Bagaimanakah metode terbaik yang
semestinya ditempuh oleh seorang imam salafy dalam mengajarkan agama
kepada orang-orang awam, terutama masalah-masalah manhajiyyah. Misalnya
kalau dia hendak mentahdzir awam dari bahaya orang tertentu atau
kelompok tertentu.
Cara apakah yang harus ia tempuh
untuk mengajarkan hal-hal tersebut. Apalagi keumuman manusia biasanya
menjauh dari hal-hal seperti ini (yakni pengajaraan masalah-masalah
manhajiyyah)?
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi rahimahullah menjawab sebagai berikut,
Sesungguhnya wajib atas para pengemban
ilmu, baik ‘ulama maupun para penuntut ilmu yang kuat keilmuannya, wajib
atas mereka untuk memberikan pengajaran kepada umat, dan menyampaikan
risalah Allah kepada mereka, baik di lembaga-lembaga pendidikan,
perguruan tinggi, masjid-masjid, perkumpulan (majelis-majelis ilmu),
maupun melalui media-media syar’iyyah. Di sana ada media-media yang
haram, ada pula media-media yang syar’iyyah. Maka apabila seorang muslim
mendapatkan media yang syar’I hendaknya ia gunakan untuk berdakwah ke
jalan Allah. Karena ‘ulama itu adalah pewaris para nabi. Sedangkan para
nabi itu adalah para penyeru ke jalan Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Para nabi tersebut diutus oleh Allah untuk mengajak umat
manusia kepada tauhid dan beriman kepada-Nya, serta mengimani hal-hal
yang Allah wajibkan untuk diimani, yaitu beriman kepada para rasul, para
malaikat, kitab-kitab, surga-neraka dan yang terkait dengannya berupa
kebangkitan (dari alam kubur), adzab kubur, melewati ash-shirath, serta lainnya yang berhubungan dengan aqidah dan dakwah.
Dan wajib pula menyampaikan pengajaran
secara rinci sesuai dengan kemampuan. Orang-orang awam dipahamkan dengan
pengajaran secara rinci sesuai dengan kemampuan. Karena perkara-perkara
yang aku sebutkan di atas, merupakan perkara-perkara prinsipil dan
besar, tidak bisa tidak. Seseorang tidak bisa menjadi mukmin kecuali
dengan perkara-perkara tersebut. Maka hendak dititikberatkan pada
(pengajaran) perkara-perkara di atas. Berikutnya pengajaran tentang
shalat secara rinci. Sehingga umat mengerti bagaimana cara beribadah
kepada Rabb-nya dan bagaimana cara menegakkan rukun Islam yang kedua ini. Karena memang rukun yang pertama adalah syahadatain.
Berikutnya pengajaran tentang zakat, shaum, dan haji. Lalu tentang
hal-hal yang haram, seperti zina, perbuatan keji, minum khamr, membunuh
jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan cara yang haq (dibenarkan dalam
syari’at), dan berbagai perbuatan haram lainnya yang wajib atas seorang
mukmin untuk menjauhinya. Tak ketinggalan pula ghibah dan namimah (adu
domba) serta dosa-dosa besar lainnya yang telah diperingatkan oleh Allah
Tabaraka wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Disebutkan oleh Allah dalam kitab-Nya dan disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Banyak dari dosa-dosa tersebut diketahui oleh umat, baik awamnya maupun
kalangan khusus. Namun apabila disampaikan hal-hal tersebut dengan
ilmu, mendetail, dan disertai penyebutan dalil-dalilnya, maka itu
menambah ilmu dan pengetahuan pada umat, serta semakin mengokohkan sikap
takwa dan muraqabah (merasa senantiasa diawasi oleh Allah) di tengah-tengah umat.
Kemudian di tengah-tengah proses pengajaran di atas, apabila ada kebutuhan untuk mentahdzir dari bahaya bid’ah, maka bisa dilakukan tahdzir secara umum. Apabila di sana ada orang yang getol menyebarkan bid’ah dan kesesatan, maka bisa (ditahdzir bid’ah tersebut) dengan disebut bid’ahnya dan dinisbahkan kepada pengucapnya, dibantah dengan ilmu dan hikmah. Bukan untuk menjatuhkan, atau mencela; bukan pula untuk membingungkan umat. Karena maksud-maksud jelek tersebut justru menjadikan amalan ini berubah menjadi maksiat.
Seorang da’i bertaqarrub kepada Allah
dengan amalan nasehat dan tahdzir seperti di atas. Dia meniatkannya
karena mengharap wajah Allah dan dalam rangka melindungi umat dari
bahaya yang mengancam agama mereka dan bisa menjerumuskan mereka dalam
kemurkaan Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Ini adalah niat yang
sangat luhur. Dia meniatkan dengan amalan tersebut wajah Allah,
memberikan manfaat kepada manusia, serta menjauhkan umat dari kejelekan
dan hal-hal yang membahayakan mereka baik di dunia maupun di akhirat.
Adapun cara dan uslub, maka berbeda
antara satu orang (da’i) dengan orang (da’i) lainnya. Untuk setiap
kondisi, maka ada yang tepat untuk diterapkan sesuai dengan kondisi
tersebut. Orang yang hadir di tempat tentu akan melihat sesuatu yang
tidak dilihat oleh orang yang tidak hadir. Beragamnya situasi akan
menempa seseorang untuk bisa menentukan bagaimana dia berbicara, dan
bagaimana dia menyelesaikan problem-problem yang ada. Sehingga tidak
terpaku hanya pada satu cara, atau jumud (monoton) pada satu metode saja
yang ia lakukan sepanjang hidupnya, tidak demikian. (Kemampuan itu)
semata-mata merupakan pemberian dan karunia dari Allah. Allah memberikan
taufiq kepada orang-orang (yang dikehendakinya), yang dengan mereka
Allah memberikan manfaat (kepada umat manusia).
Seorang da’i (juru dakwah) ke jalan
Allah, baik dia itu sebagai imam masjid atau yang lainnya, dia
senantiasa berupaya untuk senantiasa meletakkan di pelupuk matanya
(prinsip yang ada dalam firman Allah)
“Serulah (ajaklah) ke jalan Rabb-mu dengan hikmah, dan nasehat yang baik, serta debatilah mereka dengan cara yang lebih baik.”
Ayat ini menggariskan satu sisi penting dalam dakwah ke jalan Allah Tabaraka wa Ta’ala. Bahkan ayat ini menggariskan prinsip-prinsip penting dalam dakwah ke jalan Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Seorang muslim hendaknya meletakkannya di pelupuk matanya. Dengan
prinsip tersebut dia mengatasi berbagai problem, memberikan faidah
kepada umat, dan mengantarkan mereka kepada agama Allah yang benar. Ini
yang bisa aku jelaskan menjawab pertanyaan di atas.
(Fatawa Fadhilatusy Syaikh Rabi’ I/218)
http://dammajhabibah.net/2013/09/15/bagaimana-cara-mengajarkan-perkara-manhajiyah-kepada-orang-awam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar