Di antara Keajaiban Zaman :
Setahun Sebelum ‘Ali al-Halabi dilahirkan, sudah di manakah asy-Syaikh Rabi’?!!
‘Ali Hasan al-Halabi
dilahirkan pada 29 Jumadats Tsani 1380 H (yakni sekitar 18 Desember 1960
M) sebagaimana termaktub dalam biografinya.
Aku tidak mengatakan pada tahun tersebut (1380 H) asy-Syaikh Rabi’ sudah di mana, tapi aku katakan : setahun sebelumnya (1379 H) asy-Syaikh Rabi’ sudah di mana.
Berikut kami sajikan kepada
pembaca sekalian, salah satu surat asy-Syaikh Rabi’ kepada salah seorang
tokoh ‘ulama besar pada zamannya.
halaman pertama surat asy-Syaikh Rabi’
____
surat selengkapnya bisa didownload di sini :
Terjemah surat :
بسم الله الرحمن الرحيم
Kepada yang mulia dan utama, da’i ke jalan Allah, mujahid fi sabilillah, asy-Syaikh ‘Abdullah bin Sa’di al-Ghomidi semoga Allah menjaganya, dan memberinya taufiq, serta meluruskan langkahnya.
Wa ba’d :
Aku kabarkan kepada anda tentang rihlah-ku
ke negeri Yaman, sebuah perjalanan yang sebenarnya sangat berat, yaitu
aku harus menempuh perjalanan pulang pergi lebih dari sepekan.
Namun bihamdillah (dengan
memuji Allah) kami mampu menunaikan sebagian kewajiban. Karena tujuanku
adalah menjalin hubungan dengan sebagaian para ‘ulama. Dan memang
benar, aku berhasil berhubungan dengan mereka. Yang pertama, al-Faqih
Qasim. Aku bertemu dengannya. Beliau memiliki sejumlah murid. Maka kami
pun membuka majelis mudzakarah bersama beliau. Pembahasan pertama adalah tentang Tauhid al-Asma’ wa ash-Shifat, dari (kitab) ash-Shawa’iqul Mursalah.
Kami memulai majelis pada jam 02.00 (dini hari), hingga jam 08.00 (pagi
hari). Dalam kesempatan tersebut kami membahas tema-tema penting,
hingga tampak jelas pada mereka bahwa aku berada di atas as-Sunnah.
Mereka tidak mendapati padanya
ada celaan sedikit pun. Bahkan mereka mendapatinya benar-benar sebagai
petir yang menggugurkan semua penentangan. Dan mereka juga tidak
mendapatkan sedikit pun permasalahan-permasalahan yang didustakan
terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya, di samping
tentunya mereka sendiri terjatuh pada beberapa penyimpangan berupa tasybih dan tajsim.
Bahkan aku berikan kesempatan kepada mereka untuk memuthala’ah semua
kitab Syaikhul Islam dan para pengikutnya yang ada di depan mata
mereka. Sungguh sebesar apa pun upaya mereka niscaya mereka tidak akan
bisa mendapatkan sedikitpun berbagai kedustaan yang disematkan oleh para
dajjal kepada Syaikhul Islam dan para pengikutnya. Mereka pun ridho
dengan metode ini, dan mereka menampakkan kepadaku semua kegembiraan dan
rasa senang, bahkan mereka bersumpah kepadaku bahwa inilah yang mereka
yakini dan inilah al-Haq, inilah jalannya as-Salafush Shalih. Adapun
jalan yang ditempuh oleh kaum Asy’ariyyah dan yang lainnya berupa ta’wil
sifat istiwa’ dengan istaula (berkuasa) bahkan menta’wil semua sifat Allah, itu adalah batil. Mereka menyatakan bahwa mereka beriman terhadap sifat istiwa’ (tinggi, naik, dan berada di atas ‘Arsy), nuzul (Allah turun ke langit dunia), al-maji’ (datang),
(dan sifat-sifat Allah lainnya) sebagaimana yang Allah beritakan
tentang diri-Nya dan yang diberitakan oleh Rasul-Nya. Mereka mengatakan
kepadaku, bahwa tidaklah kami mengucapkan ini demi mencari muka, atau
karena takut, atau karena riya’.
Kemudian para hari kedua, kami membaca kitab Fathul Majid.
Mereka ternyata sebelumnya telah menelaah kitab tersebut. Mereka pun
mengakui ini adalah haq. Bahwa orang-orang yang bergantung kepada para
wali dan tempat-tempat ibadah adalah sesat, dan semua yang mereka
perbuat di tempat-tempat ibadah tersebut adalah kesyirikan. Hanya saja
mereka tidak secara tegas menyatakan bahwa hukum orang-orang tersebut
telah keluar dari agama. Namun aku tidak bersikap keras terhadap mereka dalam permasalahan ini. Bahkan
aku melihat bahwa itu sudah hal yang bagus dari mereka, jika melihat
kondisi mereka (selama ini). Karena belum pernah terjadi hubungan antara
kami dengan mereka sebelum kesempatan ini. Maka kami berikan dorongan
kepada mereka untuk mentadabburi (merenungkan) dalil-dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah.
Dan kami sangat berharap besar agar semua al-Haq benar-benar tampak
bagi mereka. bagaimana pun kami menganggap ini sebagai sebuah langkah
(maju) yang sangat baik dari mereka.
Kemudian kami menuju al-Jabiriyyah. Setelah kami mendorong mereka untuk mengajarkan Kitab Tauhid
dan kitab-kitab lainnya tentang tauhid, maka merekapun menyambut ajakan
ini. Hanya saja mereka khawatir mereka akan diawasi dari sisi politik.
Karena sangat berbekas kepada mereka peristiwa pelarangan madaris asy-Syaikh
‘Abdullah, yaitu pada masa-masa dibukanya beberapa madrasah di sana,
dan terjadilah benturan terhadap mereka. Kecuali apabila mereka memiliki
kemampuan dan aman dari pertentangan, niscaya mereka akan melakukan itu
(mengajarkan Tauhid). Namun seorang murid yang cerdas bernama ‘Ali bin
Muhammad Wahan terang-terangan mengatakan bahwa dia akan mengajarkannya,
dan akan mengajak manusia kepada tauhid dengan terang-terangan di
daerah al-Hasyabirah. Sungguh sikapnya dia membuat kami gembira.
Iya, kami sampai di
al-Jabiriyah di sisi putra-putra al-Faqih Yusuf, mereka adalah para
fuqaha desa tersebut. Terjadilah diskusi dengan metode seperti metode
pertama, yaitu membahas tempat-tempat penting dari kitab ash-Shawaiqul Mursalah dan kitab al-Hamawiyyah.
Setelah sebelumnya mereka takut untuk membahasnya karena terpengaruh
kitab-kitab para dajjal yang menisbahkan kepada Syaikhul Islam dan para
pengikutnya tajsim dan tasybih. Maka aku tegaskan kepada
mereka bahwa seberapapun upaya para dajjal itu niscaya mereka tidak akan
mendapati padanya (yaitu pada kitab-kitab Syaikhul Islam dan
murid-muridnya) kecuali al-Haq yang bersumber dari al-Kitab dan
as-Sunnah serta membantah berbagai syubhat batil dengan diskusi ilmiah
dan hujjah (argumentasi) aqliyyah dan naqliyyah. Mereka juga akan
mendapati bahwa Syaikhul Islam dan murid-muridnya justru orang paling
keras terhadap musyabbihah (orang-orang yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makluk-Nya) dan mu’aththilah (orang-orang yang mengingkari sifat-sifat Allah). Kemudian mereka pun menelaah kedua kitab tersebut (ash-Shawa`iqul Mursalah dan al-Hamawiyah),
maka mereka tidak mendapati sedikitpun apa yang dinisbahkan oleh para
dajjal itu. Mereka menunjukkan keheranan yang sangat besar, bagaimana
bisa dinisbahkan kepada Syaikhul Islam dan murid-muridnya
kedustaan-kedustaan tersebut. Seperti yang dilakukan oleh Ibnu Bathuthoh
dan yang semisalnya, yang mereka dulunya menaruh prasangka baik kepada
orang-orang tersebut. Mereka pun yakin bahwa aku berada di atas al-Haq,
dan tidak tampak penentangan sedikitpun.
Kemudian mereka menunjukkan
aqidah al-Ghazali, agar aku memberikan penilaiannya terhadapnya. Maka
aku pun berbicara dengan kritikan yang tampak padaku, di antaranya
adalah bahwa al-Ghazali mengikari sifat Allah berbicara dengan huruf dan
suara. Maka aku katakan, bahwa Allah berbicara dengan huruf dan suara,
lalu aku sebutkan kepada mereka dalil-dalil masalah ini. mereka pun
sedikit bingung. Kemudian salah seorang di antara mereka berkata,
“Adapun Allah berbicara dengan huruf dan suara maka itu sebagaimana
dalam hadits yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari.” Mereka pun
puas ketika itu, dan mendapatkan faidah bahwa mereka tidak boleh
menambahi dari (prinsip) tidak menyifati Allah kecuali dengan apa yang
Allah sifati diri-Nya dengannya, dan yang disifati oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pada mereka ada banyak kitab-kitab Ahlus Sunnah, terutama juga
kitab-kitab Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim yang sebelumnya kitab-kitab
tersebut terbengkalai dan terlantar. Sebagaimana pula mereka mendapatkan
faidah bahwa mereka sekarang akan mengajarkan kitab-kitab tersebut agar
bisa memetik hasilnya. Sebagaimana mereka menjelaskan bahwa aku di atas
al-Haq dalam permasalahan Tauhid Ibadah, dan mereka berkomitmen untuk
mengajarkan tauhid.
Ini
yang tampak padaku dari semua mereka. Maka aku terima dari mereka, dan
serahkan urusan batin mereka kepada Allah, dengan lebih menguatkan sisi
kejujuran.
Adapun orang-orang awam, maka
aku menghubungi kurang lebih tiga desa yang ada. Aku menyampaikan
nasehat kepada mereka secara lisan, sebagaimana juga bacakan kepada
mereka nasehat untuk kaum muslimin. Mereka menampakkan kegembiraan dan
persetujuan. Kalau seandainya dari pihak hukumah (pemerintah)
menyetujui penyebaran madrasah-madrasah tauhid, niscaya akan mendapatkan
sambutan yang besar dari umat. Kita berharap kepada Allah agar
mewujudkan harapan ini, dan harus ada upaya yang dilakukan kepada
pimpinan (negara) insya Allah. Kita sama-sama berdo’a kepada Allah semoga memberinya taufiq untuk bisa merealisasikan harapan kami ini.
Catatan: bahwa al-Akh ‘Ali
Muhammad Wahan yang tersebut di atas, telah menulis kepada anda sebuah
surat untuk berkenalan dengan anda. Dan dia meminta kitab-kitab yang
cocok untuk dakwah dan diajarkan. Sebagaimana aku ketika melihat
keteguhan tekadnya dan semangatnya untuk berdakwah dan mengajar aku
sampaikan kepadanya agar ada guru yang mencukupimu, yang dengan itu kamu
terbantu untuk melaksanakan tugas penting ini.
Kami memohon kepada Allah agar memberikan taufik kepada kami dan kepada anda, serta keselamatan di dunia dan di akhirat.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته وأبلغوا سلامنا جميع الأصدقاء والمحبين
Murid
Rabi’ Hadi ‘Umair
1379 H
— * * * —
Perhatikan wahai saudaraku,
bagaimana asy-Syaikh pada tahun 1379 H, yang pada waktu itu usia beliau
baru 28 tahun, sudah berdakwah ke Yaman. Tentu saja Yaman pada waktu itu
yang pengaruh tarekat-tarekat Sufiyah masih sangat kental, juga
Zaidiyah (Syiah), di samping ideologi sosialis.
Allahu Akbar, dari surat tersebut sangat jelas pada kita bahwa pada tahun tersebut rihlah berdakwah
di Yaman demi sebuah tujuan yang sangat besar, menebarkan agama Allah
dan memperbaiki kerusakan yang ada di negeri Yaman. Beliau lakukan itu dengan hikmah, penuh kelembutan dan sikap bijak.
Dan dari dari surat tersebut kita bisa memetik faidah penting, yang itu tergoreskan dalam tulisan surat beliau :
Namun aku tidak bersikap keras terhadap mereka dalam permasalahan ini. Bahkan aku melihat bahwa itu sudah hal yang bagus dari mereka, jika melihat kondisi mereka (selama ini). Karena belum pernah terjadi hubungan antara kami dengan mereka sebelum kesempatan ini. Maka kami berikan dorongan kepada mereka untuk mentadabburi (merenungkan) dalil-dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah.
Inilah asy-Syaikh Rabi’, beliau mengerti apa itu syiddah (sikap
keras) dan sikap lembut, dan beliau bisa meletakkan masing-masing pada
tempatnya dengan tepat. Itu sudah sejak zaman itu, dan sejak sebelum
dilahirkannya ‘Ali Hasan al-Halabi.
Demikian pula dari goresan pena beliau pada suratnya :
Maka aku terima dari mereka, dan serahkan urusan batin mereka kepada Allah, dengan lebih menguatkan sisi kejujuran.
Inilah sikap halus terhadap
sesama, dan kejernihan hati, dan kesempurnaan sikap lemah lembut
terhadap para mad’u, dan itu sejak masa muda beliau.
Maka apakah para pendengki
beliau mengerti kedudukan beliau yang tinggi ini? apakah mereka
menyadari senioritas beliau, baik dalam keilmuan maupun usia?? Beliau
sudah memiliki kemapanan ilmu, terjun dan berpengalaman dalam dakwah,
dan ketika itu al-Halabi belum lahir.
Perhatikan pula, bagaimana
metode yang ditempuh oleh asy-Syaikh Rabi’ dalam menyampaikan dakwahnya.
Beliau menempatkan masing-masing pihak sesuai dengan kedudukannya. Juga
beliau menempuh cara diskusi ilmiah dan nasehat yang baik. Inilah
hikmah dalam berdakwah. Tidak seperti yang dituduhkan oleh sebagian
pihak, bahwa beliau mudah dan terburu mentahdzir.
(dengan penyesuaian dan beberapa penambahan dari penerjemah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar