da’i kepada
Allah. Yaitu berhias dengan kesabaran terhadap orang yang menyelisihi, dan
begitu juga terhadap orang yang jahil. Dan sebelumnya hendaknya ia menyiapkan
persenjataan berupa ilmu tentang hal-hal yang ingin ia sampaikan dan ia
dakwahkan. Dan salah satu hal yang menunjukkan kafaqihan Imam Bukhori dan
pemahamannya yang benar atas Al Kitab dan As Sunnah, bahwasanya beliau membuat
satu bab dalam kitab al Jaami’ ash Shhiih-nya, dan berkata: “Bab, Mengilmui
sebelum berkata dan beramal”. Allah Subhanahu wata'ala ta’aalaa berfirman: (maka
ketahuilah bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah Subhanahu
wata'ala dan memohon ampunlah atas dosa-dosamu).
Bersambung... insya Allah
[Dinukil dari risalah Nashaih Syaikh Jamal Al Haritsi
lil Akhwatis Salafiyat. Diterjemahkan oleh redaksi http://akhwat.web.id dari
tautan: http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=335750]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar